Insight | Business & Career

Bahaya Glorifikasi Hustle Culture

Senin, 31 Jan 2022 18:00 WIB
Bahaya Glorifikasi Hustle Culture
Foto: CHRISTIN HUM
Jakarta -

Lembur kerja hampir setiap hari hingga melupakan kesehatan dan waktu untuk diri sendiri? Bisa jadi kita sedang terjebak dalam hustle culture. Untuk mencapai tolok ukur kesuksesan yang ada di masyarakat, ramai-ramai anak muda mengagungkan budaya gila kerja ini tanpa memikirkan efeknya bagi diri sendiri dan orang di sekitarnya. Bekerja keras mencapai kesuksesan tidaklah salah, tapi bekerja keras tanpa lelah dapat menjadi bumerang yang berbahaya. Apakah kita hustling untuk alasan yang benar? Atau kita justru mendorong diri sendiri ke titik kehancuran?

Apa itu hustle culture?
Hustle culture menjadi salah satu fenomena yang banyak dialami oleh anak muda saat ini. Secara sederhana, hustle culture dapat diartikan sebagai budaya bekerja terlalu keras atau berlebihan hingga menjadi gaya hidup. Karakteristik lain adalah memaksakan diri melewati batas kemampuan dalam waktu yang singkat untuk tujuan seperti kesuksesan dan kekayaan.

Penyebabnya?
Selama bertahun-tahun, kerja berlebihan telah dimodernisasi menjadi apa yang kita kenal sekarang sebagai hustle culture. Berbagai buku, maupun media sosial, dan bahkan melalui pengusaha terkenal yang sering memberikan motivasi, banyak orang jadi terinspirasi. Banyak anak muda menjadikan sosok yang mereka baca, dengar, dan lihat di media sosial maupun di buku-buku motivasi sebagai panutan dalam mengejar kesuksesan. Untuk mereka yang ambisius bekerja, tidak dapat dimungkiri bahwa ada potensi besar dapat terjerumus dalam bahaya hustle culture, di mana tidak ada garis pembatas antara kerja berlebihan dan kesuksesan. Konstruksi sosial bahwa kesuksesan dinilai dari jabatan dan kondisi finansial yang baik mendukung berkembangnya gaya hidup ini, di mana semua orang berlomba-lomba bekerja mencapai tolok ukur kesuksesan ini. Hal ini sering kali memaksa mereka untuk bekerja tanpa lelah.

Perkembangan teknologi yang pesat juga memfasilitasi berkembangnya hustle culture. Hal ini didukung dengan gadget dan barang elektronik lainnya yang bisa digunakan untuk bekerja dari mana saja dan kapan saja, sehingga tidak ada lagi batasan waktu kerja. Begitu pun sosial media yang berkembang pesat. Semakin banyak orang membandingkan dirinya-dari segi fisik maupun materi-dengan apa yang mereka lihat pada orang lain di sosial media. Perbandingan yang dilakukan ini sering kali menimbulkan rasa ingin lebih daripada orang lain, misalnya keinginan untuk lebih sukses.

Selain itu, ada juga faktor toxic positivity yang mendorong berkembangnya hustle culture. Toxic positivity dapat diartikan sebagai dorongan untuk membuang emosi negatif dalam menanggapi kesulitan dengan tetap berasumsi positif, daripada berempati. Toxic positivity sering kali disampaikan oleh orang lain di sekitar kita, bahkan teman maupun anggota keluarga yang sering kita curhati. Misal, jika kita mengalami suatu masalah dalam pekerjaan, orang lain menanggapi cerita kita dengan respon seperti, "Kalau sedikit-sedikit capek, kapan bisa sukses?" Akibat toxic positivity, orang dipaksa untuk tetap kuat dalam situasi terburuk sekalipun. Hal ini dapat berujung pada terganggunya kesehatan mental.

Apa dampaknya?
Mencapai kesuksesan dengan mengadopsi budaya gila kerja memiliki efek samping yang berbahaya. Bekerja keras untuk sesuatu yang ingin kita capai memang tidak salah, tapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan.

Kerja keras tidak selalu mengantar kepada kesuksesan. Kerja keras belum tentu sejalan dengan kesuksesan yang akan kita raih. Namun, jangan salah paham. Bekerja keras tetap penting sebagai bagian dari pertumbuhan kita dan dibutuhkan untuk menjadi sukses. Namun, jika hanya demi terburu-buru mengejar suatu tujuan dalam waktu singkat, kerja berlebihan tidak akan membawa kita ke mana pun. Ada banyak faktor yang berkontribusi pada kesuksesan seseorang--lebih dari seberapa keras kita bekerja setiap hari. Faktor lingkungan kerja dan network menjadi bagian dari beberapa faktor tersebut. Terlalu sibuk mencapai tujuan terkadang membuat diri kita mengabaikan banyak hal penting di sekitar dan banyaknya hal yang perlu kita refleksikan sejenak. Penting untuk melihat apakah kita mengerahkan energi kita ke tempat yang tepat atau bisa saja selama ini kerja keras kita diarahkan ke hal yang salah, dengan cara yang salah, dan bahkan pada waktu yang tidak tepat. Hal ini dapat membawa petaka bagi kesehatan tubuh dan pikiran kita, terutama dapat menjadi sumber kelelahan dan stres.

Gangguan kesehatan mental & fisik. Hustle culture dapat membebani tubuh kita, baik secara mental atau fisik. Dengan tekanan untuk hustling tanpa henti, kita sering kali menciptakan kebiasaan yang tidak sehat. Salah satu contohnya, kita mulai sering bergadang hingga larut malam untuk bekerja, ditemani dengan energy drink sebagai asupan kafein, ditambah kurang tidur, melewatkan makan, dan banyak hal lain yang seharusnya kita lakukan agar tubuh kita dapat berfungsi maksimal. Kita jadi kehilangan minat pada hobi kita, tidak punya waktu untuk me time, serta tidak lagi bersosialisasi. Kebiasaan baru tersebut menjadi alasan mengapa banyak orang mengalami kelelahan (burnout) dan kejenuhan, bahkan sering kali berujung pada gangguan kesehatan mental, seperti depresi dan tendensi untuk bunuh diri.

Kuantitas > Kualitas. Tidak bekerja sebentar saja sudah gelisah. Mengambil istirahat sebentar pun terasa salah, sampai berpikir bahwa kita telah menyia-nyiakan waktu sedemikian besar, padahal bekerja tanpa henti tidak juga membuat kita lebih bahagia. Hal itu menjadi salah satu ciri kita berada dalam hustle culture. Bagi sebagian orang, ini semua tentang FOMO (fear of missing out)--atau takut ketinggalan. Alice Boyes, Ph.D., penulis The Anxiety Toolkit dan The Healthy Mind Toolkit, menuturkan bahwa menjadi selalu aktif dapat menciptakan rasa cemas yang konstan dan seolah-olah selalu ada sesuatu hal yang harus kita lakukan. Kita perlu menyelidiki lagi apakah beberapa hal yang kita lakukan benar-benar berkontribusi pada produktivitas kita secara keseluruhan atau hanya alasan untuk tidak merasa bersalah dan terlihat sibuk? Hustle culture bisa membuat pekerjaan mendominasi hidup. Kita mulai kehilangan arti akan hal-hal di luar itu yang kita kerjakan, dan sering kali lupa akan apa yang sebenarnya sedang dikejar. Hal ini cenderung mendorong kita untuk memprioritaskan kuantitas daripada kualitas pekerjaan.

Bekerja keras tidaklah salah, tapi jangan sampai kita terjebak ke dalam hustle culture yang dapat membahayakan diri kita. Menyeimbangkan hidup itu perlu, salah satunya dengan memberikan waktu yang seimbang untuk keluarga, diri sendiri, dan juga pekerjaan. Supaya kerja keras kita tidak berujung kesengsaraan.

(SAS/HAL)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS