Insight | General Knowledge

They Don't Talk About: Real Person Fiction

Senin, 20 Feb 2023 14:36 WIB
They Don't Talk About: Real Person Fiction
Ilustrasi boyband yang jadi objek Real Person Fiction Foto: Getty Images
Jakarta -

Bagi pembaca yang familiar dengan dunia fan fiction, pasti sudah tak asing lagi dengan cerita fiksi dengan karakter utama selebriti. Mulai dari alternate universe (AU) yang membanjiri Twitter hingga fiksi bak novel roman yang tersimpan dengan rapi di koleksi Archive of Our Own, cerita-cerita ini mudah sekali ditemukan dan diakses. Contohnya seperti penggalan fan fiction mengenai Jimin BTS yang ditulis dengan sudut pandang orang kedua berikut ini:

Jimin lets you go but slips his hand in yours and walks you back to your door. "Yep, good night beautiful. Sweet dreams. Dream of me, okay?" You nod and kiss him on the cheek one last time. "I will. Night." He holds your stare with a lovely smile before you close your door.

Untuk para penggemar BTS, terutama yang tergila-gila kepada Jimin, cerita fiksi seperti di atas bisa menjadi hiburan yang memberikan kepuasan tersendiri. Cerita fiksi seperti ini disebut sebagai Real Person Fiction (RPF), sebuah subgenre dalam fan fiction di mana karakternya adalah orang-orang di kehidupan nyata; mulai dari selebriti seperti member boyband hingga figur publik seperti politikus atau tokoh sejarah.

Oleh karena sifatnya yang mengaburkan antara ranah privat dan publik, serta mengaburkan fiksi dan realita, RPF memiliki implikasi yang berbeda dengan fan fiction, yang sejatinya merupakan adaptasi dari karya fiksi. Banyak orang-termasuk pembaca dan penulis fan fiction sendiri   menganggap RPF sebagai cerita fiksi yang creepy, tidak etis, dan cenderung mengobjektifikasi. Pasalnya, banyak cerita RPF bersifat eksplisit dan mengandung konten seksual, sedangkan cerita tersebut dibuat tanpa persetujuan orang-orang yang ada di dalamnya.

Buktinya saja, begitu film Dear David dirilis, banyak audiens yang menuduh film ini menormalisasi pelecehan. Laras, anak SMA yang menjadi karakter utama dalam film ini, menulis fiksi erotis mengenai teman sekolah yang disukainya bernama David. Banyak audiens yang marah dengan hal ini, dan merasa film ini gagal membicarakan pelecehan terhadap laki-laki. Tapi ada banyak juga yang membela dengan mengatakan bahwa fantasi akan tetap menjadi fantasi selama dikonsumsi secara pribadi, dan oleh karenanya tidak bisa dikatakan sebagai bentuk pelecehan.

Seperti halnya dengan perdebatan alot mengenai Dear David, pembicaraan mengenai RPF pun juga tak pernah selesai karena kerap dibatasi dalam kerangka dualisme antara benar atau salah. CXO Media akhirnya bertanya kepada para pembaca RPF yang akhirnya menulis cerita fiksi mereka sendiri. Ketika RPF masih sangat abu-abu, bagaimana mereka memandang fenomena ini?

Hiburan yang Membahagiakan

Para pembaca RPF, apalagi penulisnya, kerap dicap sebagai fangirl "halu" yang tak punya kehidupan sosial, dan tak bisa membedakan antara fantasi dan realita. Namun, mereka yang "nyemplung" ke dunia RPF memiliki alasannya masing-masing. Sama halnya ketika berkhayal tentang seseorang yang kita sukai, membaca fiksi mengenai sosok yang diidolakan juga bisa menimbulkan euforia.

Dinar, pekerja media yang kerap membaca AU di waktu luangnya, merasa bisa mendapatkan entertainment dengan membaca cerita fiksi mengenai salah satu K-pop idol yang ia kagumi. Ia pun juga akhirnya tergerak untuk menuliskan AU yang terinspirasi dari kehidupan pribadinya, di mana karakter utamanya adalah member boyband TREASURE. "Jadi ketika gue habis mengalami suatu kejadian di hidup gue yang remarkable, gue lalu berharap kejadian itu melibatkan seseorang yang gue adore, Jung-hwan. Gue suka aja pas gue baca cerita (yang gue tulis) itu, gue ngebayangin diri gue ada di posisi itu," katanya.

Lain halnya dengan Erlita, copywriter yang sudah menjajal dunia RPF sejak tahun 2010 ketika ia duduk di bangku SMA. Awal mulanya, ia hanya membaca fan fiction dari karya fiksi yang sudah ada, seperti Harry Potter dan Naruto. Namun ketika ia menyelami dunia K-pop, ia mulai penasaran dengan fan fiction yang ditulis mengenai idolanya. "Aku iseng nyari fanfic K-pop, terus aku baca dan ternyata seru banget. Apa ya sebutannya, jauh lebih liar dan lebih bebas gitu, karena gak terikat sama dunia aslinya kayak gimana. Mereka bisa jadi anything that we wanted, dan menurut aku itu sangat menyenangkan," ucap Erlita.

Setelah menjadi pembaca Erlita pun akhirnya memutuskan untuk menulis ceritanya sendiri, lantaran ia punya banyak ide di kepala tapi tak bisa menemukan cerita yang ia bayangkan di mana-mana. Dengan kata lain, ia menjadi penulis untuk mewujudkan aspirasinya sebagai pembaca.

Meski membaca atau menulis RPF membawa kebahagiaan dan kepuasan tersendiri, tapi tak selamanya hal ini menjadi sesuatu yang bisa dibanggakan atau diumbar ke publik   setidaknya ini yang dirasakan oleh Dinar. Dia sendiri tak pernah memberi tahu orang-orang di sekelilingnya kalau ia adalah pembaca sekaligus penghasil karya RPF. "Gue malu, karena takut di-judge sama orang-orang. Orang yang nge-judge K-pop aja udah banyak, terus yang nge-judge fiksi juga banyak, apalagi kalau suka dua-duanya; double kill," ucapnya sambil tertawa.

.Ilustrasi membaca Alternate Universe (AU)/ Foto: Unsplash

Menarik Batas antara Fiksi dan Realita

Soal tuduhan bahwa cerita RPF itu creepy dan cenderung mengobjektifikasi atau bahkan melecehkan, baik Dinar maupun Erlita memiliki pendapat masing-masing. "Kalau gue membayangkan posisi selebriti yang jadi karakter di RPF, mungkin mereka juga akan shock kalau tahu ada cerita-cerita kayak gini. Tapi ya di satu sisi gue juga ngerasa gue butuh entertainment kayak gini," ucap Dinar.

Sedangkan menurut Erlita, batasan RPF ada pada bagaimana para fans memperlakukan idola mereka di kehidupan nyata serta adanya kesadaran untuk membedakan mana yang fiksi dan mana yang nyata. "Just because we write about them doesn't mean we own them, and doesn't mean we have to make them read what we write and they have to like it. Jangan sampai karena kita menulis dan membaca (RPF) terus kita ngerasa realitanya harus sama kayak gitu dan mereka harus mengikuti realita versi kita," ucapnya.

Contoh nyata yang menggambarkan ketika RPF telah melewati batas adalah apa yang dialami oleh para member boyband One Direction. Di puncak ketenaran boyband tersebut, RPF mengenai para personilnya menjadi kian tak terbendung. Masalahnya, banyak fans yang secara terang-terangan melecehkan para personil One Direction di kehidupan nyata dengan menuntut mereka untuk merealisasikan skenario fan fiction yang mereka baca atau tulis. Ketika hal ini terjadi, idol yang menjadi karakter cerita fiksi akhirnya benar-benar diobjektifikasi di kehidupan nyata.

Selain konsekuensi di dunia nyata, beberapa RPF juga memiliki plot yang problematik. Misalnya, banyak yang menilai fan fiction mengenai Harry Styles berjudul After sebenarnya meromantisasi hubungan toksik. Hal ini kemudian diperparah dengan demografi pembaca fan fiction yang sebagian besar adalah remaja perempuan, termasuk yang masih di bawah umur. Namun cerita ini mampu menggaet banyak audiens sampai akhirnya diangkat menjadi buku dan film.

Terkait masalah pembaca underage yang terpapar dengan konten eksplisit, Erlita mengatakan bahwa penulis fan fiction seharusnya memberikan tag di tulisan mereka mengenai isi konten dan rating usia. "Aku pun sebenarnya mengakui kalau dulu aku salah dengan mengaku sudah 18 tahun agar bisa baca konten-konten seperti itu. Tapi menurut aku sebenarnya penulis fan fiction punya sistem tag-nya sendiri yang sebenarnya sangat rapi. Dengan mereka menaruh tag-nya di depan, itu sebenarnya mereka minta consent kita," ucap Erlita.

Pada akhirnya, RPF tidak bisa secara otomatis dikategorikan sebagai benar atau salah. Sebab semuanya kembali kepada motivasi individu yang bermacam-macam serta bagaimana masing-masing penulis fan fiction memperlakukan sosok selebriti baik dalam tulisan maupun dalam kehidupan nyata.

Tak dapat dimungkiri, RPF memiliki konsekuensi yang riil ketika para penggemar merasa berhak untuk mengintervensi kehidupan pribadi idola mereka di dunia nyata. Namun selama para penulis dan pembaca punya kesadaran diri untuk tidak bisa memperlakukan idola mereka sebagai objek di kehidupan nyata, nyatanya RPF akan tetap menjadi harmless fantasy.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/tim)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS