Insight | General Knowledge

Di Balik Penolakan RUU Kesehatan yang Akhirnya Disahkan Jadi UU

Kamis, 13 Jul 2023 17:00 WIB
Di Balik Penolakan RUU Kesehatan yang Akhirnya Disahkan Jadi UU
Foto: Detikcom/A. Prasetia
Jakarta -

Gelombang penolakan terhadap RUU Kesehatan nyatanya tidak berhasil menghentikan keputusan DPR untuk mengesahkan RUU tersebut menjadi Undang-Undang pada Selasa (11/7/23). Pun saat sidang, ada 2 fraksi yaitu PKS dan Demokrat yang juga menyatakan menolak pengesahan. Namun, hal itu juga tidak menghentikan Ketua DPR Puan Maharani untuk mengetok palu dan mengesahkan UU kontroversial tersebut.

Ribuan tenaga kesehatan berkumpul di depan Gedung DPR untuk melakukan aksi demonstrasi. Rupanya penolakan dari tenaga kesehatan terjadi secara merata, sebab setidaknya ada 5 organisasi profesi yang ikut dalam aksi, yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).

Melansir detikcom, Ketua DPP PPNI Arif Fadilah mengatakan bahwa para nakes mempertimbangkan opsi mogok kerja nasional apabila DPR memaksa untuk mengesahkan RUU Kesehatan. Pemerintah mengklaim UU ini akan menjamin perlindungan hukum bagi para tenaga kesehatan sekaligus akan meningkatkan pelayanan kesehatan di Indonesia. Namun para nakes melihat yang terjadi justru sebaliknya. Lantas, apa yang menyebabkan para nakes menolak UU Kesehatan?

Mandatory Spending Dihapus
Salah satu poin bermasalah dalam UU Kesehatan adalah dihapusnya mandatory spending yang sebelumnya telah diatur melalui UU No. 36 tahun 2009. Mandatory spending adalah alokasi dana minimum yang harus dibelanjakan pemerintah untuk bidang kesehatan, yaitu sebesar 5% dari APBN. Menteri Kesehatan Budi Sadikin berasalan penghapusan mandatory spending ini diakibatkan oleh inefisiensi, di mana selama ini anggaran yang telah disiapkan tidak dibelanjakan dengan baik atau bahkan dibelanjakan untuk hal-hal yang tidak sesuai tujuan.

Namun menurut praktisi kesehatan masyarakat, Wildan Kurniawan, alasan tersebut tidak masuk akal dan langkah yang diambil pemerintah justru merugikan masyarakat. Melalui akun Twitter pribadinya, Wildan menjelaskan bahwa apabila masalahnya adalah inefisiensi, maka yang seharusnya diperbaiki adalah perencanaan dan eksekusi dari penggunaan anggaran, bukan justru anggarannya yang dihapus. Lebih jauh lagi, ia mewanti-wanti penghapusan mandatory spending akan berbahaya sebab tidak ada lagi yang bisa menjamin komitmen pemerintah untuk memprioritaskan anggaran bagi sektor kesehatan. Sehingga pada akhirnya, semua akan bergantung pada mekanisme pasar dan privatisasi kesehatan menjadi semakin meningkat.

Penerbitan Surat Izin Praktik
Setiap dokter yang ingin membuka praktik harus mengantongi Surat Izin Praktik. Sebelum ada UU Kesehatan, ada 3 syarat yang harus dipenuhi, yaitu memiliki tempat praktik, memiliki Surat Tanda Registrasi, dan mengantongi rekomendasi dari organisasi profesi. Namun UU Kesehatan menghapus syarat rekomendasi dari organisasi profesi. Melansir CNN, Budi Sadikin mengungkap bahwa ada banyak laporan dari dokter-dokter yang kesulitan mendapatkan SIP lantaran terhalang oleh senioritas dan nepotisme di organisasi profesi.

Selain itu, Surat Tanda Registrasi yang sebelumnya harus diperbarui setiap 5 tahun sekali kini menjadi berlaku seumur hidup. Meski bertujuan untuk memudahkan perolehan izin praktik, tapi banyak nakes yang merasa kebijakan ini justru akan mengurangi mutu layanan kesehatan. Salah satunya yaitu dr. Berlian Idris yang berpendapat bahwa hal ini menghilangkan mekanisme kontrol kualitas dokter di Indonesia.

Tergesa-gesa dan Tidak Transparan
Selain pasal-pasal bermasalah, UU Kesehatan ini dinilai dibahas dan disahkan secara tergesa-gesa dan tanpa melibatkan semua pihak. Oleh karena itu, banyak yang menyamakan kasus UU Kesehatan dengan UU Cipta Kerja, yang sama-sama tetap disahkan meski diprotes oleh berbagai elemen masyarakat.

Langkah selanjutnya, para nakes dari 5 organisasi profesi berniat untuk mempelajari UU yang telah disahkan dan menyiapkan materi untuk menempuh judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Bagaimanapun kelanjutan dari UU Kesehatan, bukan hanya para nakes yang akan terdampak, tapi juga kesehatan masyarakat secara umum. Oleh karena itu, mari kita simak dan kawal terus perkembangannya. 

(ANL/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS