Hidup di negara yang memilih demokrasi sebagai jalan politiknya, partisipasi yang bermakna seharusnya tetap bermakna tidak hanya menjadi 'pemanis' implementasi saja seperti menjadi objek daripada pemilihan setiap 5 tahun. Hal tersebut, menghadirkan sebuah pertanyaan di benak kita semua, apakah partisipasi yang selama ini digaungkan benar-benar bermakna atau hanya menjadi ritual yang meaningless?
Di Indonesia, meaningful participation tidak hanya sebatas menusuk kertas di bilik suara, tetapi lebih dari itu. Suara masyarakat dianggap berarti, memiliki daya tawar terhadap kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah, dan arah negara ini yang akan menentukan nasib masyarakat itu sendiri.
Partisipasi yang bermakna telah memiliki legal standing-nya sendiri yang mengartikan meaningful participation merupakan hak yang diperoleh masyarakat untuk didengar pendapatnya, untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan untuk mendapat penjelasan atas pendapat yang diberikan. Hal tersebut, termaktub dalam putusan Mahkamah Konstitusi Np. 91/PUU-XVIII/2020 (hal 393).
Legal standing tersebut telah menegaskan bahwa Meaningful Participation bukan sekadar keterlibatan masyarakat secara normatif baik secara langsung atau diwakilkan oleh kelompok tertentu. Namun, menghendaki adanya proses yang setara, transparan, dan dapat diakses sehingga masyarakat tidak hanya diajak bicara, tetapi benar-benar didengar dan dipertimbangkan.
Di sinilah letak ironi dalam praktik demokrasi Indonesia, negara bak menjanjikan suatu keterlibatan, tetapi kerap kali terasa membatasi ruang partisipasi yang ada melalui bahasa teknokratis, prosedur administratif, atau ancaman pidana. Seolah-olah negara mengacuhkan pentingnya partisipasi bermakna yang semestinya diberikan ruang seluas-luasnya kepada masyarakat jika itu tidak diberikan maka masyarakat hanya akan menjadi objek daripada kegiatan yang dilakukan oleh negara.
Mengukur Seberapa Pentingnya Partisipasi Kita
Pentingnya meaningful participation sejatinya sangat terasa bagi negara dan masyarakat. Bagi negara partisipasi yang bermakna secara inklusif dapat mendorong lahirnya kebijakan yang representatif terhadap seluruh masyarakat, sehingga dapat menjaga stabilitas sosial dan politik akibat minimnya masyarakat yang merasa terkucilkan. Sebab kebijakan tersebut hanya berpihak kepada kelompok tertentu dan berujung pada tindak kerusuhan dan anarkisme.
Terhadap masyarakat, meaningful participation dapat menjadi tools yang menjaga masyarakat dari kebijakan yang tidak berpihak atau bahkan mengancam kepentingan masyarakat itu sendiri. Masyarakat berhak memberikan masukan terhadap proses pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dan semestinya dipertimbangkan.
Melalui mekanisme tersebut masyarakat dapat membantu menyelamatkan negara dengan mengoreksi kegagalan pemerintah dalam membaca fenomena yang terjadi lapangan. Dapat dibayangkan jika partisipasi yang bermakna hanya dianggap sebagai kegiatan normatif yang dilaksanakan hanya untuk mengelabui peraturan yang ada, maka partisipasi bermakna yang selama ini dianggap sebagai jantung demokrasi akan berdetak dengan tempo yang tidak normal.
Tanpa adanya partisipasi, segala macam pemilihan umum, forum dengar pendapat publik, hingga perencanaan pembangunan hanya menjadi pemanis yang menghias permukaan, tetapi tidak mampu mengubah relasi kuasa yang timpang di dalamnya. Meaningful participation sebagaimana dengan konsep demokrasi dan putusan MK tidak hanya hadir, tetapi diberikan hak untuk turut membentuk, menentukan, bahkan menggugat arah kebijakan yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Ia mengubah warga dari sekadar objek kebijakan menjadi subjek daripada kebijakan yang dibuat. Sejatinya partisipasi menjadi hak sekaligus kekuatan, bukan kemurahan hati negara untuk membiarkan masyarakat terlibat.
Lebih dalam lagi, partisipasi yang bermakna dapat menjadi benteng terhadap kemunduran demokrasi. Di tengah menguatnya politik identitas, polarisasi masyarakat, dan potensi besar otoritarianisme pemerintahan.
Partisipasi sejatinya menjaga agar negara tetap mendengar rakyatnya dan rakyat tetap percaya bahwa keterlibatan mereka dapat menyumbangkan manfaat untuk negara. Terlalu dangkal jika mengatakan ini hanya perihal teknis partisipasi semata. Bukan hanya sekadar berapa kali forum publik diselenggarakan atau berapa banyak warga yang hadir, melainkan kerelaan pemerintah untuk membuka ruang yang benar-benar setara antara suara rakyat dan kekuasaan negara.
Di posisi tersebutlah martabat demokrasi diuji, apakah ia sekadar prosedur normatif atau mekanisme yang sungguh-sungguh menghormati keluhuran konstitusi dan kehendak rakyat. Partisipasi masyarakat yang sungguh-sungguh bermakna bukan hanya mencegah kekuasaan bertindak ugal-ugalan, tetapi juga menjadi petunjuk bagi negara untuk tidak kehilangan arah dalam kompleksitas zaman yang berkembang.
Setelah itu, menimbulkan pertanyaan baru. Apakah kita cukup berani mengisi ruang partisipasi tersebut? Jika suara masyarakat tidak lagi bergaung pada ruang-ruang pengambilan keputusan, maka demokrasi apa yang kita anut? Siapa yang tidak demokratis?
Tentukan pilihanmu, apakah kamu akan menjadi masyarakat dengan partisipasi yang bermakna untuk tanah air ini?
Penulis: Muhammad Fauzan Mubarak
Editor: Dian Rosalina
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)