Insight | General Knowledge

Merri Utami: Dijebak, Dihukum Mati, Diberi Grasi

Selasa, 18 Apr 2023 14:41 WIB
Merri Utami: Dijebak, Dihukum Mati, Diberi Grasi
Kasus Merri Utami Foto: CNN Indonesia
Jakarta -

Usai mendekam di penjara selama 22 tahun, terpidana kasus narkoba Merri Utami berhasil lolos dari hukuman mati karena diberi grasi oleh Presiden Jokowi. Grasi tersebut secara otomatis mengubah hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup.

Keputusan Presiden untuk memberikan grasi sebenarnya sudah ditandatangani sejak Februari 2023. Namun, Merri dan tim kuasa hukumnya baru bisa memastikan pemberian grasi tersebut pada 6 April setelah mendapat salinan Keppres yang telah ditandatangani.

Setelah ramai diberitakan, pemberian grasi terhadap Merri Utami ini memancing ingatan publik terhadap kasus yang menjeratnya tahun 2001 silam. Merri ditangkap di bandara Soekarno Hatta tahun 2001 karena diduga menyelundupkan heroin seberat 1,1 kilogram.

Setelah melalui proses hukum, Merri kemudian divonis hukuman mati. Masalahnya, Merri sendiri mengaku ia merupakan korban penipuan sindikat narkotika, dan proses hukum yang ia lalui diduga kuat melanggar HAM. Siapa sebenarnya Merri Utami dan bagaimana perjalanan kasusnya?

Ditipu oleh Sindikat Narkoba

Merri Utami adalah perempuan kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah. Sejak tahun 1990an, Merri menjadi buruh migran di Taiwan. Ketika berumur 25 tahun, ia memutuskan untuk bercerai dari suaminya yang kerap melakukan KDRT.

Kendati demikian, Merri memutuskan untuk tetap bekerja di Taiwan agar bisa menafkahi kedua anaknya. Pada tahun 2001, Merri bertemu dengan Jerry, seorang pria yang mengaku sebagai warga Kanada dan memiliki bisnis dagang di Indonesia.

Kedekatan antara keduanya berubah menjadi hubungan romantis. Setelah menjalin hubungan selama 3 bulan, Jerry mengajak Merri untuk pergi ke Nepal dan menikah di sana. Keanehan muncul ketika Jerry pulang duluan ke Jakarta dengan alasan mengurus bisnis.

Namun, ia meminta Merri untuk tetap di Nepal karena dua orang temannya   Muhammad dan Badru   akan memberikan sebuah tas. Jerry berkilah, tas ini merupakan hadiah darinya karena tas yang dimiliki Merri sudah jelek.

Awalnya, Merri sempat curiga karena tas yang diberikan kepadanya cukup berat. Namun Muhammad dan Badru berasalan kalau tas itu berat lantaran terbuat dari kualitas kulit yang bagus. Namun tanpa sepengetahuan Merri, di dalam tas tersebut tersembunyi heroin seberat 1,1 kilogram. Setibanya di Bandara Soekarno Hatta pada 31 Oktober 2001, Merri ditangkap oleh aparat. Merri kemudian mencoba menghubungi Jerry dan kawan-kawannya, namun tak ada hasil.

Proses Hukum yang Tidak Adil

Sejak diinterogasi oleh polisi bandara hingga polisi di reserse narkoba Polri, Merri mengalami berbagai kekerasan, ia mengaku dipukuli dan dilecehkan. Merri dipaksa untuk mengaku sebagai pemilik heroin meskipun sudah berkali-kali mengatakan kalau dirinya adalah korban.

Berbagai kekerasan tersebut membuat Merri terpaksa menandatangani Berita Acara Pemeriksaan, yang detail dokumennya sendiri juga tidak ia ketahui.

Pada tahun 2016, 14 terpidana mati kasus narkotika dijadwalkan untuk eksekusi mati. Saat itu, kuasa hukum Merri mengajukan permohonan grasi ke Jokowi, sehingga eksekusi mati Merri ditunda. Tujuh tahun kemudian, rasa tunggu yang dipenuhi was-was itu akhirnya membuahkan hasil. Merri lolos dari hukuman mati, meski ia masih harus mendekam di penjara seumur hidup.

Banyak pihak, termasuk NGO Hak Asasi Manusia, menilai keputusan Jokowi untuk memberikan grasi adalah langkah awal untuk menimbang ulang hukuman mati yang masih menjadi polemik di Indonesia. Merri sendiri mengungkap rasa syukurnya melalui sebuah surat yang ia tulis dari balik jeruji. Berikut isi suratnya:

"Puji Tuhan, sampai hari ini Tuhan masih kasih napas hidup, dan bersyukur penantian grasi yang panjang akhirnya dijawab. Tapi, masih ada perjuangan dalam penantian meski sudah kurang lebih 22 tahun, surat bebas yang saya selalu doa dan rindukan belum turun juga. Besar harapan saya tahun ini segala penantian panjang saya dapat terjawab dan saya bebas berkumpul dengan orang-orang yang saya sayangi."

Surat tersebut menunjukkan bahwa meski Merri bersyukur karena tidak jadi dihukum mati, ia masih menantikan kebebasan yang sesungguhnya, yaitu bebas dari hukuman penjara dan bebas dari tuduhan sebagai kurir narkoba.

Memerangi narkoba telah menjadi prioritas bagi pemerintah Indonesia. Namun kasus Merri Utami seharusnya bisa menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk meninjau ulang hukuman mati sebagai solusi untuk memberantas sindikat narkoba.

Berkaca dari kasus ini, Merry yang sejatinya adalah korban harus menerima hukuman berat atas sesuatu yang bukan kesalahannya. Sementara itu, anggota sindikat seperti Jerry dan kawan-kawannya, lolos dari hukuman.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS