Interest | Art & Culture

Musisi vs Algoritma: Siapa yang Mengendalikan Nada?

Selasa, 30 Sep 2025 15:30 WIB
Musisi vs Algoritma: Siapa yang Mengendalikan Nada?
Ilustrasi mendengarkan musik. Foto: iStock
Jakarta -

Tumbuh di pinggiran kota, membuat saya tidak merasakan euforia toko kaset besar seperti Duta Suara atau glamor Pasar Santa. Namun, tetap merasakan mencari referensi musik di toko kaset pinggir jalan   belum sanggup membeli orisinal  hingga ngubek-ngubek koleksi kaset abang.

Kini, semua berubah drastis: serba cepat, serba mudah, serba algoritma. Bahkan, istilah-istilah seperti Koplo Remix dan Hipdut (Hip hop dangdut) - genre yang nyaris tak terbayangkan di kepala saya sebelumnya - tiba-tiba muncul dan mendapatkan panggung berkat revolusi media digital, terutama TikTok.

Platform ini tak hanya melahirkan tren tarian atau guyonan, tapi juga menjadi mesin penggerak lagu-lagu, mengubah tren musik setiap saatnya. "Lampu Merah", "Garam & Madu", hingga terbaru "Mejikuhibiniu" adalah contoh nyata: langganan soundtrack video pendek yang sukses mengatrol angka streaming di Spotify dan Apple Music, lalu menghantarkan para musisinya ke panggung besar seperti Pestapora. TikTok kini ibarat kolam luas yang di dalamnya ada "ikan-ikan" unik bagi para penikmat musik seperti saya, yang tak dipungkiri mempunyai pasar tak sedikit.

.Ilustrasi TikTok membuat lagu jadi viral./ Foto: Cottonbro - Pexels

Detik yang Menentukan Nasib Lagu

Bagi sebagian musisi, TikTok adalah panggung utama yang tak lagi butuh undangan dari label besar. Video singkat dan algoritma For Your Page (FYP) mampu membawa karya dari kamar tidur ke jutaan layar. Contoh yang saya lihat pada Flowfist, band asal Yogyakarta, meski terikat dalam label ia memanfaatkan TikTok untuk memperkenalkan musiknya dan membangun basis pendengar.

Dari kaset pita ke algoritma   begitulah pergeseran yang kita lihat sekarang. Lagu yang viral di TikTok, seperti "Mejikuhibiniu", tak hanya masuk deretan lagu-lagu hit di platform streaming, tapi juga mengubah lanskap musik di radio dan media massa. Kehadiran Tenxi, dkk, dengan klaim genre Hipdut-nya memicu pro dan kontra, menandakan betapa cepatnya tren terbentuk sekaligus menantang definisi musik populer.

Seperti yang ditulis Soni Triantoro dalam buku Musik Protes, ketika sebuah lagu mampu membentuk identitas massal, ia perlahan berubah menjadi budaya. Fenomena Tenxi bisa dilihat dari kacamata ini: musiknya menjadi simbol ekspresi generasi muda yang lebih blak-blakan tentang romansa, bahkan sedikit nakal. Terlebih lagunya sudah menjadi soundtrack wajib untuk mereka yang 'jumping on the bandwagon' agar populer di media massa.

Di balik semua ini, distribusi musik memang mengalami perubahan drastis. Kini, algoritma-bukan label-yang menentukan lagu mana yang layak muncul di beranda jutaan orang. Format 15 detik yang memikat mata dan telinga menjadi senjata promosi utama. Andaikan fenomena ini sudah terjadi di era 1970-an, mungkin penolakan keras terhadap video musik-seperti yang dilakukan Eddie Vedder (Pearl Jam)-akan bergeser ke perlawanan terhadap algoritma FYP.

.Tenxi, Suisei, dan Jemsii saat merilis lagu 'Mejikuhibiniu'/ Foto: Genius

Dua Sisi Musik di Era Digital

Dengan fenomena yang terjadi, rasanya TikTok berhasil mengubah arus industri musik nasional bahkan dunia. Para pengguna TikTok memperoleh referensi musik baru di platform ini, hingga menjalar ke platform lain. Jujur saja, saya tidak menggunakan platform ini, dan kalau bukan karena kehebohan Aura Farming, lagu "Young Black and Rich" mungkin tidak sampai ke kuping saya.

Fenomena ini membuat saya sadar, nasib musik kiwari digantungkan pada algoritma TikTok. Bagi saya ini seperti dua mata pisau: menguntungkan, juga merugikan. Maksudnya, musik saat ini memangkas nilai artistik, seolah memberikan syarat: sekadar atensi atau tetap berkualitas? Sebab menurut saya musik adalah tentang menggugah emosional hingga tindakan, arti lainnya hanya ada dua musik: protes dan resistensi.

Kemunculan Tenxi dengan Hipdut-nya tidak dimungkiri menjadi warna baru di industri musik nasional. Seakan ia berhasil merangkum Jurnal Independent Music Marketing in The Digital Age (2015), bahwa seorang artist termasuk musisi harus menemukan produk yang berbeda dan menonjol dari artis lain. Kesegaran musik serta lirik-lirik nakal dan relatable Tenxi menjawab nilai tersebut dan impak positif dari revolusi digital, TikTok.

Namun tidak semua bernasib sama seperti Tenxi, band Flowfist yang sempat saya singgung di awal masih berjuang menembus algoritma. Kehadiran TikTok pun menuai permasalahan baru, contohnya musik remix di platform ini rentan melanggar hak cipta. Contohnya saja waktu silam dialami oleh Nadin Amizah di lagu "Rayuan Perempuan Gila" yang di remix dengan format speed up oleh pengguna/content creator yang diunggah di media sosial menuai huru hara.

Bisa dibilang, TikTok membuka ruang demokratisasi musik, tapi sekaligus melahirkan arena kompetisi yang tak seimbang bahkan rentan pelanggaran hak cipta. Musisi yang paham algoritma akan lebih mudah mendapat sorotan, sementara yang memilih jalur idealis sering kali tenggelam di bawah derasnya arus remix dan tren instan. Dari sinilah muncul pertanyaan lanjutan: apakah algoritma benar-benar sekadar "alat bantu distribusi", atau justru telah menjadi pengendali utama arah industri musik kiwari?

.Mendengarkan musik serba algoritma./ Foto: Unsplash

Hingga Tren Musik Digital Membentuk Selera

Media massa dapat membentuk pola pikir, persepsi, dan perilaku penggunanya. Lebih jauh, ia dapat memengaruhi cara hidup kita. Misalnya menjadi suka menonton video pendek, suka berburu diskon belanja, hingga terbentuk dari musik yang didengar. Peralihan cepat tren TikTok menegaskan media kiwari menjadi bagian integral dari kehidupan manusia modern.

Terlebih lagi, TikTok yang memiliki penyebaran dan penggunaan signifikan dapat membentuk cara menikmati musik tiap individu, bahkan terhadap selera, seperti musik remix dan Hipdut-nya Tenxi. Habitus atau selera kita, kata sosiolog Pierre Bourdieu, tak lahir begitu saja. Ia dibentuk lingkungan. Dan hari ini, lingkungan kita bernama media sosial, TikTok: yang semua berduyun-duyun mencari sesuatu happening di sana.

Seperti yang terjadi pada kawan saya, Javas, ia mendengarkan Doel Soembang "Teteh" akibat algoritma FYP hingga diputar berulang kali di kamar kost saya tempo lalu. Menandakan, paparan media massa memberikan efek kuat bagi kita, sehingga kini musik atau lagu bukan lagi didapat di radio, kaset maupun majalah, tetapi algoritma TikTok mendorongnya ke para pendengar musik kiwari.

Terkadang, musik TikTok yang tersebar luas didorong oleh tarian khusus yang dibuat oleh pengguna TikTok atau musisi sendirinya, seperti "Kasih Aba Aba" lagu Tenxi. Ini menjadi pertanyaan saya, ke depannya apakah penyebaran karya musik akan bergeser seperti ini dengan hanya mengutamakan asas atensi atau viral?

Apalagi melihat tren video TikTok yang tak terbendung, dan berimbas pada cara menikmati musik yang sudah ditentukan oleh algoritma FYP, mengubah pandangan saya drastis terhadap distribusi hingga industri musik saat ini. Bagaimana menurutmu?



Penulis: Iqra Ramadhan Karim
Editor: Dian Rosalina


*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS