Kejahatan, apa pun bentuknya dan niat di baliknya-baik disengaja atau tidak-pasti akan meninggalkan luka, terutama bagi korban. Satu yang pasti, tindak kejahatan akan selalu menimbulkan kerugian, baik materi, trauma mental, dan kehilangan nyawa.
Kasus-kasus kriminal bermunculan di beranda media sosial kita tanpa henti setiap hari, kadang viral namun tak pula hilang ditelan bumi. Beberapa di antaranya bahkan hanya selesai secara 'kekeluargaan' tanpa kejelasan keadilan.
Di luar itu, ada satu kasus yang kerap luput dari perhatian, yakni ketika pelaku kejahatan adalah anak di bawah umur. Meski belum banyak terekspos di media sosial, namun tak berarti kasus seperti ini tak ada. Kompleksitasnya justru lebih besar, sebab menyangkut usia, tanggung jawab orang tua, dan tentu saja sistem hukum yang berbeda.
Kala Anak Terlibat dalam Situasi yang Tak Sepantasnya
Belum lama ini, media sosial X diramaikan dengan perbincangan terkait peristiwa yang melibatkan anak di bawah umur. Kasus yang disorot oleh akun @seputartetangga, dan diulas lebih jauh di akun Instagram @ndputriw ini menyebut seorang anak laki-laki yang bahkan belum genap lima tahun tersebut mengalami perilaku yang tak pantas saat sedang beribadah.
Peristiwa ini pun disadari oleh orang tua korban yang kemudian langsung menghubungi orang tua yang diduga pelaku, Y, seorang anak berusia delapan tahun. Dalam unggahan tersebut, Y diduga meniru adegan dalam sebuah film yang ia tonton melalui ponsel temannya.
Untuk langkah awal, kedua keluarga pun merencanakan musyawarah dalam upaya penyelesaian bersama. Tetapi harapan bisa selesai dengan baik, justru berubah jadi kecewa, karena keluarga terduga pelaku hanya diberikan edukasi tanpa tindak lanjut lebih jauh. Akhirnya merasa tidak puas, keluarga korban pun akhirnya melaporkan kasus ini ke kepolisian, didampingi oleh Bimaspol.
Proses pelaporan pun tidak berlangsung mudah. Setelah diarahkan ke Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA), laporan belum bisa diproses karena adanya prosedur tambahan yang harus menyesuaikan dengan regulasi hukum berlaku. Keluarga korban pun kemudian diarahkan ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) untuk asesmen psikologis terlebih dulu, lalu itu yang akan menjadi rujukan laporan resmi.
Minimnya respons dan kepastian hukum, membuat korban pun memutuskan untuk membawa kasus ini ke ranah publik lewat media sosial. Kabar ini pun membuat banyak pihak menjadi terlibat untuk mendampingi kasus ini hingga menemukan titik terang.
Mencari Solusi yang Tepat dan Adil
Indonesia sebenarnya sudah mempunyai hukum khusus yang mengatur penanganan pelaku kejahatan di bawah umur. Aturan ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Di dalamnya, terdapat beberapa bentuk pidana yang bisa dikenakan seperti pidana peringatan, pidana bersyarat, latihan kerja, pembinaan dalam lembaga, hingga pidana penjara.
Namun untuk anak yang belum berusia 12 tahun, pendekatannya akan berbeda. Merujuk Pasal 21, keputusan hukum tidak berujung pada pidana melainkan pada tindakan alternatif, yakni mengembalikan anak kepada orang tua atau walinya, atau mengikutsertakan mereka dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di lembaga pemerintah atau LPKS selama maksimal 6 bulan.
Regulasi ini dirancang untuk menjamin kalau pendekatan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum tetap mengedepankan aspek perlindungan, tanpa mengesampingkan proses pembinaannya.
Berdasarkan hukum tersebut, maka kemungkinan terbesar hukuman yang akan diterima pelaku yang belum genap berusia 12 tahun adalah dikembalikan ke orang tuanya. Anak yang berkonflik dengan hukum tidak bisa dipisahkan dari tanggung jawab orang tua, karena merekalah pihak terdekat yang pertama kali membentuk lingkungan kehidupan anak.
Dikutip jurnal berjudul "Parental Responsibility of Children Crime in Indonesia Criminal Adat Law", peran orang tua juga penting untuk ikut diinvestigasi dan dipertanyakaan pertanggungjawabannya. Memberikan pengawasan yang layak seharusnya menjadi bagian dari tanggung jawab orang tua dalam membangun lingkungan tumbuh kembang yang baik, sehingga anak dapat memahami batasan antara perilaku yang dapat diterima dan yang tidak, sekaligus mencegah terulangnya kasus serupa.
Namun bagaimana jika orang tua ternyata dianggap tidak mampu menjalankan peran tersebut?
"Jika negara anggap orang tua itu tidak mampu maka bisa dititipkan ke tempat lembaga ke masyarakat anak atau tempat sosial anak," kata pakar kriminolog dari Universitas Islam Bandung (Unisba) Nandang Sambas, dikutip detik.com.
Lalu bagaimana dengan korban? Kejadian yang menimpa korban kemungkinan besar akan membekas pada diri korban. Tindakan yang dilakukan pelaku terhadap korban dapat terus membekas tanpa ada yang tahu siapa yang akan menyembuhkan luka hati tersebut. Tidak hanya korban, orang tua korban juga akan merasakan akibatnya.
Rasa sakit yang dialami sang anak sudah pasti akan membuat hati orang tua ikut merasa sakit. Mempertimbangkan kondisi kesehatan mental korban ke depannya, akan lebih baik jika korban dapat difasilitasi dengan konsultasi bersama psikolog.
Dalam hal ini, korban bisa berkonsultasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). KemenPPPA memberikan pelayanan konseling, pendampingan hukum, serta rencana perlindungan terhadap korban di bawah umur yang mengalami kekerasan atau kejahatan lainnya. Melalui pelayanan konseling ini diharapkan bisa mengurangi trauma yang dialami korban.
Sementara itu, kasus tersebut masih berjalan dan sudah mulai mendapatkan perhatian publik. Meski begitu, kasus ini masih belum mendapat putusan. Harapan terbesar kini terletak pada sistem hukum: agar korban bisa menerima keadilan yang layak, termasuk pengakuan atas dampak psikis yang ditinggalkan.
Walau pelaku masih tergolong di bawah umur, bukan berarti keadilan bisa diabaikan begitu saja.Kejadian ini menjadi pengingat akan pentingnya peran pengawasan orang tua-terutama di tengah derasnya arus teknologi yang membuat akses terhadap informasi, konten, dan video tanpa batas.
Peran orang tua bukan hanya sebagai pengawas, tetapi penentu arah pembentuk nilai-nilai dasar dan moral anak. Semoga kasus ini tidak hanya berakhir dengan kejelasan hukum, tetapi pengingat bahwa ruang aman anak adalah tanggung jawab bersama.
Penulis: Dhiyaa Rinieningsih
Editor: Dian Rosalina
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)