Interest | Fashion

Tak Cuma Buat Gaya, Brand Fashion Lokal Bisa Jadi Media Kritik dan Kesadaran Sosial

Selasa, 28 Oct 2025 17:30 WIB
Tak Cuma Buat Gaya, Brand Fashion Lokal Bisa Jadi Media Kritik dan Kesadaran Sosial
Brand fashion lokal, No Brands Footwear tak sekadar mementingkan gaya, tapi juga bersuara dalam kemanusiaan maupun politik. Foto: Instagram
Jakarta -

Fashion kini bukan cuma sekadar pelengkap gaya sehari-hari seseorang, namun bisa jadi statement atas sebuah kritik atau kesadaran sosial. Seperti brand fashion lokal yang satu ini, No Brands Footwear, brand sepatu asal Depok, Jawa Barat ini menjadikan produknya sebuah medium untuk menyuarakan kritik dan kesadaran sosial.

Bukan Cuma Gimmick

Mengawali kegelisahannya pada situasi Pandemi COVID-19 lima tahun lalu, mereka memadukan retorika kritis-sosial dan politik-dalam visualnya. Sehingga memberikan warna baru di pasar brand fashion lokal kita. Di tengah kondisi sosial dan politik saat ini, apa yang ditawarkan No Brands Footwear dapat menjadi sesuatu yang dekat bahkan menjadi fashion statement bagi orang yang memakainya terutama kalangan Gen Z yang melek politik.

Dari sana, kita bisa melihat bahwa apa yang dikenakan bukan lagi sekadar perihal selera, melainkan sikap. Fashion, pada titik ini, menjelma menjadi teks sosial-dalam hal ini nilai kemanusiaan.

Seliweran banyak fashion yang menawarkan gaya vintage atau model elegan pada artikelnya. Berbeda dengan No Brands Footwear ini, ia menjadikan brand sebagai medium kritis: suara misuh kita mengenai sosial-politik seakan di copy-paste pada bagian-bagian produknya. Misalnya, pada desain outsole salah satu sepatunya yang bertuliskan 'Koruptor Jancok'. Brand ini seolah mengutarakan isi hati kita di medium yang berbeda, yaitu footwear.

[Gambas:Instagram]

Tak segan dalam membuat desain, brand yang meluncurkan sepatu sebagai produk utamanya ini mempunyai visual yang lebih berani bahkan menjadi daya tarik utamanya. Misalnya, desain "Not Made in USA" dan "Fvck Israel" di salah satu produk sepatunya.

Ini melampaui unique selling suatu produk, bagi saya, ini bertransformasi menjadi fashion statement kolektif karena ada keberanian moral di baliknya - sindiran keras politik terhadap pelaku genosida.

Tak hanya berhenti pada visual seperti itu. Bentuk sarkastik lainnya, terdapat pada bagian insole yang menampilkan wajah figur bengis, Benjamin Netanyahu yang diplesetkan jadi Setanyahu-seolah memberi makna terselubung bahwa manusia itu harus direndahkan bahkan "diinjak bersama".

[Gambas:Instagram]

Brand ini ada semacam isyarat: ada yang lebih penting dari bahan premium produk, yakni isu kemanusiaan yang masih terjadi di tengah nyamannya seseorang menggunakan footwear. Isu ini adalah ironi untuk kita semua.

Sehingga pertalian footwear dengan sindiran politik membawakan fashion kiwari tak melulu tentang penampilan menawan nan mewah, melainkan bentuk sederhana: pesan moral hingga suara keberpihakan kepada kaum tertindas. Mungkin, di tengah hiruk-pikuk citra dan tren, yang kita butuhkan bukan pakaian baru, melainkan kesadaran baru.

Ketika Fashion Menjadi Ladang Mencari Makna

Berkembangnya zaman, fashion tak hanya tentang sesuatu yang melekat di tubuh kita, ia berubah menjadi ladang pencarian makna diri. Saat ini brand dan produk harus mempunyai nilai yang selaras dengan kita: ramah lingkungan kah, atau pesan moral kemanusiaan seperti yang ditawarkan oleh No Brands Footwear.

Kebiasaan mencari makna pada suatu merek dan produk sebenarnya sudah jauh dilakukan. Sekiranya sejak tahun 60-an fashion sudah menjadi saluran komunikasi generasi muda global kala itu: menjadi ajang menyampaikan pesan, nilai, dan gagasan untuk memperkenalkan diri mereka ke khalayak.

Hal itu diproduksi ulang di generasi saat ini, Gen Z, sebagai tanggung jawab sosial dan inklusivitas yang membuat fashion tak lagi tentang keglamoran atau strata sosial, melainkan medium untuk menyuarakan isu yang terasa dekat oleh mereka: lingkungan atau kemanusiaan.

Dari "Fvck Israel" di sepatu dapat menjadi simbol politis bahkan suara lantang di setiap langkah kaki. Ini membuktikan bahwa gaya berpakaian kiwari, menurut sosiolog Bourdieu, adalah simbol posisi sosial dan kultural seseorang - alih-alih tentang kelas ekonomi melainkan menjelma sebagai kesadaran sosial dan keberpihakan nilai.

[Gambas:Instagram]

Pada akhirnya, dari No Brands Footwear kita belajar bahwa fashion lokal bisa memiliki makna lebih dari sekadar gaya: ia bisa menjadi medium perlawanan, ekspresi identitas, sekaligus wujud keberpihakan terhadap nilai kemanusiaan.

Di tengah derasnya arus globalisasi dan dominasi merek luar, keberanian brand lokal seperti ini seharusnya mendapat tempat dan dukungan lebih luas. Sebab, lewat desain dan sikap yang autentik, mereka bukan hanya menciptakan produk, melainkan narasi yang lahir dari tanah sendiri - narasi yang jujur, berakar, dan mampu berbicara di panggung dunia.

Mungkin inilah saatnya kita tak hanya bangga memakai produk lokal, tapi juga menjadikannya cermin dari kesadaran: bahwa dari sini, dari ide dan langkah kecil, makna besar bisa tumbuh dan dilihat dunia.

Penulis: Iqra Ramadhan Karim
Editor: Dian Rosalina

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS