Insight | General Knowledge

Pendapatan 1 Miliar dan Privatisasi Bidang Kesehatan

Selasa, 18 Oct 2022 18:30 WIB
Pendapatan 1 Miliar dan Privatisasi Bidang Kesehatan
Foto: Pexels: Pixabay
Jakarta -

Baru-baru ini, publik sempat dihebohkan oleh video TikTok dari investment coach Felicia Tjiasaka yang kemudian tersebar ke banyak platform media sosial lainnya. Dalam video tersebut, Felicia menanyakan pada beberapa orang agen asuransi mengenai pendapatan mereka dalam sebulan. Beragam jawaban yang diperoleh memiliki satu kesamaan: jumlah nominalnya besar. Mulai dari Rp600 juta, Rp1 miliar, hingga Rp1,1 miliar, nilai income yang sangat jauh di atas standar Indonesia ini seakan mengundang publik untuk bereaksi.

Respon netizen pun tentu beragam, mulai dari "kapan ya", "manifesting this", "level percaya diriku menurun", dan banyak lainnya. Setelah first impression dan rasa kaget mulai mereda, tak sedikit publik yang mulai bertanya-tanya, seberapa besar potongan yang diambil oleh perusahaan dan agen asuransi hingga mereka bisa meraup pendapatan sebesar itu?

Melihat Cuan Asuransi Lebih Dalam

Setelah ditelusuri lebih lanjut, seluruh sumber yang diwawancarai ternyata bekerja untuk agensi asuransi yang sama. Banyak yang beranggapan bahwa video tersebut merupakan bentuk marketing untuk merekrut agen baru, dengan iming-iming potensi pendapatan yang besar. Hal ini dibantah oleh sang pembuat video, Felicia, walaupun publik tetap skeptis.

Publik sendiri memiliki hubungan yang kompleks dengan bisnis asuransi. Banyak yang beranggapan bahwa sektor kesehatan seharusnya menjadi ranah publik yang dijamin oleh negara. Privatisasi kesehatan yang seharusnya merata bagi seluruh masyarakat dinilai problematik. Di negara tanpa sistem universal health care yang menyeluruh, asuransi pribadi kadang menjadi satu-satunya safety net bagi masyarakat. Sebagai bagian dari SDG, negara-negara anggota PBB telah berkomitmen untuk berupaya mewujudkan universal health care di seluruh dunia pada 2030, namun realitanya sebelum hal ini terwujud tingkat kesehatan yang merata masih jauh di depan mata.

Lebih lanjut lagi, perusahaan asuransi memiliki tujuan untuk menghasilkan keuntungan. Hal fundamental seperti kesehatan dan akses terhadap perawatan semestinya dimiliki oleh semua orang tanpa ada motif pencarian keuntungan. Layanan kesehatan universal yang tidak terpenuhi di Indonesia membuat asuransi bisa menjual rasa takut bagi nasabah prospektif. Apakah memang seharusnya penyakit kritis atau situasi-situasi tak terduga lainnya menjadi hal yang menakutkan dan bahkan berpotensi untuk menguras tabungan?

Agensi asuransi sendiri memiliki sistem yang berbeda-beda, walau banyak di antaranya yang beroperasi dengan sistem agen yang bertingkat-tingkat. Semakin banyak nasabah dan agen yang direkrut oleh seseorang, maka akan semakin tinggi pula pendapatan orang tersebut. Tentu saja posisi dan pendapatan dari sumber-sumber yang diwawancarai dalam video Felicia tidak menggambarkan realita mayoritas agen asuransi. Bagi mereka yang bekerja untuk komisi, meraih pendapatan dengan nilai substansial merupakan tantangan tersendiri. Potensi pendapatan dengan nominal tinggi bagi kebanyakan orang hanya merupakan iming-iming yang sulit untuk dicapai. Selain privatisasi kebutuhan dasar, model bisnis agensi asuransi seperti ini juga dianggap bermasalah bagi sebagian masyarakat.

Pada akhirnya, kesehatan masih menjadi ranah pribadi yang juga perlu diurus secara pribadi. Sebelum tercapai sistem yang bisa menjamin akses merata terhadap kesehatan, masyarakat rasanya masih butuh untuk memperjuangkan sendiri kesehatannya—baik melalui perencanaan, pengambilan keputusan, manajemen finansial pribadi, maupun cara lainnya.

[Gambas:Audio CXO]

(alm/tim)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS