Insight | General Knowledge

Dahulu Obat, Sekarang Tidak Sehat

Senin, 24 Jan 2022 17:05 WIB
Dahulu Obat, Sekarang Tidak Sehat
Foto: PEXEL MEDIUM
Jakarta -

Dahulu digunakan jadi obat, sekarang menjadi tidak sehat. Ya, itulah sebatang rokok. Baru-baru ini Menko Perekonomian Sri Mulyani, menetapkan kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) per 1 Januari 2022 demi menekan angka perokok dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia. Sementara Pemerintah Selandia Baru, akan melarang penduduknya mengkonsumsi rokok seumur hidup per tahun 2027 mendatang. Tapi tahukah kalian, jauh sebelum mulai diperangi dan dilarang, rokok di masa lalu ternyata dikenal sebagai "Obat dari Tuhan". Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Abad ke-15 menjadi awal julukan "Obat dari Tuhan" tersemat pada tanaman tembakau. Nicotiana, begitu tanaman itu dinamai oleh seorang peneliti Medis asal Belanda, Gilles Everaerts, dan diklaim dapat mengatasi semua racun serta penyakit menular. Melalui bukunya yang berjudul Panacea; or the Universal Medicine, being a Discovery of the Wonderful Virtues of Tobacco taken in a Pipe pada tahun 1587 silam, Everaerts bahkan menyebut bahwa para dokter dapat menganggur karena tingginya manfaat tembakau yang dibakar dan dihirup melalui sebuah pipa.

Sementara itu, kisah-kisah mengenai manfaat tembakau sebagai obat juga diketahui dari berbagai belahan dunia. Perjalanan seorang Portugis, Pedro Alvares Cabral, ke Brasil menghasilkan temuan bahwa betum (nama lain tembakau) dapat dipakai untuk mengobati penyakit seperti kulit bernanah dan polip. Selain itu, di kawasan yang kini menjadi Meksiko, biarawan asal Spanyol, Bernardino de Sahagun, mempelajari bahwa dengan membedah leher dan menaburkan daun tembakau yang sudah ditumbuk dengan campuran garam, penyakit kelenjar-kelenjar pada leher dapat disembuhkan.

Prof. Anne Charlton dalam Journal of the Royal Society of Medicine juga menuliskan bahwa tembakau dihisap oleh penduduk di kepulauan yang sekarang bernama Kuba, Haiti, dan Bahama untuk membantu mensucihamakan atau mengusir penyakit dari sebuah tempat berdasarkan kisah petualangan Christopher Columbus pada 1492. Sedangkan di Venezuela dan India, tembakau ramai dipakai sebagai pasta gigi.

Pada abad-abad berikutnya, Wellcome Collection yang merupakan museum sekaligus perpustakaan kesehatan, mengungkap bahwa pipa atau rokok menjadi aksesori wajib bagi dokter, dokter bedah, dan mahasiswa kedokteran. Zat ini disinyalir dapat menutupi bau jenazah serta melindungi mereka dari ancaman penyakit yang timbul dari jenazah.

Salah satu manfaat tembakau pada zaman itu yang cukup sensasional adalah manfaatnya untuk korban tenggelam. Dengan menghembuskan asap tembakau ke anus korban, para dokter meyakini para korban dapat merasa hangat dan cepat sadar akibat asap tembakau. Oleh sebab itu, perangkat tembakau disediakan di bantaran Sungai Thames untuk mengatasi situasi darurat. Sementara di Indonesia, Haji Djamhari, menemukan racikan tembakau, cengkeh dan beberapa rempah lainnya mampu mengatasi penyakit asma dengan cara dilinting dan dibakar.

Kapan Rokok Mulai Dinilai Berbahaya dan Dilarang?

Fakta bahwa zat nikotin ditemukan pada daun tembakau pada 1828, membuat ranah medis dunia mulai lebih skeptis pada anggapan bahwa tembakau bisa dipakai sebagai obat. Meskipun demikian, pengobatan memakai tembakau masih dapat ditemui pada zaman itu. Termasuk penggunaan pada anus untuk melawan sembelit, pendarahan wasir, dan mengatasi cacing.

Di zaman modern, setelah ilmu pengetahuan berkembang dan telah banyak dilakukan penelitian mengenai rokok, para ahli mulai memperkirakan terdapat lebih dari 7.000 bahan kimia di dalam rokok yang disinyalir dapat membahayakan. Zat-zat seperti nikotin, karbon monoksida, tar dan lainnya, dianggap dapat memberi adiksi berbahaya dan menyebabkan banyak penyakit bagi manusia.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan menganggap tembakau adalah "epidemi" dan "salah satu ancaman kesehatan publik terbesar yang pernah dihadapi dunia". Organisasi tersebut mendesak negara-negara untuk mengadopsi rangkaian kebijakan demi mencegah penggunaan tembakau, seperti menaikkan pajak rokok serta melarang iklan dan sponsor oleh perusahaan tembakau.

Di Indonesia sendiri, diperkirakan ada lebih dari 230.000 orang yang meninggal akibat kebiasaan merokok setiap tahunnya. Untuk menekan angka perokok, Menteri Perekonomian Sri Mulyani bahkan menetapkan kenaikan CHT per Januari 2022 mendatang. Hal ini dilakukan demi mengurangi perokok yang terus bertambah dan menjadi penyebab dari berbagai masalah ekonomi masyarakat. Efek adiktif dari nikotin, sampai gangguan saluran pernafasan karena karbon monoksida dan tar diduga sebagai efek paling berbahaya dari rokok sehingga tidak baik dikonsumsi oleh manusia.

Setelah menilik perjalanan rokok sebagai media pengobatan, dan bagaimana zat berbahaya ternyata terkandung di dalamnya, masyarakat dunia seharusnya mulai mempertimbangkan kembali bagaimana peran rokok di kehidupannya. Jika dahulu mengkonsumsi rokok adalah langkah pengobatan, dapatkah para pecandu rokok yang membahayakan berhenti darinya dan melakukan pertobatan?

[Gambas:Audio CXO]



(RIA/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS