Sebagai anak muda yang tumbuh di era internet, tak sulit bagi saya untuk menemukan konten edukatif mengenai kesehatan mental di media sosial. Berbeda dari generasi orang tua saya yang mungkin tak familiar dengan istilah seperti "healing", "anxiety" dan "toxic productivity", kata-kata ini dengan mudahnya masuk ke dalam percakapan sehari-hari antara saya dan teman-teman saya.
Hal ini tak terlepas dari pengaruh budaya pop yang juga turut serta membuka ruang untuk isu kesehatan mental. Misalnya, film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini mengajak kita untuk berbicara mengenai trauma antargenerasi. Film ini juga diisi dengan soundtrack dari Kunto Aji berjudul Rehat dan Hindia yang berjudul Secukupnya dua-duanya merupakan lagu yang berbicara tentang resiliensi untuk menghadapi hari esok.
Ilustrasi kesehatan mental/ Foto: Wikimedia Commons |
Mulai dari buku, film, lagu, hingga konten media sosial, kesehatan mental memang telah menjadi current issue yang semakin lazim untuk dibicarakan secara terbuka. Tapi, dari semua konten yang saya temui, ada satu narasi yang mendominasi hampir semua perbincangan mengenai isu ini. Pada umumnya, kesehatan mental dibingkai sebagai masalah individu yang sebab dan konsekuensinya juga ditanggung oleh individu. Nyaris semua pembahasan dibahas dari sudut yang personal, entah itu self-help, self-improvement, atau self-self lainnya.
Narasi ini tidak salah, sebab pikiran, perilaku, dan emosi individu adalah esensi dari psikologi manusia. Namun, ada bagian krusial yang hilang dari narasi ini, yaitu dimensi sosial dan tanggung jawab kolektif kita sebagai masyarakat dalam menanggapi isu ini. Kesehatan mental adalah isu multi-dimensi. Norma sosial, budaya, ekonomi, bahkan politik, bisa menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi mental sebuah generasi.
Ilustrasi mental health/ Foto: Wikimedia Commons |
Sebuah riset di Inggris menemukan remaja usia 16-25 tahun di masa sekarang lebih merasa tidak bahagia dibandingkan remaja pada masa 10 tahun yang lalu. Penyebabnya bermacam-macam, mulai dari rasa kesepian saat pandemi, susahnya mencari kerja, upah yang tidak layak, tingginya harga properti, hingga krisis iklim. Bahkan, kondisi politik yang memanas ketika pemilu juga bisa mempengaruhi kondisi mental anak muda. Hal ini menunjukkan situasi yang penuh ketidakpastian dan minimnya jaminan untuk hidup layak turut berkontribusi terhadap kesehatan mental anak muda.
Selain itu, dimensi sosial dalam isu kesehatan mental juga bisa dilihat melalui bagaimana kita sebagai masyarakat memperlakukan Orang Dengan Gangguan Kejiwaan (ODGJ). Mungkin kesehatan mental telah menjadi isu yang marak dibicarakan, tapi hal ini tak membuat ODGJ memiliki hidup yang lebih baik. Buktinya, banyak ODGJ di panti sosial yang hidupnya tidak manusiawi dan ditelantarkan. Dari 190 panti sosial, sedikitnya ada sekitar 11 ribu penyandang disabilitas mental. Menurut Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat, Yeni Rosa, ada banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di sini, yaitu perampasan kebebasan, penahanan sewenang-wenang, dan perlakuan kejam yang tidak manusiawi. Pelanggaran ini terjadi baik di panti sosial swasta maupun yang dikelola negara.
Kesehatan mental/ Foto: Wikimedia Commons |
Tak hanya itu, penyandang disabilitas mental juga mengalami kesulitan untuk berintegrasi dengan masyarakat, bukan karena mereka tak mampu tapi karena minimnya ruang yang inklusif. Misalnya, hal ini ditandai dengan sulitnya para penyandang disabilitas mental untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Masalah ini berkaitan dengan kuatnya stigma mengenai penyandang disabilitas mental yang dicap tak mampu bekerja dengan baik dan maksimal. Realita ini terasa sangat jauh dari konten-konten self-improvement dan self-help yang berseliweran di media sosial.
Berbagai permasalahan di atas menunjukkan bahwa isu kesehatan mental sangat erat dengan kondisi sosial masyarakat. Tulisan ini tak bermaksud mengecilkan permasalahan mental yang dihadapi individu. Tapi, semoga ke depannya diskusi kita mengenai kesehatan mental bisa bergerak ke arah yang lebih luas. Sebab kesehatan mental adalah masalah bersama.
(ANL/DIR)