Joyland Sessions 2025 masih berjarak satu pekan, tetapi The Cottons—duo musisi sekaligus suami-istri Yehezkiel Tambun dan Kaneko Pardede—telah lebih dulu menyambangi (calon) venue pertunjukannya. Bagi band yang pernah dijuluki "mitos" tersebut, menantikan penampilan kedua mereka di Joyland terasa lebih istimewa. Sebab kali ini, Jeskul dan Keko ikut ditemani sang buah hati, Keenan, untuk melakukan sesi foto di salah satu sudut kawasan GBK yang hijau, rindang, dan bertekstur, pada hari Minggu (23/11) pagi.
Ada kebetulan yang tak bisa diabaikan: hari itu bertepatan dengan satu tahun setelah penampilan perdana The Cottons di Joyland Festival 2024. Satu hari di mana The Cottons sukses tampil sebagai pembuka hari kedua dan menihilkan keraguan orang-orang. EP Harapan (2024) yang menjadi sajian utama magis waktu itu dimainkan bersama dua materi dari maxi single It's Only a Day (2016). Dan semua yang menyaksikan The Cottons selepas hujan hari itu pasti sepakat: penampilan mereka amat menawan.
Momen yang Mengubah Hidup
Dalam publikasi Coming of Age: The Loss of Innoncence oleh WBJ dan Plaingsong Live untuk Joyland 2024, The Cottons pernah menuturkan bahwa pencapaian mereka hari ini merupakan perwujudan dari mimpi-mimpi masa kecil yang hampir taktergapai, sebab kenyataan yang tidak selalu mudah.
Namun, mereka tidak sama sekali menyesali segala hal yang mereka alami. Bahkan, jika pernikahan dan menjadi orang tua sempat mengubah prioritas mereka—sebagai musisi—hal ini justru dapat membuat lebih baik lagi; mengantarkan mereka pada titik-titik yang sebelumnya tidak pernah terduga.
Salah satunya ialah tahun 2024, yang menjadi salah satu periode dengan banyak momen surealis. Dalam rentang paruh kedua saja, nama mereka bersinar lebih terang daripada lentera. Beranjak dari band yang disebut mitos dan tak pernah tampil langsung, The Cottons mulai santer menghiasi pertunjukan musik bergengsi.
"Band mitos itu kayaknya lebih tepat daripada 'vakum', ya," Jeskul menjelaskan sematan istilah dari sejumlah publikasi, sambil tertawa. "Vakum tuh kesannya kayak udah melakukan sesuatu banget, kayak sudah ada di top of the industry terus nggak melakukan aktivitas. Padahal kita ya memang... nothing to lose. Band yang tau-tau aja."
Jeskul dan Keko (The Cottons)/Foto: CXO Media |
Jika ditarik ke belakang, penampilan live pertama The Cottons adalah pada gigs Paguyuban Crowd Surf, pertengahan Juni 2024—tak lama sebelum EP Harapan dilepas. "Masa dua lagu doang ya? Yasudah kita rilis aja," terang Jeskul, soal urgensi perilisan.
Gestur yang natural tetapi konseptual ini merupakan ciri eksistensial The Cottons. Maklum, setelah merilis It's Only a Day, mereka tak kunjung tampil secara langsung hingga delapan tahun kemudian. Namun Keko menjelaskan alasan praktis di balik itu.
"Gue waktu itu kerja di salah satu stasiun televisi. Baru aja dapat promosi, dan kerjanya lumayan: pulang paling cepat jam sembilan malam. Terus 2017 gue hamil bestie aku nih," tutur Keko, sambil meledek dan memeluk Keenan yang duduk di sampingnya.
Selain itu, sebenarnya ada persoalan teknis yang turut memengaruhi alasan The Cottons urung naik panggung. "Instrumentasi di 'Yesterday is Gone' itu banyak banget. Gue nggak kebayang mau berapa keyboard nih. Gue nggak mau ngilangin detail itu," kata Jeskul. "Tujuh tahun kemudian gue baru tau, ternyata enak ya kalau pakai sequencer."
Meski demikian, mereka juga mensyukuri fase itu dalam-dalam. "Kita beneran ngerasa ini surreal banget, bisa sepanggung dan ketemu musisi-musisi yang selama ini didengerin," tambah Keko. "Dulu yang dengerin kita paling ratusan aja di DSP, dan kita bersyukur pernah ada di posisi itu."
Oleh sebab itu pula, pikir mereka, The Cottons bisa bertemu banyak orang baik yang turut membantu sampai hari ini, hingga akhirnya bisa sepanggung dengan sejumlah band yang menginspirasi mereka bermusik, seperti halnya: Rrag (di PCS, Juni 2024), Blueboy (di Joyland 2024), sampai Swellow yang menggandeng The Cottons untuk dua nomor kolaborasi.
The Cottons di Lilypad Stage, Joyland Festival 2024/Foto: Instagram/JoylandFest |
"Joyland 2024 itu juga salah satu yang mengubah hidup kita," tukas Keko. "15 menit sebelumnya hujan gede banget, dan ternyata orang tetap mau nonton kita, ikut nyanyi. Rasanya kita kayak ada di tempat yang tepat."
Yang membuat Joyland istimewa bukan hanya jumlah penonton, atau bagaimana orang menilai penampilan The Cottons tahun lalu. Vibes pentas yang positif di segala arena selalu menjadi kelebihan.
"Joyland tuh rasanya sehangat itu. Jalanan yang becek kayak apa, hujan segede apa, semua tetap full senyum," sambung Keko.
Jeskul juga memuji betapa humanisnya tim Plainsong. "Mas Ferry dan timnya benar-benar care sama performer. Di green room kami sampai norak. Banyak musisi keren, bisa free flow makanan. Kami sampai malu sendiri," ia tertawa.
Resonansi Harapan
Jeskul dan Keko menghadirkan Harapan tanpa ekspektasi. Karya itu lahir secara natural, dan tidak pernah menduga tiga part "Harapan" plus "Ashes of Hope" bisa mengantarkan mereka sampai pada titik ini.
"Bisa diajak main lagi di Joyland tahun ini aja kita nggak nyangka banget," cegat Jeskul. Bukannya tidak mau, tapi mereka merasa kesempatan pertama tahun lalu sepertinya sudah cukup. "Kita dua kali ditonton Mas Ferry. Tapi nggak tahu kalau bakal ada di daftar penampil."
Sebagai pelantun Harapan, bukan berarti The Cottons ikut membebani diri dengan ambisi berlebih. Bahwa karyanya bisa ditangkap dengan pembacaan yang begitu lebar, pikir Keko, adalah respon yang sama natural dari pendengar, karena mengalami kegelisahan serupa. Ia sendiri hanya tertawa waktu ada yang mengasosiasikan Harapan sebagai "satu-satunya harapan baik yang bisa hadir di benak WNI kiwari".
"Sebenarnya kan lirik kita nggak spesifik tentang apa, terutama hal-hal yang politis ya," canda Keko, mengingat salah satu celetukannya di panggung pernah dipublikasikan dalam konotasi politis oleh awak media.
Pada masa rilis, Harapan memang disepakati banyak orang bak angin segar. Materinya seperti mengembuskan kembali tiupan lembut khas musik Indonesiana, yang sempat berjaya di masa lampau dan kini tidak terdengar begitu kencang. Ibarat sepaket asa yang seliteral namanya.
The Cottons merasa apa yang mereka tulis hanyalah ungkapan jujur dari perasan. Susunan rasa yang meliputi keresahan, titik terendah dalam hidup, hingga pengharapan. Hal yang paling tak tersangka ialah segmen pendengar mereka yang justru didominasi generasi z.
"Gue rasa setiap orang, dari berbagai latar dan dari setiap generasi punya bebannya masing-masing. Maka mungkin, apa yang secara personal kami tuangkan ke dalam lagu, ternyata juga dirasakan banyak orang" ungkap Jeskul.
"Kita malah kaget juga pas 'Harapan, Pt. 2' yang 'gelap' itu malah jadi favorit banyak orang. Tapi semoga semua bisa nangkap sebagai satu kesatuan, ya, nggak perlu memisahkan tim part satu, dua, atau tiga," Keko menyambung sambil terkekeh.
Rona Indonesiana
Harapan memang cukup menampakkan pergeseran estetis dari musik The Cottons, dan yang jelas faktornya bukanlah hal komersil. "Kita ini nggak pernah ekspektasi apa-apa. Cuma 'Harapan' ini memang yang kita suka," tegas Jeskul.
Kurang lebih, apa yang dibawakan melalui Harapan serupa manifestasi atas musik-musik yang diamini oleh keduanya, baik sebagai musisi maupun suami-istri,
Namun, lucunya mereka yang selalu mampu tampil dengan sajian musik yang harmonis justru mengaku tidak selalu akur. "Pas rekaman kadang lumayan berantem," ucap Keko. "Tapi untungnya kemarin kami bisa membedakan mana yang hubungan suami-istri, mana yang Cottons."
Jeskul menambahkan sambil terkekeh, "Gue suka bawel sih memang soal-soal teknis. Tapi setelah selesai rekaman, kami berdua selalu kompak: 'Bener kan, jadi bagus kan?'"
Keko sendiri heran waktu mereka berdua akhirnya menyepakati langgam yang berbunyi lewat Harapan. Sebab menurutnya, hal itu adalah yang sedari dulu ingin dilakukannya, tetapi Jeskul tak merasa ini akan berhasil.
Sebaliknya, karya debut The Cottons yang rilis di bawah naungan Dismantled Records justru kental "attitude indie".
Dua nomor berbahasa Inggris dalam It's Only a Day mengusung nuansa indie-pop yang lebih "Brit-ish"—lebih raw, jangly, dengan lapisan gitar yang renyah dan vokal yang terdengar nyaris kasual. Estetikanya pun intim, ringkas, dan segar.
Sementara Harapan lebih hadir mengalir dengan riak-riak Indonesiana. Ada jiwa yang melakolis di sana, di antara ruang bunyi yang lebar, harmonisasi vokal yang hangat, dan timbre instrumen yang nostalgik.
Adanya perkembangan cara berpikir yang dialami The Cottons menuju Harapan disebut sebagai alasan untuk pergeseran ini. Salah satunya faktornya diperkuat oleh aroma hangat musik Indonesia 70-an, serta pengaruh aliran pop-kreatif, yang sejak awal digemari oleh keduanya.
"Bisa dibilang 'Serenata Jiwa Lara' dan 'C.H.R.I.S.Y.E.' dari Diskoria ternyata beneran ngubah cara pandang gue," ujar Jeskul. "Dua lagu itu kayak membuka jalan pikiran: lo bisa memasukkan hal-hal liris yang padat tapi tetap ringan. Not so dancy but just feels easy."
Elemen mendasar Harapan ini sebelumnya juga dibawakan oleh nama-nama pengalun Indonesiana seperti Yockie Suryoprayogo, Keenan Nasution—yang darinya Jeskul dan Keko mengambil inspirasi nama untuk sang buah hati—sampai Sore. "Mereka dan banyak idola kami yang lain adalah peletak embrio musik yang The Cottons mainkan saat ini."
Bagi The Cottons, bermusik adalah soal integritas, bukan popularitas. Di tengah era musisi berlomba dengan viralitas, mereka justru memilih jalan yang lebih santai. Harapan sendiri lebih dulu di bandcamp ketimbang DSP popular—sebab beberapa faktor, termasuk regulasi tenggat.
Di samping itu, yang belakangan tengah alot diperdebatkan keduanya adalah bagaimana The Cottons mencitrakan diri melalui media sosial. Menurut Keko, urgensi untuk memforsir "konten" di media sosial itu belum teramat perlu. Bukannya anti, tetapi jika memang akan terjun ke sana, semuanya juga harus didasari kesenangan dan hanya membagikan hal-hal yang menurut mereka menyenangkan.
Perdebatan mengenai stance ini hanyalah sedikit dari lebih banyak lagi diskusi internal Jeskul dan Keko, yang tidak selalu akur soal bandnya. Tapi lagi-lagi, pada akhirnya mereka selalu bisa bersepakat saat mengingat ihwal The Cottons, yang ingin terkenal sebagai musisi dengan punya lagu-lagu bagus, bukan materi medsos yang serba fenomenal.
Jeskul dan Keko yang amat menggilai WSATCC dan Sore memang banyak belajar hal ini dari band-band idola mereka. Kepada WSATCC mereka mempelajari soal eksklusivitas dan bagaimana menjadi performer yang elegan, sedang kepada Sore mereka mencatut faktor "ke-apa-adaan" musisi.
Terlebih pada Sore, yang hinggap di hati mereka sejak momen rilis Ports of Lima (2008)—dan konser perilisannya tak bisa dilupakan—mereka bahkan berharap: jika suatu hari bisa menggelar pentas tunggal, The Cottons harus bisa menyajikan kemegahan yang sama seperti Sore memainkan Ports of Lima. Sebagaimana Sore, mereka ingin juga dikenang sebagai pemusik yang baik karena karya-karyanya—bukan hal lain.
"Momen kita bikin 'Harapan' itu juga beririsan sama kabar bang Ade [Paloh] berpulang. Makanya kalo ngeh, kami masukin sepotong 'Merintih Perih' dari Sore ke salah satu bagian di dalam 'Harapan' sebagai tanda hormat," kenang Jeskul, yang waktu itu sampai meminta izin langsung kepada Sore.
"Gundah" hingga Langkah ke Depan
Meski Harapan telah berhasil mengangkat nama The Cottons ke permukaan, duo ini tidak berhenti berproses. Gagal masuk nominasi penghargaan musik pun tak sama sekali membuat mereka risau. "Gue baru ngeh kalo salah masukin kategori nominasi," Jeskul menjelaskan, sambil tertawa lebar.
The Cottons pada dasarnya memang tidak mengejar—apalagi mengharap-harapkan lebih soal pengakuan dari banyak orang. Bahwa karya-karya mereka sudah bisa diterima, didengarkan, dan mampu membukakan pintu kolaborasi saja sudah lebih dari cukup. Pun, mereka telah amat berbangga dengan It's Only a Day, yang hanya direkognisi oleh segelintir orang saja.
Namun demikian, bukan berarti The Cottons tidak mau membuka diri terhadap cakrawala. Usai Harapan didengarkan banyak orang, mereka kian melebarkan sayap dan membuka banyak sekali pintu kolaborasi.
Salah satu momen yang paling tidak terduga ialah berkarya bersama Aprilia Apsari (vokalis WSATCC) dalam lagu "Gundah". "Sari tuh panutan. Pas pertama ketemu di kita starstruck banget," kata Keko, mengingat sikap awkward-nya waktu itu.
Yang penting untuk diketahui dari kolaborasi ini, kata Jeskul, pemilihan Sari sebagai vokalis bukanlah berdasar opsi "nama besar", tetapi murni keputusan estetik. Prosesnya pun hinggap seperti jodoh, yang datang berkat tangan-tangan yang memang peduli dan mengasihi mereka sebagai musisi.
Begitu pula dengan "Lentera" yang dilepas sendiri, tanpa embel-embel kolaborasi atau dikaitkan ke dalam satu maxi single atau EP seperti dua karya terdahulu.
Enggan berhenti di sini, The Cottons yang siap membawakan karya-karya anyar di Joyland Sessions, Sabtu, 29 November 2025 mendatang, juga menyiarkan bahwa mereka akan mendatangkan lebih banyak karya lagi.
"Doakan saja kita lagi nyiapin album penuh. Baru kelar rekam materi pertama sih, tapi semoga semua lancar," harap Keko.
Waktu ditanya akan seberapa dalam materinya, Jeskul menjawab bahwa proyek ini berupaya mewujudkan mimpinya: "Punya double LP. Mumpung masih segar, gue mau bikin bakal banyak sekali materinya, kayak belasan lagu, lah."
Sayangnya mereka belum berani menyampaikan: apakah materi tersebut akan dipamerkan di Joyland kali ini. Mereka hanya tersenyum abu. Tapi, yang jelas, kata Jeskul lagi, "Ini masih early dari The Cottons dan ke depan masih banyak yang bisa ditawarin."
Dan di balik semuanya, upaya mereka kali ini adalah buah upaya yang tumbuh dari bibit-bibit harapan personal—yang berakar pada kecintaan mereka terhadap keluarga kecilnya.
"Gue cuma pengen nanti suatu hari Keenan sudah besar, dia bisa bangga sama karya-karya ini, kayak ngomong 'wah bokap-nyokap gue bikin rilisan keren nih!'" kata Keko.
Jeskul menambahkan, "Gue pengen suatu saat ada orang datang ke Keenan, bilang, 'Gue ngefans banget sama bapak dan ibu lu karena bikin sesuatu yang bagus.'"
Keenan yang mendengar percakapan ini lantas tersenyum dan memeluk Keko erat-erat. Ia mengaku suka dengan The Cottons, tapi lebih suka lagi dengan The Beatles, dan Arsenal. Jeskul dan Keko kompak tertawa.
"Hidup itu kan berharap, ya..." kata Keko. "Kalau nggak berharap akan hal baik, udah longsor aja perasaan. Harapan untuk yang lebih baik. Itu yang bikin kita tetap alive."
(RIA/RIA)
Jeskul dan Keko (The Cottons)/Foto: CXO Media
The Cottons di Lilypad Stage, Joyland Festival 2024/Foto: Instagram/JoylandFest