Bahasa adalah alat fundamental yang digunakan manusia untuk berkomunikasi; menyampaikan informasi, bertukar ide, hingga mengutarakan perasaan. Sadar atau tidak, peran bahasa begitu erat dengan keseharian. Dengan memanfaatkan bahasa, misalnya, manusia bisa lebih mengenal satu sama lain, saling berbagi pikiran, bahkan meniti peradaban.
Meski demikian, pemanfaatan bahasa dalam proses berkomunikasi tidak selesai di situ. Gaya berbahasa yang begitu luwes justru kerap pula dimanfaatkan untuk memuluskan motif-motif tertentu. Salah satu contohnya, mengandalkan eufemisme: gaya memperhalus bahasa, yang memilih diksi atau frasa secara lebih bijak, agar pesan dapat diterima tanpa menghadirkan konflik, menyenangkan semua pihak, maupun terus mengesankan citra positif—sesuai dengan kepentingan penyampainya.
Mengapa Eufemisme bisa jadi jebakan?
Gaya eufemistis berupaya mengedepankan kata-kata yang sopan dan cenderung nyaman didengar. Oleh sebab itu, di antara masyarakat Indonesia yang menganggap etika dan kesopanan berbahasa adalah variabel penting dalam komunikasi, gaya memperhalus bahasa ini seperti lumrah dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh, alih-alih menyebut seseorang yang berbadan besar dengan istilah 'gemuk', kita lebih sering menyebutnya 'berisi'; istilah 'miskin' acap diganti 'kurang mampu'; atau 'menangkap (massa aksi)' yang kini diganti dengan 'mengamankan'.
Konon, penerapan eufemisme seperti contoh-contoh di atas lebih dapat diterima akal dan perasaan. Akan tetapi, kebiasaan memelintir kata seperti yang terjadi pada contoh terakhir justru dapat menciptakan kekeliruan akan fakta yang terkandung di dalam pesan.
Pada dasarnya, penggunaan eufemisme memang bukan tanpa celah. Nalar penggunaannya: mereduksi konflik, justru juga bisa menjebak. Dalam arti lain, kegiatan melembutkan kata-kata ini berpotensi menggeser arti maupun makna dari suatu pesan secara keliru. Termanfaatkan sebagai pemalsu definisi; penyebab menyebarnya misinformasi; bahkan menyelipkan kemunafikan.
Dampak-dampak menyesatkan dari eufemisme tersebut juga bisa lebih banyak ditemui pada panggung politik, atau ketika pemerintah menyampaikan suatu narasi kepada publik. Contohnya, istilah 'pemotongan anggaran' kini lebih jamak disebut 'efisiensi anggaran'; 'PHK Massal' diartikulasikan lewat 'perampingan organisasi'; hingga 'kenaikan harga pangan' yang sekarang rajin disebut 'penyesuaian harga pangan'.
Dalam konteks seperti ini, penerapan eufemisme kian menampakkan potensinya untuk menjadikan sebuah pesan ditangkap secara keliru. Seolah-olah menjadi seni meracik kata, yang bisa menyelipkan kepentingan atau motif-motif tertentu—yang hanya menguntungkan segelintir pihak, sekaligus mengurangi atensi negatif dari audiens.
Bahaya Terselubung Eufemisme
Eufemisme memang hadir sebagai majas. Suatu gaya berbahasa yang cerdik memilah dan memperhalus kata-kata. Akan tetapi, ketika eufemisme digunakan secara berlebih atau bahkan tidak tepat tidak nilai estetisnya akan menghilang, dan malah mendegradasi pesan sesungguhnya. Berikut adalah dampak-dampak buruk akibat kesalahkaprahan penggunaan eufemisme:
- Menyembunyikan Fakta
Eufemisme berpotensi menyamarkan masalah yang terkandung di dalam sebuah pesan. Misalnya, ketika istilah 'krisis ekonomi' mulai disebut dengan 'koreksi pasar', urgensi dan skala masalah yang terjadi pada situasi tersebut seakan-akan menghilang. Hal ini tentu menyesatkan, karena audiens sangat mungkin gagal memahami realitas, dan boleh jadi terlena dengan kata-kata rekaan yang dipilih untuk menggambarkan prakondisi tertentu. - Menumpulkan Kepekaan Sosial
Kalau kita terlampau biasa mendengar bahasa eufemistis, yang kian sering dipakai untuk mengomunikasikan kondisi sulit, kepekaan kita terhadap isu-isu krusial bisa tumpul. Respon terhadap suatu situasi juga bisa jadi lambat dan keliru, karena realitas dibungkus berulang kali dengan istilah yang dianggap lebih aman. - Menghambat Diskusi
Ketika topik sensitif atau krusial terus disampaikan dengan gaya eufemistis maka proses komunikasi akan terhambat. Dalam sebuah forum dan/atau diskusi, misalnya. Penggunaan tetek bengek eufemisme-yang dianggap lebih bijak-dapat menghilangkan esensi pesan hingga mengakibatkan rasa tidak enak bicara, lantaran takut dianggap menyinggung atau menyerang lawan bicara; menernak budaya "nggak enakan" yang terus melekat di masyarakat kita. - Memanipulasi Narasi
Eufemisme, dalam proses komunikasi politik seringkali dijadikan alat untuk mengontrol sebuah peristiwa atau kebijakan yang sukar diterima lebih banyak orang. Aktivitas yang mengarah pada pengontrolan persepsi atau opini publik ini biasa dilakukan para pemangku kepentingan atau pihak yang memiliki kuasa, demi melancarkan agenda dan kepentingan mereka sendiri.
Memahami jebakan komunikasi yang menyelingkupi eufemisme bukan berarti kita harus meninggalkan gaya tersebut, apalagi menghilangkan kesopanan dalam bertutur kata. Sebab eufemisme akan selalu memiliki tempat di dalam proses berbahasa, terutama untuk mengakali situasi yang benar-benar membutuhkan kepekaan dan perhatian ekstra. Namun, rasanya akan sama penting bagi kita untuk terus bersikap kritis dalam menggunakan dan/atau menerima penggunaan eufemisme, terutama ketika dimanfaatkan pada proses komunikasi kepada publik, yang amat berpotensi mengaburkan kebenaran, menutupi tanggung jawab, atau bahkan mempromosikan kemunafikan.
Penulis: Iqra Ramadhan Karim
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
(ktr/RIA)