Insight | General Knowledge

Terlahir Kaya Membuat Orang Sulit Berempati, Benarkah?

Kamis, 08 Jun 2023 19:00 WIB
Terlahir Kaya Membuat Orang Sulit Berempati, Benarkah?
Foto: Unsplash: Jonathan Francisca
Jakarta -

Kesenjangan kelas mungkin adalah isu paling berpengaruh sekaligus paling tabu yang ada di dalam masyarakat. Kita semua merasakannya dan kita semua terpengaruh olehnya, tapi kita juga bersepakat untuk tidak pernah membicarakannya. Kelas bukanlah topik yang muncul secara casual dalam percakapan sehari-hari, tapi ternyata hal ini tak berlaku di Twitter—platform di mana isu paling sensitif sekalipun pun bisa "ditelanjangi" hingga menjadi banyolan.

Percakapan mengenai kelas akhirnya muncul melalui sesuatu yang tak terduga, yaitu dari pengalaman guru yang mengajar anak-anak keluarga kelas atas. Seorang pengguna dengan username @VindhTR membagikan pengalamannya ketika menjadi guru privat untuk seorang anak SD berumur 7 tahun. Ketika memesan transportasi daring untuk pulang, sang anak bertanya kepadanya apakah ia tidak memiliki mobil. Setelah dijawab tidak, sang anak lantas mengambil kesimpulan dan melontarkan sebuah pernyataan bahwa gurunya "miskin".

Cuitan ini memancing respons dari orang-orang yang mengalami hal serupa; ada anak yang bingung ketika gurunya pergi liburan ke Cianjur dan bukan ke Las Vegas, ada juga guru yang dilabeli miskin karena tidak memiliki iPhone. Intinya, mereka memiliki pengalaman yang sama: kemiskinan mereka divalidasi oleh anak kecil dari keluarga kaya raya.

Kendati dibalut dengan unsur komedi, tapi cuitan-cuitan ini memantik diskusi seputar parenting dan orang kaya yang minim empati. Tentu saja, anak itu mungkin tidak bermaksud menyinggung perasaan guru privatnya, apalagi mendiskriminasi seseorang berdasarkan status sosial ekonominya. Lagipula, sulit membayangkan ada anak berumur 7 tahun yang sudah memahami perihal kemiskinan struktural. Tapi fenomena ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana sebenarnya para keluarga upper-class mendidik anak mereka?

Affluenza, "Penyakit" Orang Kaya

Tingkat empati dari anak-anak yang tumbuh di keluarga kaya adalah sesuatu yang sudah diperdebatkan sejak lama. Topik ini pernah populer pada 2013 ketika Ethan Couch, remaja dari Texas berumur 16 tahun, menewaskan 4 orang karena berkendara dalam kondisi mabuk. Di persidangan, pengacara Couch menghadirkan psikolog sebagai saksi yang mengatakan bahwa Couch menderita "affluenza" dan harus direhabilitasi. Psikolog itu menggunakan istilah "affluenza" untuk menggambarkan kondisi Couch yang tak pernah mendapatkan pendidikan moral dari orang tuanya yang kaya raya, dan oleh karenanya tak bisa membedakan antara benar dan salah.

Tentu saja, "affluenza" bukanlah kondisi psikologis sungguhan. Istilah itu digunakan sebagai akal-akalan dari pengacara Couch agar kliennya bebas dari hukuman penjara. Melansir Dazed, psikolog Dr. Sheila Keegan mengatakan bahwa label "affluenza" tak lebih dari sekedar excuse bagi orang semacam Couch, karena menjadi orang kaya bukan berarti kebal dari hukum. Ia juga mengatakan bahwa perilaku Couch bukan fenomena psikologis, melainkan bukti bad parenting dari kedua orang tuanya yang tak pernah mengajarkan konsekuensi dari perbuatan buruk.

Semakin Kaya, Semakin Ignorant?

Keterkaitan antara empati dan kekayaan ditelusuri lebih lanjut oleh psikolog dari University of California Berkeley, Paul Piff dan Dacher Keltner. Melansir Scientific American, Piff dan Keltner telah melakukan serangkaian studi yang membuktikan bahwa orang dengan status sosial ekonomi tinggi (diukur dari jumlah kekayaan, seberapa prestise pekerjaan, dan pendidikan) cenderung lebih serakah, berlaku seenaknya, dan tidak memiliki kepedulian terhadap orang lain. Dalam salah satu studi, mereka mengamati perilaku pengendara di perempatan yang lalu lintasnya padat. Mereka lalu menemukan bahwa pengemudi mobil mewah lebih sering "memotong" laju pengendara lain dan tidak mau mengalah ketika ada pejalan kaki yang mau menyeberang. Dalam studi lainnya, Piff dan Keltner menemukan bahwa mereka yang status sosial ekonominya rendah cenderung lebih mampu dalam menunjukkan kepedulian terhadap orang yang menderita.

Rangkaian studi yang dilakukan Piff dan Keltner menghasilkan kesimpulan bahwa orang-orang kelas atas cenderung lebih sulit dalam memperhatikan dan memedulikan perasaan orang lain. Meski penelitian mereka belum bisa menemukan penyebab dari fenomena ini, tapi keduanya menduga bahwa kekayaan membuat orang merasa bebas dan mandiri. Oleh karenanya, mereka merasa tidak membutuhkan orang lain dan tidak akan peduli dengan perasaan orang lain.

Meski demikian, penelitian Piff dan Keltner hanya menunjukkan kecenderungan yang ada di antara kelompok kelas atas dan bukan merepresentasikan semua orang kaya yang ada di muka bumi ini. Sebab empati bukanlah sesuatu yang dimiliki sejak lahir, melainkan sesuatu yang tumbuh seiring anak mengenal dunia di sekelilingnya. Seperti yang dikatakan Dr. Sheila Keegan, semua kembali kepada parenting orang tua dan lingkungan di mana anak tumbuh besar.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/tim)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS