Sal Priadi tampil plontos. Warna hitam di rambutnya absen total, berpindah ke setelan yang sama legam dengan ruang pertunjukan berona temaram. Kala itu, ia duduk di puncak menara sambil menyanyikan "Nyala", nomor pembuka dari album perdananya, Berhati.
Di seberangnya, satu instalasi panggung tersusun sedemikian rupa-dengan tata lampu dan panel proyeksi visual—menampilkan sosok M, perempuan yang menjadi karakter utama dalam pertunjukan Memomemoria.
Itu adalah satu memori yang sulit terlupakan dari pertunjukan Memomemoria yang pertama kali disajikan pada 6 dan 7 Agustus 2023 lalu. Pertunjukan itu merupakan gubahan Sal dalam menyajikan album perdana: Berhati—yang sempat urung dipresentasikan secara massal karena rilis beririsan dengan masa pandemi.
Dua tahun berselang, Sal kembali ke gedung bersejarah PFN, Jakarta Timur, tempat Memomemoria pertama kali digelar. Kali ini ia tampil santai dengan topi berlogo kupu-kupu—ikon Memomemoria—meski malam Selasa (21/10) itu hanya berjarak beberapa puluh jam dari pertunjukan Memomemoria edisi 2025.
Sebuah Pertunjukan
Sal Priadi adalah salah satu musisi sohor masa kini: peraih berbagai anugerah musik bergengsi dengan jutaan pendengar di platform digital. Jadwal panggungnya padat, hampir memenuhi semua hari dalam sepekan.
Namun, entah mengapa, pencipta lagu "Kultusan" itu memilih untuk merepotkan dirinya sendiri, dengan kembali merangkai pertunjukan Memomemoria yang terpadu, demi membawakan Berhati yang sejatinya sudah laris.
"Panggung gue memang banyak, rasanya sudah lebih dari cukup secara materi," jelas Sal, dengan bernada rendah, "Tapi ternyata bukan cuma itu yang gue butuh. Sama seperti banyak orang, gue juga butuh ruang."
Sebagai musisi papan atas, langkah Sal yang enggan tampil sekadar menyanyi di atas panggung megah di depan lautan penonton memang patut dicatat. Ia, sebagaimana yang konsisten dihadirkan pada pentas ke pentas lainnya, lebih ngotot menciptakan satu set rekaan yang bebas dan penuh imajinasi.
"Memomemoria itu bukan gagasan yang muncul kemudian," tegasnya. "Sejak awal menyusun album Berhati, gue udah tahu gimana harus menyajikannya: sebagai sebuah pertunjukan." Dan pertunjukan ini, menurut Sal, harus dipresentasikan lewat medium yang melibatkan banyak orang, memadukan musik, narasi, tari, dan peran aktor.
Bersama Memomemoria, sebelas lagu dalam Berhati dihidupkan lewat lakon musikal lengkap dengan elemen visual dan teknis yang meresap ke seluruh ruang venue—dari panggung utama hingga SARMAL, pasar malam ciptaannya, yang jadi metafora kehidupan dan kebebasan ekspresi.
Dunia Ajaib Sang Trubadur
Jika dicermati dari karya-karyanya, Sal Priadi tampak sebagai pribadi yang gemar melibatkan hati ketika bercerita. Kendati berperawakan garang—sorot mata terang, berkumis baplang, bertubuh rada kekar—bahasanya dalam lirik-liriknya begitu lembut dan puitik. Lebih mudah menyebutnya seorang trubadur modern: pengalun kisah cinta yang menulis dari kedalaman perasaan.
Tapi Sal lebih dari sekadar itu.
"Gue dekat dengan musik sejak kecil. Keluarga gue penggila instrumen, siapa yang nggak ikut main bakal dikucilkan," kenangnya sambil tertawa. "Tapi cita-cita gue bukan jadi musisi. Gue kuliah di Manajemen Bisnis, pengin jadi digital marketer karena kepincut sama Gary Vaynerchuk."
Oleh sebab itu pula, ketika akhirnya kokoh menjadi seorang musisi, sebagai penampil, ia tak mau main-main dalam merancang pertunjukan spesialnya. Memomemoria sendiri, namanya diambil dari gabungan kata "Memo" (catatan), "Memori" (ingatan), dan "Ria" (perayaan).
Bagi Sal, pertunjukan ini adalah perwujudan hasrat dan gagasannya tentang ruang kreatif yang bebas, cair, dan menyenangkan bagi semua orang.
Tentang Mimpi, Imajinasi, dan Ruang
Dari pemikiran dan cara kerjanya, terlihat bahwa Sal tak hanya sedang menulis lagu atau menyiapkan pementasan. Ia sedang membangun cara baru untuk bercerita—melalui pertunjukan yang mempertemukan musik, ingatan, dan imajinasi, dan tentunya: ruang terbuka buat banyak orang.
"Semua orang punya dongengnya masing-masing. Seorang bankir atau montir," Sal mencontohkan, "pasti punya cerita di kepalanya masing-masing. Memomemoria ini adalah tempat buat orang-orang itu menceritakan ceritanya dengan bentuk yang beragam."
Gagasan utama yang dibawa Memomemoria adalah menciptakan satu ruang aman tempat berbagai memori bisa menyeruak kembali ke permukaan. Melalui sosok "M", Sal berusaha memantik perasaan dan kenangan yang berbeda pada setiap penontonnya.
Namun demikian, Memomemoria benar-benar tak cuma soal Berhati, melainkan semesta ajaib yang ia bangun melalui berbagai eksperimen. SARMAL, pasar malam penuh wahana dan ruang bermain, juga disiapkan dengan segala pesonanya.
Ia berupaya menempatkan Memomemoria di wilayah unik dan abu: antara musik, teater, dan pengalaman sosial. "Pasar malam itu metafora kebebasan," ujarnya. "Tempat di mana semua kelas sosial melebur."
Hal ini adalah satu pola konsisten, yang telah berulang dicobanya pada berbagai ragam kesempatan. Mulai dari "Listening Party Berhati" berdurasi enam jam non-stop; pentas perdana Memomemoria (2023); laboratorium pertunjukan di Krapela; hingga ZUZUZAZA, proyek pementasan album keduanya Markers and Such Pens Flashdisks (2024).
Kembalinya Memomemoria
Dalam edisi 2023, SARMAL dan pertunjukan Berhati memang ibarat jantung dan hati Memomemoria. Namun, Memomemoria tahun ini (24-26 Oktober 2025), akan hadir lebih kaya: sebagai semesta alternatif yang memberi ruang lebih luas bagi siapa pun.
"Dia itu melting pot tanpa batasan-orang kaya, orang kere, semua bisa datang karena penasaran," terang Sal, mengenai SARMAL.
"Coba lo duduk di pasar malam, perhatiin aja: ada orang berantem, main lempar botol, ibu-ibu teriak-semuanya pertunjukan buat lo. It's a show."
SARMAL edisi terkini hadir membawa lebih banyak warna dan wahana; panggung pertunjukan yang berderet dan penuh daya kejut, ruang ekspresi, sesi temu-wicara, serta berbagai elemen interaktif pada setiap sudutnya.
Sal kini turut menggandeng sosok-sosok yang sama brilian, sekaliber Tommy Herseta, Iskandar Muda, Sabda Armandio, dan tim pengkarya lain—termasuk para audiens—untuk meneguhkan ruang yang terbuka bagi siapa pun. Di sini, terdapat upaya untuk mengaburkan batas antara penampil dan penonton..
Secara lebih luas, dalam lanskap pertunjukan di Indonesia, maksudnya, istilah "imersif" dan "multidisiplin" memang sering jadi komoditas. Seakan-akan hal itu adalah kelebihan.
Tapi Memomemoria, menurut Sal, punya komitmen dan keseriusan yang nyata dalam mewujudkan pertunjukan terpadu tanpa menjualnya sebagai gimmick.
"Immersive itu kata yang udah terlalu sering dipakai," ujarnya. "Padahal, semua pertunjukan seharusnya memang lebur, mencakup berbagai disiplin dan apapun itu namanya. Dan itu yang kita hadirkan."
Semesta ajaib Memomemoria yang dihantarkan melalui SARMAL pun diimplementasikan secara lebih cair. "Kita berusaha mengulik soal free will dan takdir," kata Sal. "Takdirnya udah ditulis-pertunjukannya dari jam sekian sampai sekian. Tapi di dalamnya, kami selalu kasih pilihan bebas."
Pada dasarnya, di Memomemoria 2025, semua hal adalah pertunjukan. Semua laku, setiap gerak, adalah ungkapan. "Everything is a stage," pungkas Sal.
***
Memomemoria bukan pertunjukan yang bisa diceritakan—ia harus dialami. Dan kesempatan itu hadir hanya selama tiga hari ke depan. Barangkali ini satu-satunya waktu untuk kembali masuk ke dunia ajaib ciptaan Sal Priadi dkk., tanpa harus kecewa sendiri lantaran gagal menghidupinya secara langsung seperti pada edisi 2023 lalu. Tiket Memomemoria masih dapat diakses melalui www.memomemoria.com.
(RIA/RIA)