Insight | Business & Career

Balada Skor Kredit Buruk Hambat Karier Gen Z

Selasa, 05 Sep 2023 16:33 WIB
Balada Skor Kredit Buruk Hambat Karier Gen Z
Ilustrasi skor kredit buruk Foto: Freepik
Jakarta -

Beberapa waktu lalu, unggahan seorang fresh graduate yang mengaku tidak diterima di sebuah perusahaan karena status kredit yang berada di Kolektibilitas 5 alias macet sempat viral di media sosial. Kabar ini sontak menimbulkan pro-kontra di kalangan pencari kerja, terutama Gen Z yang baru ingin merintis kariernya.

Ada yang berpendapat jika skor kredit menjadi salah satu syarat diterimanya seorang karyawan, dikhawatirkan akan meningkatkan jumlah pengangguran dan sulit untuk melunasi utang-utang tersebut. Sementara yang lainnya menilai, skor kredit utang bisa menentukan seperti apa arus keuangan calon karyawan, sehingga nantinya tidak menimbulkan masalah di kemudian hari bagi perusahaan.

Namun keputusan banyak perusahaan untuk menjadikan skor kredit jadi syarat diterimanya seorang karyawan tidak terlepas dari persoalan yang kini tengah dihadapi oleh Generasi Z dan Milenial saat ini. Menurut catatan OJK, Gen Z dengan rentang usia 19-25 tahun dan Milenial dengan rentang usia 26-35 tahun, menjadi kelompok usia yang paling banyak berutang pada tahun 2021. Nilai pinjaman online-nya pun mencapai Rp14,74 triliun.

Tingginya angka ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa di antara mereka tidak banyak memiliki akses terhadap perbankan, sehingga jalur pinjaman online merupakan alternatif yang menarik dan mudah cair. Tapi yang tidak mereka sadari adalah meskipun bukan meminjam dari lembaga perbankan konvensional, tetap saja skornya tercatat dalam riwayat kredit di Bank Indonesia. Ketepatan waktu membayar akan menjadi catatan untuk pihak terkait-termasuk lembaga penyalur simpanan lain dan pemberi kerja.

Lantas, apakah syarat baik-buruknya skor kredit dalam penerimaan calon pegawai merupakan hal tepat?

Memahami Alasan Skor Kredit Jadi Alat Seleksi Karyawan

Sebuah perusahaan bukan sekadar mengambil untung dari bisnis yang dijalaninya, tapi juga berharap mempunyai karyawan yang baik dan bebas dari perilaku problematik. Sebab jika ada seorang karyawan problematik di satu perusahaan, bisa menghambat pace dan kinerja dari karyawan lainnya. Oleh sebab itu, mari kita memahami alasan mereka menjadikan skor kredit sebagai alat seleksi pegawai baru.

1. Penilaian Risiko

Skor kredit ini kerap dikaitkan sebagai indikator stres finansial. Kajian dalam bidang kriminologi dan etika bisnis sering kali menyorot bagaimana stres finansial menjadi faktor pendorong individu untuk melakukan kegiatan yang menyalahi etika atau hukum. Tekanan finansial yang dihadapi seseorang bisa mempengaruhi pilihan etis mereka dan menjadikan mereka lebih rentan terhadap berbagai perilaku berisiko seperti kriminalitas.

2. Kemampuan Mengambil Keputusan

Dalam ekonomi perilaku, kualitas pengambilan keputusan khususnya di aspek keuangan pribadi sering menjadi indikator yang dianggap merepresentasikan kemampuan pengambilan keputusan secara umum. Ini berdasarkan pada konsep bounded rationality (rasionalitas terbatas) dan cognitive biases (bias kognitif), yang menjelaskan bagaimana keputusan finansial yang buruk bisa jadi manifestasi dari keterbatasan kognitif atau bias dalam proses pengambilan keputusan.

Seseorang yang kurang baik dalam mengelola keuangan pribadinya sendiri seringkali juga menunjukkan kecenderungan untuk membuat keputusan yang kurang tepat dalam situasi lain. Misalnya aspek pekerjaan, seperti manajemen proyek, alokasi sumber daya, atau bahkan interaksi interpersonal. Selain itu, dari perspektif praktisnya, skor kredit calon pegawai bisa jadi pertimbangan strategis.

3. Stabilnya Hubungan Pribadi dan Sosial

Skor kredit yang rendah berpotensi sebagai indikator ketidakstabilan hubungan pribadi dan sosial calon karyawan di masa depan. Apalagi, banyak perusahaan menganggap kestabilan finansial sebagai pilar kesejahteraan secara keseluruhan. Jadi, skor kredit yang kurang baik bisa menunjukkan adanya kestabilan finansial yang akan berdampak ke dalam interaksi di tempat kerja.

Ini bisa dibuktikan dalam banyak kasus pinjol yaitu ketika perusahaan serta rekan peminjam dihubungi oleh penagih utang. Hal tersebut bisa berpotensi mengganggu hubungan kerja dalam tim dan menciptakan lingkungan kerja yang kurang produktif.

Bias di Balik Skor Kredit Jadi Syarat Diterimanya Karyawan

Meskipun tujuan perusahaan sebenarnya melakukan pencegahan sebelum terjadinya situasi yang menyulitkan, tapi tetap saja syarat baik-buruk skor kredit jadi penentu diterimanya seorang calon karyawan sepertinya terlalu bias. Padahal, penilaian lain seharusnya bisa jadi bahan pertimbangan diterima atau tidaknya seseorang di sebuah perusahaan.

Mulai dari prestasi akademik, pengalaman kerja yang baik, atau kontribusi yang besar untuk perusahaan sebelumnya. Bisa saja, orang yang mempunyai kredit terpaksa berhutang karena alasan pribadi dan sulit membayar karena belum mendapatkan pekerjaan yang settled.

Oleh sebab itu, walaupun skor kredit bisa jadi salah satu indikator diterima atau tidaknya karyawan, tapi jika seluruh penilaian berdasarkan skor kredit nyatanya tidak adil dan membawa banyak masalah. Seperti masalah etis dan praktis, mulai dari potensi diskriminasi, bias, dan invasi privasi. Keputusan untuk menggunakan skor kredit sebagai alat seleksi semestinya dipertimbangkan secara matang, jangan sampai malah jadi penghambat banyak Generasi Z yang mulai merintis kariernya di dunia kerja.

[Gambas:Audio CXO]

(DIR/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS