Insight | General Knowledge

Bahaya Gas Air Mata: Dilarang dalam Perang Tapi Digunakan untuk Sipil

Selasa, 04 Oct 2022 13:02 WIB
Bahaya Gas Air Mata: Dilarang dalam Perang Tapi Digunakan untuk Sipil
Foto: CNN Indonesia
Jakarta -

Tindakan represif aparat yang menggunakan gas air mata pada Tragedi Kanjuruhan menjadi sorotan. Penggunaan gas air mata yang diarahkan ke area tribun membuat para penonton panik dan berlomba-lomba untuk keluar dari stadion. Lebih dari 100 orang tewas karena terinjak dan sesak napas. Pasca kejadian, banyak pihak meminta pertanggungjawaban kepolisian, apalagi dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations, tertuang pasal yang menyebutkan bahwa senjata api atau 'crowd control gas' tidak boleh digunakan untuk mengontrol kerumunan di stadion.

Menjawab hal tersebut, Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta mengatakan bahwa penggunaan gas air mata "sudah sesuai prosedur" sebab suporter Arema FC dinilai "anarkis". Meski demikian, banyak yang berpendapat bahwa tindakan polisi tersebut tetap tidak bisa dibenarkan. Sampai-sampai, muncul petisi agar polisi berhenti menggunakan gas air mata.

Polisi Indonesia memang sudah terbiasa menggunakan gas air mata sebagai alat untuk 'mengontrol massa', apalagi ketika unjuk rasa. Meski dampaknya melukai, tapi gas air mata selalu jadi solusi untuk setiap kali ricuh terjadi. Lantas, seperti apa sebenarnya dampak gas air mata bagi kesehatan? Dan mengapa penggunaannya jadi prosedur tetap walau berbahaya?

.Ilustrasi gas air mata/ Foto: Self.com

Diklasifikasikan sebagai Senjata Kimia

Meski namanya adalah gas air mata, tapi bentuk sebenarnya adalah bubuk yang diberi tekanan sehingga berubah menjadi kabut ketika ditembakkan ke udara. Di dalamnya terdapat komposisi kimia seperti CS atau chlorobenzalmalononitrile yang dapat menyebabkan iritasi pada kulit, mata, dan pernapasan. Melansir Centers for Disease Control and Prevention, gas air mata dapat menimbulkan sensasi 'pedas' yang menyebabkan mata berair, penglihatan kabur, sesak nafas, hingga batuk-batuk.

Akibat efek dari gas air mata, individu-individu yang berada di dalam kerumunan bisa merasa panik dan terdisorientasi, sehingga akhirnya kerumunan massa pun bubar. Gejala yang dialami bisa hilang dalam waktu 15 hingga 30 menit apabila seseorang yang terpapar gas air mata menjauh dari sumbernya dan membersihkan sisa-sisa residu menggunakan air. Namun, mereka yang terpapar gas air mata dalam jarak dekat di ruang yang tertutup bisa mengalami dampak jangka panjang seperti kebutaan, glaukoma, hingga kegagalan pernapasan.

Gas air mata lazim dijadikan senjata pada saat Perang Dunia I. Namun tahun 1925, berbagai negara menandatangani Geneva Protocol yang berisi kesepakatan untuk melarang penggunaan senjata kimia maupun biologis dalam perang. Dalam protokol ini, tidak disebutkan secara spesifik gas air mata termasuk di dalamnya. Akibatnya, beberapa negara adidaya pun masih merasa bebas untuk menggunakan gas air mata, seperti Amerika Serikat yang menggunakan gas tersebut dalam Perang Vietnam.

Protokol ini kemudian berkembang ke Konvensi Senjata Kimia yang diresmikan tahun 1997. Pada konvensi tersebut, gas air mata akhirnya diklasifikasikan sebagai senjata kimia. Dalam kesepakatannya, semua senjata kimia tidak boleh dikembangkan, diproduksi, dimiliki, dan digunakan untuk perang. Namun salah satu kompromi yang dibuat agar konvensi ini disepakati oleh semua negara, termasuk Amerika Serikat, adalah masing-masing negara masih diperbolehkan menggunakan gas air mata untuk mengontrol kericuhan di dalam negeri.

.Gas air mata digunakan di Stadion Kanjuruan/ Foto: Detikcom

Rentan Digunakan Sewenang-wenang

Kompromi yang disepakati dalam konvensi tahun 1997 di atas memiliki konsekuensi: meski sudah dilarang dalam kondisi perang, tapi gas air mata tetap digunakan untuk 'memukul mundur' massa aksi yang terdiri dari elemen sipil. Tentu saja ini menjadi sebuah hal yang ironis. Logikanya, kalau gas air mata dilarang untuk digunakan di antara tentara bersenjata, bukankah seharusnya benda ini lebih dilarang lagi untuk digunakan terhadap warga yang tak bersenjata?

Penggunaan gas air mata oleh aparat dijustifikasi dengan alasan bahwa gas air mata merupakan opsi yang lebih aman ketika menghadapi kericuhan, dibandingkan dengan penggunaan senjata api. Padahal, banyak yang berpendapat bahwa penggunaan gas air mata oleh aparat merupakan pengamanan yang berlebihan atau excessive use of force yang bisa berujung pada tindakan represif.

Tahun 2018, Amnesty International memulai sebuah investigasi yang menyelidiki penggunaan gas air mata. Investigasi ini menyoroti dua hal. Pertama, berbagai ahli mengkonfirmasi bahwa gas air mata berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Kedua, regulasi yang kendor menyebabkan berbagai kasus penyalahgunaan gas air mata oleh aparat. Penyalahgunaan yang dimaksud di sini adalah penggunaan gas air mata dalam aksi damai, penggunaan gas air mata dengan jumlah yang terlalu banyak, serta gas air mata yang ditembakkan ke individu. Dalam investigasi tersebut, Amnesty berhasil mengumpulkan 500 video yang menunjukkan penyalahgunaan gas air mata di 22 negara, termasuk Indonesia.

Di Indonesia, penggunaan gas air mata diatur dalam Protap (Prosedur Tetap) Kepolisian Republik Indonesia. Di sana tertulis polisi diperkenankan membela diri dengan menggunakan senjata tumpul, senjata kimia, atau "alat lain sesuai standar Polri" ketika menghadapi massa yang melakukan perlawanan fisik. Melalui data LPSE, kami menemukan bahwa tahun ini negara menghabiskan Rp 69 miliar untuk pengadaan amunisi gas air mata, sedangkan Rp 41 miliar dihabiskan untuk pengadaan launcher gas air mata.

Gas air mata akhirnya terlanjur dimaklumi sebagai cara termudah dan paling ampuh dalam mengontrol kerumunan. Masalahnya, penggunaan gas air mata yang sewenang-wenang berpotensi melukai-bahkan menewaskan-orang-orang tak bersalah. Padahal seharusnya aparat memiliki pemahaman bahwa pendekatan humanis harus selalu diutamakan. Sebab orang-orang dalam kerumunan bukanlah wajah tanpa nama, melainkan manusia yang memiliki nyawa.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/tim)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS