Insight | General Knowledge

Dugaan Agenda Tersembunyi di Balik Genjatan Senjata Israel-Hamas

Selasa, 21 Jan 2025 17:30 WIB
Dugaan Agenda Tersembunyi di Balik Genjatan Senjata Israel-Hamas
Foto: Wikimedia Commons
Jakarta -

Beberapa hari lalu, Israel dan Hamas baru saja menyepakati genjatan sejata usai lebih dari 1 tahun berlalu sejak perang pecah di tanah Palestina lewat mediator Qatar dan Amerika Serikat. Setelah molor selama beberapa hari sebelumnya, kabinet dan pemerintah Israel akhirnya menyetujui perjanjian pada fase enam minggu pertama yang dimulai pada 19 Januari 2025.

Detik-detik Kesepakatan Genjatan Senjata

Dilansir BBC, sejak Juni 2024, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah mengeluarkan resolusi untuk mendukung rencana gencatan senjata. Meskipun resolusi itu harus tertunda karena berbagai peristiwa yang terjadi setelahnya, Amerika Serikat pun akhirnya memveto rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan genjatan senjata segera.

Setelah itu, Israel pun menyetujui genjatan sejata dengan Lebanon pada awalnya. Lalu, setelah Presiden Amerika Serikat yang baru, Donald Trump terpilih, ia meminta agar sandera di Gaza segera dibebaskan sebelum ia bekerja secara efektif pada 20 Januari 2025. Walau alot, pada akhir masa jabatannya, Biden pun berbicara dengan Netanyahu untuk mencoba bernegosiasi soal kesepakatan tersebut.

Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken pun mengatakan bahwa kesepakatan tersebut sudah menuju final dan segera selesai sebelum Trump mengambil alih pemerintahan. Akhirnya pada 15 Januari 2025, Perdana Menteri Qatar menyampaikan bahwa Israel dan Hamas menyetujui genjatan senjata di Gaza dengan kesepakatan pembebasan sandera yang mulai berlaku pada 19 Januari 2025.

Walaupun seruan genjatan senjata sudah sampai di telinga dunia pada 15 Januari tersebut, tetapi tentara Israel masih melakukan serangan kepada penduduk Gaza hingga menewaskan kurang lebih 100 orang. Desakan untuk memberhentikan serangan ke penduduk sipil pun terus menggema dan Amerika Serikat pun semakin mendesak Israel.

Pada 17 Januari 2025, Kabinet Israel pun menyetujui kesepakatan tersebut, usai berdiskusi panjang selama berjam-jam dengan para menteri. Lalu pada 19 Januari, genjatan senjata pun dimulai.

Wacana Relokasi Warga Gaza usai Genjatan Senjata

Meskipun banyak yang bersyukur atas genjatan yang dilakukan Israel-Hamas, namun ada juga yang skeptis tentang genjatan ini. Apalagi ada andil Amerika Serikat untuk membujuk pihak Israel.

Benar saja belum ada 1 hari setelah genjatan sejata dilakukan, sekaligus hari pertama Trump menjabat kembali sebagai presiden, timnya mempertimbangkan untuk merelokasi sekitar dua juta warga Palestina di Gaza ke luar dari wilayah tersebut saat wilayah itu dibangun kembali. Seorang narasumber dari pejabat Amerika Serikat mengatakan bahwa salah satu negara tujuan untuk relokasi tersebut adalah Indonesia.

"Indonesia, misalnya, adalah salah satu lokasi yang sedang dibahas," ujar Steve Witkoff, utusan Timur Tengah baru yang ditunjuk Trump seperti dikutip dari NBC. Walaupun belum pasti apakah itu benar atau tidak, tetapi keputusan pihak Trump bisa jadi sebuah tanda bahwa di balik 'perpanjangan tangan' yang diulurkan pihak AS, ada tujuan tersembunyi.

Beberapa menganggap bila keputusan tersebut benar terjadi, artinya genjatan senjata ini hanya ungkapan halus dari pengusiran secara paksa warga Palestina dari tempat tinggalnya. Ada pula yang berpendapat bahwa rekonstruksi Gaza ini akan memicu masalah baru yakni krisis pengungsi baru.

Sementara itu, NBC melaporkan Witkoff sedang mempertimbangkan untuk berkunjung ke Gaza, sebagai bagian dari upaya untuk mempertahankan genjatan sejata antara Hamas dan Israel. Ia pun ingin memastikan bagaimana kondisi di sana dan bukan hanya mendapat laporan gamblang dari Israel seperti yang sudah-sudah. Ini juga bisa menjadi pertimbangan pihak Amerika Serikat apakah relokasi tersebut benar-benar diperlukan atau tidak.

Kata Pemerintah Indonesia soal Relokasi Warga Gaza

Pernyataan sepihak dari tim Donald Trump tentu saja menjadi petir di siang bolong. Masyarakat pun mempertanyakan keabsahan kabar tersebut dari pemerintah. Namun jawaban yang diungkapkan justru mengejutkan bahwa pemerintah Indonesia tidak pernah menerima laporan langsung dari otoritas terkait mengenai wacana relokasi warga Gaza ke Indonesia.

Dilansir Antara, Kementerian Luar Negeri Indonesia telah merespons kabar tersebut dan menyatakan hingga saat ini pihaknya belum menerima informasi apapun soal relokasi tersebut.

"Pemerintah RI tidak pernah memperoleh informasi apapun, dari siapapun, maupun rencana apapun terkait relokasi sebagian dari dua juta penduduk Gaza ke Indonesia sebagai salah satu bagian dari upaya rekonstruksi pasca konflik," kata Kementerian Luar Negeri melalui keterangan resminya.

Kementerian menegaskan kalau pemerintah menghindari berbagai spekulasi liar soal isu tersebut tanpa adanya konfirmasi yang jelas. Pemerintah pun berpendapat upaya untuk merelokasi warga Gaza hanya akan mempertahankan penjajahan ilegal yang dilakukan oleh Israel di wilayah Palestina. Ini juga menjadi strategi diam-diam zionis untuk mengusir warga Gaza dari Palestina.

Walaupun belum dipastikan apakah Amerika Serikat akan benar-benar merelokasi warga Gaza dari tanah kelahiran mereka, tetapi tetap saja pernyataan tim Donald Trump telah 'digoreng' oleh Israel yang berharap itu akan terjadi. Jika benar terlaksana, genjatan sejata yang telah disepakati nyatanya hanyalah agenda tersembunyi untuk mengusir warga Gaza secara halus atas nama kemanusiaan dan iming-iming kota yang akan dibangun kembali.

(DIR/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS