Insight | General Knowledge

Mematahkan Paham Keliru Mengenai Kesetaraan Gender

Senin, 21 Nov 2022 18:46 WIB
Mematahkan Paham Keliru Mengenai Kesetaraan Gender
Foto: Unsplash
Jakarta -

Dulu saat masih menjadi seorang mahasiswa, seorang senior laki-laki pernah bertanya apakah saya mendukung feminisme. Saya pun menjawab, dengan bahasa yang masih belepotan, bahwa saya mendukung hak-hak perempuan. Senior itu membalas, "mungkin kamu belum tahu, kalau dalam tradisi Jawa itu ada yang namanya pembagian tugas. Sekarang coba aku tanya, kamu mau nggak kalau disuruh bantuin ngangkat-ngangkat perkap dari lantai bawah ke lantai atas?" Saya pun menjawab tanpa ragu, "mau." Dia pun terdiam, dan obrolan kami tidak pernah dilanjutkan. Lima tahun kemudian, ternyata perdebatan seperti ini masih banyak ditemui.

Mungkin kalian sudah bosan mendengar para SJW feminis berkoar-koar mengenai kesetaraan gender. Mungkin kalian juga bertanya-tanya, mengapa feminis meributkan hal ini terus menerus, seakan-akan mereka banyak mau dan tidak pernah puas. Tapi barangkali, mereka sendiri juga merasa bosan dan kelelahan karena harus berkali-kali meluruskan dan membela gagasan yang mereka perjuangkan. Sebab terlepas dari banyaknya konten edukatif mengenai kesetaraan gender, nyatanya masih ada banyak orang yang salah kaprah dalam memahaminya.

Pemahaman yang salah kaprah ini dibuktikan dengan komentar-komentar di media sosial yang mendiskreditkan feminisme dan menuduh gerakan ini sebagai 'akal-akalan' kaum perempuan. Contohnya, seorang pengguna Twitter dengan nama akun @herricahyadi mempertanyakan mengapa tak ada perempuan yang mau jadi kuli. Ia menuduh bahwa perempuan hanya memperjuangkan kesetaraan gender hanya untuk profesi-profesi strategis seperti jabatan menteri atau pengusaha. Bahkan ia mengatakan, "yang mereka (feminis) perjuangkan adalah hak-hak istimewa pada tempat-tempat yang enak saja."

Argumen di atas adalah contoh pandangan yang sempit dan salah kaprah mengenai kesetaraan gender. Kesetaraan gender bukanlah semata-mata mengenai kebebasan untuk memilih profesi, atau semata-mata mengenai hak perempuan untuk menjadi pemimpin. Kesetaraan gender adalah suatu kondisi di mana semua individu-terlepas dari gendernya-bisa mendapatkan hak dan kesempatan yang sama tanpa harus mengalami diskriminasi. Hak dan kesempatan ini bisa bermacam-macam bentuknya, mulai dari hak untuk mendapatkan upah yang setara hingga hak untuk merasa aman ketika berada di ruang publik.

Di samping salah kaprah, argumen ini juga tidak tepat. Pada kenyataannya, ada banyak perempuan yang sehari-hari berprofesi sebagai buruh kasar, mulai dari kuli bangunan hingga buruh perkebunan. Jumlah mereka memang tidak signifikan, tapi hal ini wajar belaka mengingat profesi kuli adalah bidang kerja yang didominasi oleh laki-laki karena perempuan dianggap tidak bisa melakukan kerja kasar. Jadi, ini bukan perkara perempuan mau atau tidak mau bekerja kasar, tapi perkara banyaknya jenis profesi yang didominasi laki-laki-termasuk menjadi kuli.

Masalahnya, ada banyak orang di internet yang berpikiran seperti Herri Cahyadi, dan lebih banyak lagi di dunia nyata. Sebelum perdebatan soal kuli, kita semua pasti ingat perdebatan alot soal gerbong kereta khusus perempuan. Dalam perdebatan itu, lagi-lagi argumen yang digunakan adalah "perempuan menuntut kesetaraan tapi selalu ingin diistimewakan". Mereka yang tidak bersepakat mengatakan bahwa gerbong khusus perempuan adalah 'akal-akalan' agar perempuan didahulukan di transportasi publik. Padahal, gerbong khusus perempuan ada karena tingginya jumlah kasus pelecehan seksual di kereta di mana kebanyakan korbannya adalah perempuan.

Berbagai pemahaman salah kaprah di atas berangkat dari asumsi bahwa kesetaraan gender hanya menguntungkan perempuan. Padahal, asumsi ini salah dan tidak berdasar. Untuk yang kesekian kalinya, yang menjadi tujuan kesetaraan gender adalah agar semua individu-termasuk laki-laki-tak lagi mendapat diskriminasi karena gendernya. Sebagaimana perempuan seharusnya boleh menekuni profesi yang "maskulin", laki-laki juga seharusnya diperbolehkan untuk menekuni profesi yang "feminin".

Lagipula, anggapan-anggapan seperti "perempuan tidak mau angkat galon" atau "perempuan tidak mau jadi kuli" hanya akan mengecoh kita dari diskusi yang lebih penting, misalnya diskusi mengenai kesenjangan upah, kekerasan seksual, KDRT, dan berbagai masalah lainnya yang muncul akibat ketidaksetaraan. Selagi orang-orang yang menentang feminisme tak mau memahami makna sesungguhnya dari kesetaraan gender, maka tak akan pernah tercipta diskusi sehat yang membuat kita melangkah maju.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS