Insight | General Knowledge

Kalau Pilpres (Fix) Satu Putaran, Lalu Apa?

Senin, 19 Feb 2024 19:31 WIB
Kalau Pilpres (Fix) Satu Putaran, Lalu Apa?
Foto: Detikcom
Jakarta -

Usai merampungkan proses pemilihan umum secara serentak (Rabu, 14 Februari 2023), rakyat Indonesia yang sedang harap-harap cemas menantikan calon pemimpin bangsa untuk lima tahun ke depan mulai heboh bertanya-tanya. Kebanyakan, soal: apakah ajang pilpres (pemilihan presiden) kali ini hanya akan berlangsung satu putaran, atau justru masih mungkin berjalan dua putaran?

Melihat hasil quick count dari beberapa lembaga survei independen, besar kemungkinan pilpres tahun ini tidak memerlukan putaran kedua. Sebab, sebagaimana yang diatur UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pasangan calon Prabowo-Gibran telah terbilang memenuhi semua syarat menang satu putaran-merujuk pada hasil penghitungan cepat, karena hasil rekapitulasi resmi KPU baru akan selesai pada 21 Maret 2024 mendatang.

Adapun pada sejumlah hasil quick count, paslon Prabowo-Gibran tampak dominan dengan perolehan lebih dari 57-59% suara, mengungguli Anies-Cak Imin (±25% suara), dan Ganjar-Mahfud (±16%). Keunggulan besar Prabowo-Gibran ini nyatanya turut didukung konsistensi kemenangan mereka, di lebih dari setengah provinsi di Indonesia.

Jika benar demikian, lantas, fenomena seperti apa yang membayangi pilpres dengan tiga paslon yang hanya berlangsung satu putaran ini?

Lebih Hemat dan Damai?

Narasi pilpres satu putaran sama dengan penghematan anggaran sudah menyeruak sejak jauh-jauh hari. Masing-masing pendukung paslon pun terlihat optimis kalau masing-masing jagoannya bisa menduduki kursi RI 1 dan RI 2 lewat satu kali pemilihan saja. Hal ini bahkan berembus lebih kencang dari Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran

Pada sudut pandang yang lebih luas, wacana TKN Prabowo-Gibran terbilang sudah jamaknya. Karena, selain berhasil mengantongi persentase tertinggi di survei elektabilitas, paslon nomor urut dua tersebut cenderung mendapatkan suntikan moral dari pihak petahana, Presiden Joko Widodo. Seperti yang kita ketahui, Prabowo-Gibran memang bertekad keras melanjutkan program jangka panjang Jokowi. Ditambah lagi, secara latar belakang, keduanya memiliki "surplus" kedekatan dengan sang incumbent. Prabowo adalah Menteri Pertahanan di Kabinet Indonesia Maju (2019-2024), sementara Gibran merupakan eks Walikota Solo (2021-2024) sekaligus anak sulung Jokowi.

Namun, pertanyaannya: apakah Pilpres satu putaran   yang besar kemungkinan terjadi-benar-benar membuat kas negara lebih hemat?

Melansir Detikcom, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia pernah menyebutkan kalau pemilu 1 putaran lebih banyak manfaatnya. "Kalau kita sekali putaran, kita efisiensi anggaran hampir Rp 30 triliun," ujar Bahlil, awal Februari lalu. "Siapa pun terpilih, sekali putaran lebih baik, menghemat uang, kita kerja fokus, puasa enak, sudahlah biar negara ini cepat maju," tambahnya.

Walaupun begitu, sisi lain pilpres dengan tiga paslon   yang kemungkinan hanya bergulir satu putaran   ini malah mengindikasikan sesuatu yang belum tentu baik dan "hemat". Sebab, idealnya, mengeluarkan anggaran sebesar apapun untuk mengawal demokrasi dengan sebenar-benarnya adalah sesuatu yang wajib dipastikan pemerintah selaku penyelenggara negara, apapun konsekuensinya.

Langsung, Umum, Bebas Rahasia, Jujur dan Adil?

Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, menilai alasan-alasan menghemat anggaran justru "tidak masuk akal", apalagi dengan iming-iming "mengurangi tensi politik".

"Kesannya semacam tidak bisa menerima atau 'menyalahkan' pemilu dua putaran. Padahal kalau dirunut, niatnya dibuat dua putaran didesain supaya presiden terpilih bisa mendapat legitimasi dari publik," kata Khoirunnisa, dikutip BBC Indonesia menjelang pemungutan suara. "Yang namanya demokrasi, namanya penyelenggaraan pemilu memang ada biayanya. Kalau tidak mau keluar uang, ya tidak ada pemilu," tambahnya.

Bagaimanapun, perkara pemilu   yang hampir pasti   satu putaran ini memang berkelindan erat dengan isu stabilitas ekonomi-politik nasional. Hal ini bahkan cukup terjawab lewat meroketnya Indeks Hasil Saham Gabungan (IHSG) Indonesia satu hari pasca pemilu. Namun, lagi-lagi, jika benar-benar berjalan satu putaran saja, maka mekanisme pemilu yang Luber Jurdil wajib dipastikan tidak meleset. Karena, jika memang hanya berlangsung satu putaran tanpa memastikan asas Luber Jurdil, hal ini malah berpotensi menjadi bumerang bagi kedamaian dan stabilitas politik nasional.

Presiden Jokowi sendiri mengharapkan pemilu kali ini berlangsung tanpa ada kecurangan. Kalau pun ada, ia menyarankan untuk segera lapor ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). "Semua kan ada mekanismenya, di lapangan kalau ada kecurangan bisa dilaporkan ke Bawaslu, kalau masih belum ini kan masih ada gugatan lagi di MK. Saya kira mekanisme seperti itu yang harus semuanya mengikuti," katanya seusai menggunakan hak pilih (Rabu, 14/02/2024).

Waktunya Anak Muda Bergerak

Pilpres 2024 adalah sebuah momen bersejarah untuk generasi muda Indonesia. Sebab, untuk pertama kalinya, mayoritas pemilih berada di rentang demografi usia produktif; kelompok generasi milenial (66,8 juta) dan generasi Z (46,8 juta) dengan jumlah kumulatif sekitar 113 juta pemilih, atau sebanyak 56,45% dari total keseluruhan pemilih.

Dengan adanya fakta di atas, tentu pemilu tahun ini memang patut disebut bersejarah. Di mana anak muda-termasuk partisipasi Gibran Rakabuming yang menjadi cawapres termuda sepanjang sejarah Indonesia (36 tahun)   ikut membersamai proses pemilihan pemimpin secara lebih atraktif. Untungnya, keterlibatan anak muda dalam pemilu kali ini turut membawa nuansa pembaharuan dalam prosesnya, seperti hadirnya gerak-gerak independen daring yang diinisiasi kaum muda, demi memastikan pemilu berjalan dengan kredibilitas tinggi. Sebut saja gerakan organik Bijak Memilih hingga kanal Kawal Pemilu.

Di sisi yang lain, keterlibatan kaum muda juga membuat wacana-wacana soal dugaan malpraktik sepanjang pemilu semakin terpantau baik secara daring maupun luring. Walaupun, gestur ini acap kali dikonotasikan sebagai bentuk serangan terhadap salah satu kubu atau paslon, apa yang digiatkan oleh para kaum muda justru membuktikan tingkat partisipasi anak muda Indonesia sangatlah baik, sekaligus menggugurkan stigma apatis yang sering dituduhkan kepada generasi ini.

Justru, keterlibatan kaum muda, yang kali ini ogah dijadikan sekadar target kampanye para politisi ikut mewujudkan sebuah kontrol kolektif rakyat terhadap pemerintah. Dengan kata lain, pengungkapan "dugaan kecurangan" selama proses pemilu hingga akhir rekapitulasi data yang sedang dilangsungkan KPU ini bisa dikawal secara terbuka dan terpercaya oleh masyarakat, demi memastikan bahwa siapa pun pemimpin yang terpilih lewat pemilu merupakan produk legal demokrasi di Indonesia.

Dan, apa pun hasilnya nanti, keterlibatan kaum muda yang berintegritas tinggi dalam mengawal demokrasi di Indonesia kian krusial. Sebab jika memang terdapat indikasi kecurangan, seperti ucapan Jokowi, maka hal tersebut harus diungkapkan kepada Bawaslu hingga MK, agar kita semua bisa benar-benar mendapat pemimpin yang sesuai dengan proses demokrasi.

Alhasil, siapapun yang terpilih sebagai pemimpin Indonesia nantinya, negeri ini akan lebih membutuhkan partisipasi kaum muda yang rasional dan objektif. Misalnya, dengan aktif menagih janji-janji para pemimpin terpilih, demi memastikan kehidupan yang sesuai dengan keluhuran Demokrasi Pancasila.

[Gambas:Audio CXO]

(RIA/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS