Insight | Business & Career

Menelusuri Realita Kehidupan Travel Influencers

Selasa, 21 Dec 2021 11:02 WIB
Menelusuri Realita Kehidupan Travel Influencers
Foto: PEXEL ANGELICA
Jakarta -

Kehidupan mewah travel influencers memang punya daya tarik tersendiri di era digital ini. Konten mereka dikonsumsi untuk bermacam tujuan; entah menjadi referensi liburan, sekedar refreshing seakan para penonton turut liburan juga, atau memang sudah menjadi penggemar sang influencer sejak lama. Selagi kita menatap layar komputer selama berjam-jam setiap harinya, orang-orang beruntung ini dibayar untuk merasakan cantiknya pemandangan di Santorini, atau melihat indahnya aurora di Finlandia.

Selayaknya dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya, tentu banyak duka dibalik suka dalam kehidupan para influencer pelancong ini. Karena sumber pencaharian mereka terkendala pandemi, Martina dan Leslie Johnson, atau The Couple Who Travels, berbagi keluh kesah selama menjalani pekerjaan yang dinilai menyenangkan tersebut. "We travel a lot, but we don't vacation so much," ungkap Martina.

Rapihnya feed Instagram mereka bukan jadi acuan seberapa glamornya hidup sebagai travel influencers. Selain pandemi, banyak faktor-faktor lain yang selama ini jadi rintangan untuk para travel influencers. Sebagai publik figur dengan online presence yang signifikan, seringkali mereka jadi sasaran penipu dan scam. Pada tahun 2019, fotografer Carley Rudd menjadi korban penipuan oleh seorang penipu handal yang mengatasnamakan milyarder Wendi Deng Murdoch. Carley diterbangkan ke Indonesia, lalu diperas hartanya melalui beberapa trik khas scammer tersebut.

Dengan padatnya jadwal dan hiruk-pikuk berlibur di tempat-tempat asing, ada tambahan beban dari sejumlah klien yang harus dilayani selama masa liburan. Klien ini biasanya terdiri dari sponsor, seperti maskapai penerbangan, tempat penginapan, atau pakaian dan produk yang dikenakan, bahkan pemerintah negara setempat. Spesialis PR dari sektor pariwisata Jepang, Keiko Matsura, berkata bahwa mereka terus memantau likes dan engagements postingan para influencer sebagai salah satu indikator akan kesuksesan influence mereka. Bahkan ketika tidak ada sponsor yang terlibat, pekerjaan ini mengharuskan mereka berfokus kepada konten visual dibanding menikmati pemandangan yang tersaji di depan mata. "Kadang rasanya kita tidak bisa live in the moment karena terlalu terpaku oleh konten yang ingin kita ambil," ungkap salah satu influencer, Beixin Lee.

Lantas, apakah penghasilan yang didapatkan sebanding dengan beratnya beban pekerjaan? Menurut Vogue, satu akun travel influencer bisa meraih $4000 hingga $30,000 USD per-postingan, ditambah bonus-bonus seperti akomodasi dan transportasi yang biasanya telah dibayar penuh. Atau menurut perhitungan tetap agensi marketing Mediakix, setiap 1,000 followers yang dimiliki dihargai $10 sampai $80.

Pandemi COVID-19 yang telah berjalan selama dua tahun lamanya telah menghilangkan banyak lapangan pekerjaan, terlebih untuk orang-orang mobile yang bersandar pada travelling untuk mencari nafkah. Para travel influencers banting setir dan terpaksa melakukan perubahan dalam rutinitasnya, dari belajar berbagai keterampilan baru, mengganti konten travelling jarak jauh menjadi konten eksplorasi kota asal masing-masing, semuanya dilakukan sembari menavigasi kerugian materi yang tidak ternilai.

Hidup menjadi travel influencers memang menggiurkan, namun realita yang sesungguhnya mungkin membuat banyak orang berubah pikiran. Jika Anda rela menghadapi klien-klien besar, tidak sempat menikmati suasana liburan karena banyaknya konten yang harus diproduksi, melewati resiko kesehatan mental yang terganggu karena tuntutan menjadi publik figur, dan bersiap atas berbagai force majeure yang tidak bisa diprediksi demi liburan keliling dunia yang sepenuhnya disponsori, mungkin ini pekerjaan yang sesuai. Bila tidak, mari kita bekerja lebih giat lagi agar bisa mengambil jatah cuti di perairan Maldives.

[Gambas:Audio CXO]



(DEA/MEL)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS