Kapan terakhir kamu iseng membaca label takaran saji di setiap produk yang kamu beli di minimarket? Kalau jawabannya tidak ingat, atau bahkan tidak pernah, kamu mungkin adalah sebagian besar orang Indonesia yang kurang perhatian pada setiap makanan dan minuman yang kemasan yang dikonsumsi.
Ya, tidak bisa disalahkan juga, karena pengetahuan tentang bagaimana cara membaca takaran saji belum menjadi hal yang umum. Padahal, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengatakan pelabelan dalam produk pangan kemasan itu adalah salah satu strategi mengedukasi masyarakat dalam pemilihan makanan maupun minuman yang dikonsumsi.
Tapi, apa sih hubungannya antara bisa baca takaran saji dengan pengaruh perilaku konsumsi kita terhadap makanan atau makanan kemasan tertentu?
Mencoba Memahami Takaran Saji
Sebelum lebih jauh membahas ini, perlu kamu ketahui bahwa takaran saji merupakan informasi yang harus dicantumkan dalam Informasi Nilai Gizi dan merupakan jumlah produk pangan yang biasa dikonsumsi dalam satu kali makan, Ukuran takaran saji sehari-hari bisa dilakukan dengan cara mengukur dengan menggunakan sendok teh, sendok takar, sendok makan, botol, mangkok, bungkus, keping, potong, buah, dan biji.
Informasi nilai gizi yang tercantum dalam kemasan itu seperti takaran saji tiap kemasan, jumlah sajian per kemasan, zat gizi, persentase angka kecukupan gizi (AKG) dan catatan kaki terkait persentase AKG berdasarkan kebutuhan energi total. Direktur Standardisasi Pangan Olahan BPOM, Anisyah seperti dikutip Kompas.id mengatakan hal pertama yang bisa diketahui masyarakat dari nilai gizi pada produk kemasan adalah jumlah kalori total yang terkandung dalam satu kemasan pangan.
Untuk melihat total kalorinya, kamu perlu melihat jumlah takaran saji dan energi total per sajiannya. Kalau tulisan jumlah takaran saji per kemasannya sebanyak lima sajian per kemasan dan energi total per sajiannya adalah 100 kilokalori (kkal), artinya satu kemasan mengandung 500 kkal.
Dia menambahkan, masyarakat juga harus paham soal membaca takaran gula, garam, dan lemak. Idealnya seseorang mengonsumsi gula maksimal 50 gram atau empat sendok makan dalam sehari. Dilanjutkan dengan garam maksimal 5 gram atau 1 sendok teh, dan lemak maksimal 67 gram atau 5 sendok makan sehari.
"Dengan cermat membaca label kemasan, termasuk informasi nilai gizi yang kemudian menjadikan itu sebagai kebiasaan, masyarakat akan lebih cerdas memilah zat gizi apa yang harusnya dipenuhi dan dibatasi. Dengan begitu, risiko berbagai penyakit bisa dihindari," ujarnya.
Namun, faktanya di lapangan tidak semudah itu membaca takaran saji, Ahli Pangan Dennis Guido mengatakan label-label yang tertera di produk kemasan buatan Indonesia kerap misleading. Misalnya, di tabel nutrisi takaran saji gulanya untuk 250 mili produk, padahal produknya ada 500 mili. Jadi, terkadang masyarakat melihat produk tersebut jumlah gulanya sedikit, padahal kita minum lebih banyak dari takaran yang direkomendasikan di produk
"Jadi ada lagi cara baca tabel, misalnya urutan komposisi. Misalnya mereka bisa diatur sebenarnya urutannya dari yang paling banyak ke paling sedikit. Dan dari situ kita bisa tahu bahan mana yang paling jadi dasar produknya itu apa. Kadang-kadang produknya terlihat seperti susu, tapi komposisinya malah paling banyak gulanya," kata Dennis kepada CXO Media beberapa waktu lalu.
Ia menyarankan untuk pertama adalah lihat dulu takaran sajinya. Misalnya takaran saji kalau di minuman dalam bentuk mili sedangkan kalau dalam produk makanan ditulis dalam bentuk gram. Kalau 250 mili dan kamu bisa melihat produk tersebut volumenya berapa, di sinilah salah baca itu dimulai.
"Jadi mungkin anggapnya ini 250 mili tandanya. Dalam 250 mili ini mereka bakal tulis gulanya misalnya 27 gram. Kalau dihitung takaran sajinya bisa dilihat jadi ada banyak gula di sana," ujarnya.
Ilustrasi gula/ Foto: Homelab |
Malas Baca Takaran Saji Pengaruhi Konsumsi
Sulit dan kurang pengetahuan tentang membaca takaran saji ternyata bisa mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat pada makanan kemasan. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menyebut hanya 6,7% konsumen di Indonesia yang memperhatikan kelengkapan label pangan suatu produk.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Chairunisa Nur Rarastiti dari Universitas IVET Semarang berjudul "Hubungan Membaca Label Pangan terhadap Pemilihan Makanan Kemasan pada Mahasiswa Gizi Universitas IVET Semarang" menyebut 73% responden mendapatkan skor membaca label pangan kategori cukup. Artinya mereka lebih dulu membaca tanggal kadaluarsa, kemudian merek, persentase energi total, kemudian komposisi pada produk tersebut.
Padahal, dengan mempunyai pengetahuan tentang label makanan kemasan, pemilihan terhadap makanan kemasan akan semakin selektif. Perilaku membaca label juga penting dilakukan terutama terkait keterangan yang selalu berubah seperti tanggal kadaluarsa dan terkait persentase zat-zat gizi yang ada di informasi nilai gizi. Sebab semua ini berkaitan dengan keamanan pangan dan risiko kesehatan.
Orang yang melihat informasi gizi karena paham dan memperhatikan asupan gizi tubuhnya, terbukti lebih selektif dalam memilih makanan yang lebih sehat. Sedangkan konsumen yang justru abai soal gizi akan memilih makanan yang menarik secara rasa dan visualnya saja.
Sebagian besar konsumen beranggapan ada hal-hal penting lainnya ketika memilih suatu produk seperti rasa, harga, baru nilai gizi. Poin-poin inilah yang membuat seseorang memutuskan untuk membeli suatu makanan kemasan atau tidak. Konsumen akan dimotivasi untuk lebih mencari/membaca suatu informasi bila konsumen memiliki keterlibatan yang tinggi dengan sumber informasi tersebut.
"Sebenarnya banyak banget di kategori produk yang bisa dipelajari buat orang-orang yang memahami ini produk isinya apa. Karena kalau diulang lagi, menurutku sekarang masalahnya di produk-produk kita, sih. Menurutku konsumen tidak benar-benar mengerti mereka sedang mengonsumsi produk apa. Banyak kekurangan dalam regulasi penulisan suatu produk," kata Dennis.
Namun kembali lagi, betapa sulitnya membaca takaran saji, kita sebaiknya memang benar-benar harus selektif dalam memilih makanan yang dikonsumsi. Masih sulit? Sebaiknya lebih baik mengurangi mengonsumsi makanan kemasan dan beralih membuat makanan sendiri.
(DIR/alm)