Insight | General Knowledge

Kapan Kita Berhenti Membebani Timnas Kelompok Umur?

Selasa, 22 Jul 2025 19:00 WIB
Kapan Kita Berhenti Membebani Timnas Kelompok Umur?
Euforia Suporter Indonesia di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta/Foto: Bagas Dharma
Jakarta -

Tim Nasional (Timnas) Indonesia U-23 sedang berlaga di ajang ASEAN U-23 Championship 2025. Dua laga pertama fase grup dilalui dengan mulus. Total delapan gol bersarang ke gawang Brunei Darussalam dan satu gol ke gawang Filipina.

Penampilan dominan Timnas berlanjut saat menjalani pertandingan terpanas Grup A menghadapi Malaysia (21/7). Sayang, Kadek Arel dkk. hanya mampu mengakhiri dengan skor imbang 0-0, meski sudah cukup untuk melenggangkan Timnas U-23 ke babak semi final dengan status juara grup.

Seperti biasa, modal dua kemenangan telak, skema permainan menjanjikan, dan catatan nirbobol langsung memicu euforia dan harapan tinggi dari kalangan suporter. Pujian ke sejumlah pemain ramai-ramai dihaturkan—dari Jens Raven hingga Robi Darwis. Namun, di tengah gemuruh dukungan, ada baiknya kita sedikit mengerem ekspektasi; belajar dari pengalaman yang sudah-sudah.

Terlalu Cepat Memberi Ekspektasi Berlebih

Ada perasaan déjà vu ketika menonton Timnas U-23 kali ini. Saya teringat saat Timnas Indonesia Senior menurunkan mayoritas pemain muda di ajang ASEAN Championship 2024 di bawah arahan Shin Tae-yong (STY). Di tim sekarang pun masih ada enam pemain warisan STY dari turnamen tahun lalu.

Saat itu, awalnya semua bilang tidak berekspektasi. Namun, setelah kemenangan 1-0 di laga pembuka melawan Myanmar, harapan publik melonjak drastis. Sayangnya, hal ini tidak dibarengi hasil yang memuaskan: tim besutan STY tersungkur dan gagal lolos fase grup, kemudian dicap mengecewakan.

Kalau konteksnya Timnas Senior, saya rasa hal ini terbilang wajar. Akan tetapi, sorotan sinis tersebut justru menyasar pada tim junior. Di mana para pemain muda dilimpahkan beban ekspektasi yang sangat berat. Padahal, sebagai tim kelompok umur, gelar juara harusnya bukanlah target utama mereka.

Selama bertahun-tahun, saya merasa kebanyakan suporter Timnas Indonesia cenderung cepat 'terbang' dalam euforia dan juga cepat 'jatuh' dalam lubang kekecewaan—tidak terkecuali, terhadap pencapaian timnas junior.

Kalau ditarik agak ke belakang, gestur semacam ini mungkin bermula dari gelar juara Timnas Indonesia U-19 era Evan Dimas, yang waktu itu dilatih Indra Sjafri pada ajang AFF U-19 Youth Championship 2013 silam. Saking keringnya sumur prestasi Timnas di level senior, para suporter menumpahkan harapan mereka ke anak-anak yang saat itu masih sangat belia. 

Seiring waktu, saat media sosial makin umum menampung luapan opini publik, yang militan mendukung Timnas, euforia menyebar kian masif. Alhasil, tercipta gelembung ekspektasi yang tidak realistis bagi Timnas di semua kelompok umur, dari U-16, U-17, U-19, U-20, sampai U-23. Setiap kemenangan, bahkan turnamen level junior atau laga percobaan sekali pun, selalu dirayakan secara berlebihan. Begitu pula sebaliknya. Jika kalah maka dicecar tanpa ampun.

Di antara kamu pasti ada pula yang berpendapat: "Pemain muda sebaiknya memang dibebani sejak dini agar mentalnya terbentuk dan siap menghadapi tekanan di level senior." Mungkin itu ada benarnya, tetapi tekanan berlebihan juga bisa menjadi bumerang, baik bagi para pemain muda maupun kita selaku suporter.

Selain harapan suporter yang bakal sering terpatahkan akibat kekalahan, skuat Garuda Muda juga jadi tidak leluasa menunjukkan kemampuan terbaik karena dibebani sorotan dan ekspektasi berlebih.

Wasted Talent

Sudah banyak cerita tentang pemain-pemain berbakat bersinar di usia muda, tetapi performanya redup saat memasuki usia matang. Mereka kemudian dicap sebagai 'Wasted Talent' beramai-ramai. Baik oleh segelintir media, maupun mayoritas kalangan suporter.

Di luar faktor personal dari masing-masing pemain, seperti kurangnya motivasi, persoalan gaya hidup, atau salah mengambil keputusan dalam karier, ekspektasi berlebihan dari suporter juga terasa memiliki pengaruh tersendiri.

Agak terlalu tajam sebenarnya menyebut pemain dengan label 'Wasted Talent' karena kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik layar. Mari ambil contoh dari kasus Bagus Kahfi.

Pada 2020, sempat ada drama dalam proses kepindahan Bagus ke FC Utrecht dari Barito Putera, yang mana menurut saya keputusan itu memang agak buru-buru. Hasilnya: Bagus gagal di Belanda, karena memang, mendera cedera. Ia pun harus berpisah dengan Utrecht, dengan dorongan suporter yang memaksa Bagus untuk terus mengetes potensinya di negeri rantau, dan mencoba peruntungan di Liga Yunani bersama Asteras Tripoli yang berakhir serupa. 

Sekitar dua setengah tahun melanglang buana ke tanah Eropa, potensi Bagus tidak keluar. Total ia hanya mendapat tujuh menit bermain saat masih di Jong FC Utrecht. Kini Bagus kembali ke Barito Putera dan akhirnya mendapat kesempatan yang ia butuhkan sebagai pemain muda.

Apakah ini murni karena kemampuannya yang memang tidak sebesar bayangan kita? Atau tekanan luar biasa besar sejak usia muda ikut andil dalam menghambat perkembangannya? Alasan sebenar-benarnya hanya Bagus yang tahu. Namun, keberaniannya berkarier di Eropa tentu layak mendapat apresiasi.

Selain kasus Bagus, terdapat pula sejumlah cerita serupa. Herannya, orang-orang yang mengaku suporter Timnas seolah tidak pernah kapok menaruh harapan sebesar gunung di pundak pemain muda. Sering kali pemain di level U-16 hingga U-23 langsung mendapat hujatan ketika mereka sedang tidak tampil baik atau gagal membawa tim memenuhi harapan publik.

Kebiasaan semacam ini: memberi tekanan berlebih kepada talenta-talenta muda, sesungguhnya seperti racun yang pelan-pelan bisa membunuh potensi, memaksa anak-anak meraih hasil instan, padahal fondasi pengembangannya belum kokoh. Ditambah lagi, sistem pembinaan sepak bola usia muda kita faktanya masih jauh dari kata baik. Jadi, tantangan merintis karier sejak muda bagi pesepak bola Indonesia sebenarnya sangat berat.

Timnas Senior adalah Muara Sesungguhnya

Di negara-negara yang kultur sepak bolanya lebih maju seperti di Eropa, pertandingan tim kelompok umur umumnya tidak terlalu mendapat sorotan. Fokus utama para suporter lebih tertuju pada tim senior mereka.

Ambil contoh gelaran Euro U-21 2025 yang berlangsung di Slowakia bulan Juni lalu. Pertandingan antara Polandia melawan Georgia, misalnya, hanya ditonton 2.218 orang. Sementara pertandingan terbesarnya, yakni final antara Inggris dan Jerman, penontonnya tidak sampai 20 ribu, padahal kapasitas stadion mencapai 22.500.

Sebagai perbandingan, pada Euro U-21 edisi 2023 di Georgia dan Romania, rata-rata penonton yang hadir juga cuma sekitar 3.000. Pertandingan tuan rumah mencatatkan kehadiran penonton terbesar saat itu.

Terlepas dari jadwal yang mungkin bentrok dengan pertandingan klub atau tim senior, kurangnya minat penonton terhadap pertandingan tim junior sangat terlihat di Eropa. Kenapa? Para suporter tim-tim Eropa dan federasinya paham bahwa pertandingan tim kelompok umur bukanlah tujuan utama mereka—meski apresiasi dan dukungan nyata juga tetap diberikan.  

Akan tetapi, harus diakui kultur yang mengelilingi Timnas Indonesia memang unik. Suporter loyal terus memberi dukungan penuh tanpa pilih kasih, Timnas Senior dan kelompok umur. Hanya saja, sebaiknya kita tidak membebani ekspektasi pada pemain muda.

Penting untuk dipahami bahwa Timnas Senior adalah tempat yang paling benar untuk menitipkan asa, harapan, dan ekspektasi, alih-alih tim junior. Pasalnya, di sinilah kita dapat mengumpulkan poin peringkat FIFA serta mengejar kesempatan untuk tampil di pentas tertinggi, yakni Piala Dunia. Di tim senior pula para pemain merasakan puncak karier mereka.

Jadi, menurut saya pribadi, biarkan Timnas kelompok umur menjadi tempat belajar bagi para pemain. Mereka adalah investasi masa depan, bukan mesin pencetak trofi instan. Terlalu fokus pada juara di usia muda malah bisa membuat pemain maupun pelatih mengesampingkan pengembangan individu demi hasil sesaat, yang justru merugikan saat di level tertinggi nantinya.

Mari Jadi Pendukung yang Lebih Konstruktif

Intinya, jika Timnas Indonesia U-23 di bawah Gerald Vanenburg berhasil menjadi juara di turnamen ASEAN U-23 Championship 2025, seperti beberapa tahun lalu saat bersama Indra Sjafri, apresiasilah sewajarnya. Rayakan bersama dengan suka cita. Namun, jangan langsung menghujat jika hasilnya tidak sesuai harapan.

Merekalah yang bakal mengisi skuad senior beberapa tahun ke depan. Percayalah akan ada banyak kesempatan yang lebih baik di waktu-waktu datang. Jadi, biarkan mereka mendapatkan pengalaman dulu, belajar dari setiap pertandingan, serta tumbuh di lingkungan yang suportif, demi berjaya dengan prima di waktu yang memang tepat.

Mari tidak membebani mereka dengan ekspektasi berlebihan yang tidak realistis. Berikan dukungan konstruktif supaya tercipta lingkungan yang lebih sehat bagi para pemain muda untuk berkembang sehingga mereka bisa mencapai potensi maksimal saat waktunya tiba.

Penulis: Bagas Dharma*

*Isi tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan dari redaksi CXO Media.

(ktr/RIA)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS