Di balik citra generasi yang dianggap paling melek teknologi, paling adaptif, dan paling terbuka pada perubahan, Gen Z justru berdiri di titik paling rapuh dalam lanskap sosial-ekonomi yang penuh tekanan. Mereka lahir di situasi tidak ideal, tumbuh di tengah krisis, dan dewasa dalam lingkungan yang menuntut banyak hal tanpa memberikan pijakan yang benar-benar stabil.
Di balik layar gadget yang menyala, banyak dari mereka sedang berjuang diam-diam untuk bernapas. Tekanan itu bisa dirasakan dalam data. Survei Sun Life Asia Financial Resilience Index: Balancing Today's Needs and Tomorrow's Goals (2025) menunjukkan adanya jurang ketahanan finansial yang lebar antar generasi.
Gen Z muncul sebagai kelompok yang paling rapuh secara ekonomi, dengan kemampuan bertahan jangka panjang yang paling rendah. Sebaliknya, generasi yang lebih senior justru mencatat tingkat keamanan finansial yang jauh lebih kuat, yaitu sebesar 63% responden Baby Boomer merasa aman secara finansial, angka yang kontras dengan Gen Z yang hanya mencapai 49%.
Kondisi ini semakin rumit ketika dilihat dari kacamata ekonomi makro. BPS mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) per November 2025 berada di angka 4,85% dan kelompok usia 15-24 tahun menjadi penyumbang terbesar. Situasi ini sejalan dengan temuan Business Times Singapura dan Bloomberg, yang dikutip dari CNBC Indonesia menyebutkan bahwa tingkat pengangguran muda Indonesia telah mencapai 17,3%.
Angka tersebut hanya sedikit lebih rendah dari India (17,6%) dan justru lebih tinggi dibanding China (16,5%). Laporan tersebut juga mengacu pada riset Morgan Stanley berjudul Asia Faces Rising Youth Unemployment Challenge yang menyoroti akar persoalan di kawasan.
"Pertumbuhan ekonomi di beberapa negara besar Asia tidak mampu menciptakan lapangan kerja baru yang cukup bagi jutaan anak muda," tulis laporan itu, dikutip dari CNBC Indonesia.
Ilustrasi gen z yang pusing dengan himpitan ekonomi/ Foto: Unsplash |
Kecemasan di Tengah Ketidakpastian Ekonomi
Kombinasi tekanan struktural dan ekonomi yang menimpa generasi muda membuat mereka hidup seolah di dua ruang yang saling bertentangan, yaitu dunia nyata yang penuh ketidakpastian dan dunia digital yang menawarkan pelarian, tetapi diam-diam memperberat beban. Media sosial yang mestinya menjadi ruang ekspresi dan rekreasi digital kerap kali berubah menjadi arena perbandingan tanpa ujung, memperkuat rasa tidak cukup dan tidak aman.
Sejalan dengan itu, Kompas pada tahun ini, 2025, merilis artikel berita mengenai meningkatnya kerentanan kecemasan di kalangan Gen Z. Hampir 47 persen responden mengaku merasa cemas 'sering' atau 'selalu'. Bahkan sekitar 44 persen dari mereka terus-menerus diliputi rasa gugup, gelisah, atau cemas, sebagaimana dicatat dalam data dari The Annie E. Casey Foundation.
Situasi tersebut bukan sekadar statistik, tetapi merupakan sinyal darurat. Tanpa penanganan yang memadai, kecemasan dapat merembet pada penurunan kinerja akademik, gangguan tidur, hingga perilaku berisiko seperti konsumsi obat-obatan maupun pola hidup yang tidak sehat.
Dalam artikel yang sama, termaktub 3 indikator utama pemicu stres: paparan kekerasan dan berita menegangkan, ketidakstabilan keuangan, serta paparan media sosial. Ketiga indikator ini sangat relevan dengan realitas Indonesia saat ini.
Berita menegangkan hadir setiap hari di linimasa media sosial maupun konvensional, ketidakstabilan finansial relevan dan terus menghantui banyak Gen Z di tengah lapangan kerja yang sempit, dan konsumsi media sosial yang berlebihan menciptakan tekanan untuk selalu tampak berhasil, produktif, dan bahagia, meskipun kenyataan hidup jauh dari narasi ideal tersebut
Ilustrasi pergeseran pekerjaan yang cepat/ Foto: Unsplash |
Lebih rumit lagi, Gen Z memasuki dunia kerja pada masa transformasi besar-besaran. Otomasi menggeser banyak pekerjaan entry-level dan perusahaan semakin mencari talenta yang "siap pakai" tanpa memberikan ruang pengalaman ataupun pembelajaran yang memadai.
Banyak dari mereka harus bersaing dalam pasar yang menuntut kompetensi tinggi, portofolio mengagumkan, dan jam terbang panjang di umur yang belia, sebuah ekspektasi yang tidak realistis bagi generasi yang bahkan belum selesai belajar realitas dunia.
Di tengah tekanan ini, kesehatan mental menjadi isu yang tidak bisa ditawar. Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023 Berdasarkan karakteristik kelompok umur, prevalensi depresi paling tinggi ada pada kelompok 15-24 tahun, yaitu sebesar 2%, angka tersebut tidak muncul begitu saja tanpa faktor penyebab, ia tumbuh dari kombinasi beban finansial, tuntutan sosial, tekanan akademik, serta ketidakstabilan sosial yang juga terhimpit oleh kondisi ekonomi nasional.
Namun, barangkali luka terbesar bagi banyak Gen Z adalah perasaan dicurangi di negeri sendiri. Mereka bekerja keras, tetapi peluang hidup lebih baik terasa makin jauh. Mobilitas sosial yang dulu dianggap sebagai tangga, kini tampak seperti dinding kaca solid yang sulit ditembus.
Ilustrasi perhitungan keuangan/ Foto: Unsplash |
Sebagian mencari jalan pintas, sebagian memilih diam, dan sebagian lainnya terus berjuang sendirian dalam kesenyapan yang jarang terlihat siapa pun. Pada titik ini, jelas bahwa krisis Gen Z bukan sekadar persoalan individu, melainkan cermin dari struktur sosial-ekonomi yang tak secepat tuntutan zaman.
Indonesia membutuhkan generasi muda yang tangguh, tetapi itu mustahil terwujud jika mereka dibiarkan menanggung beban yang bukan milik mereka.
Yang dibutuhkan bukan motivasi instan, melainkan fondasi sosial yang lebih adil, ekosistem kerja yang manusiawi, dan ruang hidup yang memberi mereka kesempatan untuk bernapas. Hal tersebut, menjadi penting sebab jika generasi muda terus dipaksa bertahan dalam sistem yang menghimpit mereka, sampai kapan bangsa ini bisa berharap mereka tetap kuat tanpa pernah benar-benar didukung?
Penulis: Muhammad Fauzan Mubarak
Editor: Dian Rosalina
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)
Ilustrasi gen z yang pusing dengan himpitan ekonomi/ Foto: Unsplash
Ilustrasi pergeseran pekerjaan yang cepat/ Foto: Unsplash
Ilustrasi perhitungan keuangan/ Foto: Unsplash