Insight | General Knowledge

Sengkarut Konflik di Pulau Rempang

Kamis, 14 Sep 2023 15:14 WIB
Sengkarut Konflik di Pulau Rempang
Foto: Detikcom
Jakarta -

Perseteruan antara warga dengan aparat, pemerintah, serta investor, kembali terjadi. Kali ini, konflik pecah di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, yang rencananya akan disulap menjadi kawasan industri sekaligus wisata hijau bernama Rempang Eco City. Konflik pecah sejak Kamis lalu (7/9/23), saat tim terpadu yang terdiri dari Polri, TNI, Satpol PP, dan Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) yang akan melakukan pengukuran dihadang oleh warga yang tak menolak proyek tersebut.

Menurut keterangan salah satu warga, penduduk Rempang sengaja berjaga di Jembatan IV Barelang (jembatan yang menghubungkan Batam, Rempang, dan Galang) karena menerima informasi bahwa aparat akan melakukan pemasangan patok. Meski dihalangi oleh warga, tim terpadu tetap memaksa masuk hingga akhirnya terjadi bentrok dan aparat menembakkan gas air mata. Gas air mata sempat masuk ke area sekolah dan mengakibatkan beberapa siswa dilarikan ke rumah sakit.

Tidak hanya itu, polisi menahan 7 warga yang diduga oleh aparat sebagai "oknum provokator". Kericuhan kembali saat warga berdemo di depan kantor BP Batam pada Senin (11/9/23) pagi, ketika mereka menuntut agar 7 warga yang ditahan dibebaskan. Di tengah sengkarut pemberitaan mengenai "bentrok" yang terjadi, akar permasalahan yang terjadi di Rempang berangsur-angsur tenggelam. Apa yang sebenarnya terjadi di Rempang dan mengapa konflik seperti ini terus berulang?

Atas Nama "Pembangunan"

Terletak sekitar 3 kilometer dari Batam, Rempang merupakan pulau seluas 165 km persegi yang masuk ke dalam pemerintahan kota Batam. Di pulau ini, terdapat 16 kampung adat yang menjadi tempat tinggal suku Melayu, suku Orang laut, dan suku Orang Darat. Mereka merupakan penduduk asli Batam yang secara turun-temurun telah mendiami pulau ini. Namun dengan adanya proyek Rempang Eco City, diperkirakan sebanyak 7.000-10.000 jiwa masyarakat adat akan tergusur.

Sementara itu, melansir Antara, Menkopolhukam Mahfud MD mengaku tak tahu menahu mengenai status Rempang sebagai tanah ulayat. Menurutnya, yang jelas, negara sudah memberikan hak tanah tersebut kepada perusahaan sejak tahun 2001-2002. Akan tetapi, karena tanah tersebut tidak kunjung digarap dan ditengok, pada tahun 2004 pemerintah memberikan hak tanah kepada pihak lain untuk ditempati. Kekeliruan mengenai status tanah yang tumpang tindih, menurut Mahfud, datang dari pemerintah setempat dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Masalah muncul ketika investor masuk ke Rempang pada 2022 dan mendapati tanahnya ditempati oleh penduduk, sehingga langkah pun diambil untuk mengosongkan pulau tersebut. Perusahaan yang disebut oleh Mahfud mengacu pada PT Makmur Elok Graha (MEG), anak perusahaan Artha Graha yang dimiliki oleh konglomerat Tomy Winata. Sementara itu, investor yang disebutkan adalah perusahaan asal Tiongkok yakni Xinyi Glass Holdings.

Rencananya, seluruh area Pulau Rempang akan dibangun menjadi kawasan industri yang terintegrasi dengan green tourism. Di kawasan inilah, Xinyi Glass Holdings akan mendirikan pabrik kaca yang harapannya bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah menetapkan Rempang Eco City sebagai Proyek Strategis Nasional, yang artinya proyek ini akan mendapat dukungan penuh dan diprioritaskan oleh pemerintah.

Penetapan Rempang Eco City sebagai Proyek Strategis Nasional baru terjadi belum lama ini, tepatnya pada 28 Agustus 2023, ketika Airlangga Hartarto selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menerbitkan aturan yang menambahkan Rempang sebagai salah satu PSN. Lalu secepat kilat, BP Batam langsung memulai proses pemasangan patok dan pengukuran lahan di Rempang.

Bukan Menolak Pembangunan, Tapi Menolak Digusur

Sejatinya, pemerintah telah menyiapkan 3000 kavling di Pulau Galang bagi warga Pulau Rempang yang terdampak penggusuran. Setiap keluarga akan diberikan tanah seluas maksimal 500 meter persegi beserta satu rumah senilai Rp120 juta. Kendati demikian, warga tetap menolak untuk angkat kaki dari tanah yang telah ditempati oleh nenek moyang mereka bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka.

Melansir BBC, Ketua Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan Rempang dan Galang, Gerisman Ahmad, mengatakan bahwa warga Rempang tidak menolak pembangunan, melainkan menolak direlokasi. Menurut Gerisman, meski warga telah mendiami Rempang sejak lama, negara tidak pernah hadir untuk masyarakat adat yang tinggal di situ. Pasalnya, tanah yang mereka tempati tidak kunjung mendapat status legal meskipun sudah diajukan ke pemerintah.

Gerisman juga mengatakan, warga mendukung apabila pemerintah ingin melakukan pembangunan di Pulau Rempang, tapi dengan catatan pembangunan itu dilakukan tanpa harus menggusur warga yang telah lama tinggal di sana.

Konflik yang terjadi di Rempang adalah kesekian kalinya warga terdampak oleh pembangunan yang mengatasnamakan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa ketika terjadi pembebasan lahan, solusinya tidak semudah memberikan tempat tinggal baru. Ketika warga direlokasi, mereka bukan hanya diminta untuk "pindah", tapi juga diminta untuk meninggalkan ruang hidup dan sejarah yang mereka miliki di tempat itu. Sudah saatnya negara memikirkan ulang bagaimana caranya melakukan pembangunan tanpa mencederai hak masyarakat.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS