Insight | General Knowledge

Kenapa Kita Classist soal Bahasa Inggris?

Senin, 14 Nov 2022 21:08 WIB
Kenapa Kita Classist soal Bahasa Inggris?
Foto: Unsplash
Jakarta -

Belum lama ini, warganet heboh soal kasus jasa kecantikan yang tidak memperbolehkan untuk membatalkan booking pertemuan dengan alasan personal. Kasus ini dibuka oleh sebuah pengguna di Twitter yang membagikan pengalamannya melalui cuitan. Dirinya menyatakan bahwa salon kecantikan yang ia hubungi tidak menerima pembatalan meski ia sudah menyertakan alasan personalnya. "Maaf ya, aku harus cancel. My mom just passed away," tulisnya di kolom chat dengan admin customer service. Alasan ini tak digubris oleh admin CS, calon pengunjung pun tetap harus membayar biaya cancellation dari pertemuan yang telah dijanjikan.

Hal ini memicu balasan dari warganet yang tak segan mengolok-olok admin CS yang 'tak berakal' dan minim empati. Namun, banyak di antaranya juga mencemooh inteligensi sang admin CS berangkat dari klarifikasi serta permintaan maaf pihak salon yang menyatakan bahwa adminnya tidak mahir bahasa Inggris. Terlepas dari service yang memang masih kurang, tanggapan orang-orang yang fokus menyorot soal kecerdasan ini sebenarnya perlu dibahas.

Era sekarang, tak jarang yang memiliki perspektif bahwa kemampuan orang dalam berbahasa Inggris itu merupakan sebuah tolok ukur kepintaran seseorang. Memang faktanya, Bahasa Inggris sendiri merupakan bahasa pemersatu berbagai bangsa karena aktif digunakan oleh lebih dari 1,75 miliar di dunia baik itu untuk bahasa sehari-hari atau untuk kebutuhan bisnis dan akademik, riset British Council mengatakan. Namun, kefasihan Bahasa Inggris tak semata menunjukkan tingkat intelektualitas seseorang.

Berkoar-koar soal kemampuan Bahasa Inggris dan mengaitkannya dengan standar kepintaran seseorang bisa dibilang tindakan yang cukup classist. Secara, tak semua memiliki akses, pengetahuan, atau kemampuan yang sama rata soal berbahasa Inggris. Biasanya, status sosioekonomi adalah salah satu faktor yang sangat erat memengaruhi hal ini. Membangun sebuah 'barrier' yang memisahkan orang sesuai dengan kemampuan bahasa inggrisnya; bagus atau payah, merupakan hal yang cukup aneh.

.Dictionary/ Foto: Pexels

Berangkat dari pengalaman pribadi, sebagai seseorang yang memiliki background jurusan mata kuliah yang akrab berkutat dengan bahasa Inggris, kondisi ini terkadang memunculkan persepsi bahwa kefasihan bahasa Inggris itu merupakan wajib hukumnya. Padahal, hal tersebut cuma jadi hal yang esensial perihal kebutuhan dan tujuan akademik. Di satu sisi, ada juga rekan saya yang memang menilai orang dari pemahamannya dalam berbahasa Inggris, di mana ia tak segan untuk merendahkan lawan bicara yang tidak mengerti kalimat yang ia utarakan dalam bahasa Inggris.

Mahir berbahasa Inggris terkadang memang menumbuhkan perasaan besar hati. Sebenarnya, sah-sah saja untuk merasa bangga atas skill ini; nonton film Barat tanpa subtitle, memiliki aksen native speaker dalam berbicara-tapi jangan sampai rasa bangga ini melenceng tipis dengan rasa angkuh yang membuat kamu merasa berada 'di atas' orang lain. Sebab, sekali lagi, kemampuan berbahasa Inggris itu tidak bisa dijadikan indikator ataupun benchmark terbesar dalam menentukan tingkat intelektualitas seseorang.

[Gambas:Audio CXO]

(HAI/alm)

Author

Hani Indita

NEW RELEASE
CXO SPECIALS