Insight | General Knowledge

Mengapa Pro-Palestina Tidak Sama dengan Antisemitisme

Sabtu, 11 Nov 2023 13:00 WIB
Mengapa Pro-Palestina Tidak Sama dengan Antisemitisme
Foto: CNN
Jakarta -

Sudah hampir sebulan belakangan Israel menghujani Gaza dengan serangan mematikan yang menewaskan ribuan warga Palestina. Rumah sakit, sekolah, kamp pengungsi-semuanya hancur akibat bom dan peluru. Peristiwa Nakba yang terjadi di Palestina pada 1948, terulang lagi hari ini.

Saat genosida yang terjadi tak ada tanda-tanda berhenti, masyarakat dari seluruh dunia menyerukan dukungan mereka untuk Palestina. Mereka menggunakan berbagai slogan seperti "Stop Genocide!", "Ceasefire now" dan "From the river to the sea, Palestine will be free." Akan tetapi, dukungan ini dikritik oleh para pendukung Israel, lantaran dianggap memuat antisemitisme.

Antisemitisme sendiri merupakan istilah untuk prasangka atau kebencian terhadap kaum Yahudi. Istilah ini pertama kali digunakan oleh jurnalis Jerman, Wilhelm Marr pada 1879 dalam sebuah esai berjudul The Victory of Judaism over Germandom. Dalam tulisan tersebut, Marr menuding orang Yahudi sebagai sumber ancaman terhadap Jerman lantaran ia percaya bahwa kaum Yahudi berkonspirasi untuk menguasai dunia. Ia pun mendorong adanya "perlawanan" sebelum semuanya terlambat.

Buntut dari tulisan Marr adalah antisemitisme paling ekstrem dalam sejarah, yaitu persekusi besar-besaran terhadap orang Yahudi yang dipimpin oleh Nazi atau yang selama ini dikenal dengan holocaust. Sepanjang sejarah, kaum Yahudi telah menjadi korban diskriminasi dan kebencian yang tak berdasar. Ironisnya, holocaust di Eropa menjadi faktor pendorong munculnya gerakan zionisme. Para penganut zionisme merasa kaum Yahudi harus mendirikan negara sendiri agar mereka terbebas dari antisemitisme.

Para zionis memilih Palestina sebagai rumah baru mereka, sebab seperti apa apa yang tertulis di kitab suci, tanah suci ini adalah "tanah yang dijanjikan" oleh Tuhan untuk bangsa Israel. Namun pada kenyataannya, tanah Palestina bukanlah tanah yang kosong, tanah ini sudah ditempati selama ribuan tahun oleh warga Palestina berketurunan Arab. Dengan dukungan negara-negara barat, Israel akhirnya berdiri. Akan tetapi, ratusan ribu warga Palestina terusir dari tempat tinggal mereka.

Berdiri bersama Palestina bukan berarti antisemitisme, sebab yang dilawan adalah penjajahannya, dan bukan karena kebencian yang bersifat rasial. Akar dari seruan untuk menghentikan genosida adalah penderitaan warga Palestina selama puluhan tahun akibat perampasan lahan. Salah satu tokoh yang ikut menyuarakan hal ini adalah Rania Abdullah, Ratu Yordania.

"Beberapa tahun terakhir, kita melihat bagaimana tuduhan antisemitisme digunakan sebagai senjata untuk membungkam segala kritik terhadap Israel. Saya mengutuk baik antisemitisme maupun Islamofobia, tapi saya juga ingin mengingatkan semua orang bahwa Israel tidak komunitas Yahudi di seluruh dunia. Israel adalah negara berdaulat dan mereka harus bertanggung jawab atas tindakan mereka," ucapnya dikutip dari CNN.

Ucapan Ratu Rania ini didukung oleh bukti bahwa banyak komunitas Yahudi dari negara lainnya yang ikut berdiri bersama Palestina. Di Amerika Serikat, misalnya, komunitas Yahudi menggelar aksi mendukung Palestina, seraya mengangkat slogan seperti "Not in our name", "Zionism = Fascism", "Jews Say Ceasefire Now," dan masih banyak lagi.

Dengan demikian, tuduhan antisemitisme tidak relevan dan tidak seharusnya digunakan untuk mendelegitimasi pengalaman warga Palestina yang telah menderita selama puluhan tahun.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS