Insight | General Knowledge

Berlindung Dibalik Anonimitas

Jumat, 01 Jul 2022 12:00 WIB
Berlindung Dibalik Anonimitas
Foto: Unsplash/Emily Morter
Jakarta -

Akhir-akhir ini, pengguna Instagram berbondong-bondong menggunakan aplikasi ngl.link. Pengguna cukup menggunakan fitur embed link di Instagram Story yang akan membawa kepada question box saat mereka membuka link tersebut. Berbeda dengan fitur question, aplikasi ngl.link mengedepankan anonimitas dalam setiap pertanyaan yang masuk ke dalam inbox pengguna. Konsep ini kurang lebih sama dengan situs ask.fm yang dulu beken pada masanya.

Pertanyaan atau ungkapan yang diterima pun beragam, mulai dari pertanyaan seputar diri mereka, opini mengenai suatu hal, pengakuan rasa romantis, ungkapan rasa kagum ataupun rindu, hingga cemoohan dan sindiran. Semua terkirim dalam mode anonim yang tentunya memantik rasa penasaran mengenai figur dibalik pengirim pesan tersebut.

Dalam beberapa konteks, anonimitas memiliki fungsi yang bersifat benar-benar melindungi privasi dan identitas seseorang. Seperti misalnya untuk menyampaikan laporan saintifik mengenai sebuah kasus atau kondisi individual, informasi tambahan untuk media ataupun pihak polisi, dan yang lainnya.

Namun, dengan maraknya penggunaan internet yang mudah untuk diakses di masa kini, anonimitas seperti sudah menjadi lazim. Terlebih, platform media sosial yang memberikan kebebasan untuk memasukkan informasi pribadi sesuka hati, terlepas kebenaran yang valid atau yang hanya dibuat-buat sebagai persona.

Mengapa tidak diungkapkan secara langsung?
Beberapa orang merasa ingin menyembunyikan beberapa informasi mengenai dirinya agar mendapatkan jawaban yang tidak bias, atau tidak dipengaruhi oleh penilaian mengenai dirinya yang bersifat personal. Gengsi, malu, takut, atau sekadar tidak ingin identitasnya terungkap   mereka yang memilih untuk berlindung dibalik anonimitas merasa aman untuk menyampaikan apa saja kepada seseorang. Anonimitas terkesan lebih sederhana, lebih mudah, dan lebih jujur   bahkan bisa juga untuk menjadi terlalu jujur.

Tidak ada konsekuensi sosial yang bisa diterima
Dengan identitas yang tidak diketahui, mudah bagi mereka untuk tidak merasakan ketakutan atau keraguan untuk melontarkan apapun yang mereka inginkan. Mereka terhindar dari sanksi sosial, atau dari spill yang kian merambah jadi kultur baru dalam berinternet.

Secara psikologis, menjadi anon lebih nyaman
Menjadi 'misterius' lebih nyaman dan membuat kita tidak merasakan beban saat beropini. Bahkan, sebuah studi menemukan bahwa menjadi anon mengurangi social anxiety dan social desirability serta menambah kepercayaan diri seseorang, dibanding saat mereka menjadi non-anon.

Dengan internet yang turut memfasilitasi pengguna untuk menjadi anon, hal ini sering digunakan untuk menyebarkan rasa benci atau melontarkan ungkapan-ungkapan negatif kepada suatu hal atau seseorang. But why send so much hate? Why we have to be angry, loathful, and aggressive? Meski bebas beropini, sebagai individu kita juga harus mengenal batasan serta memikul tanggung jawab atas ketikan dan perkataan yang kita unggah di internet. Tetap ingat bahwa anonimitas di dunia maya bukanlah bentuk pelarian dari kehidupan, karena semua hal memiliki jejak digital meskipun kita berlindung dibalik anonimitas.

[Gambas:Audio CXO]



(HAI/HAL)

Author

Hani Indita

NEW RELEASE
CXO SPECIALS