Salat Jumat berjamaah mungkin tak pernah dibayangkan Kiki Aulia 'Ucup', Festival Director Pestapora, sebagai salah satu agenda utama di antara rangkaian jadwal festivalnya yang padat penampil. Tapi, tepat Hari Jumat, 5 September 2025, skenario itu terjadi.
Ratusan, atau mungkin hampir ribuan pengunjung muslim pria Pestapora tak sungkan berpanas-panas, mengesampingkan sneaker jutaan rupiah di belakang sajadah atau menginjaknya sebagai alas, demi menunaikan kewajiban di tengah hiruk-pikuk festival. Dengan mengenakan setelan tergaul: berkaos band, celana pantas, sebagian bergamis, ada pula yang melilitkan sarung, mereka berbaris memanjang di hadapan panggung utama untuk beribadah.
Pesta yang Berbeda?
Sebutlah: agenda Jumatan adalah satu pengalaman baru di festival musik tanah air. Namun, praktiknya kali ini bukan sesuatu yang memang telah direncanakan matang-matang, melainkan dari kondisi mendesak. Jadwal festival harus dimajukan lebih pagi karena situasi sosial-politik dalam negeri yang bergejolak. Tapi, di situlah Jumat, yang penuh berkah menegaskan maknanya dari sudut pandang berbeda.
Bagi Odin (30), salah satu pengunjung, Jumatan di Pestapora ini cukup istimewa. Selain berkelindan dengan penampilan Iwan Fals x Ebiet G. Ade—mereka naik panggung persis sebelum Jumatan—ia juga ingin ikut mendoakan perjuangan rakyat yang tengah menagih 17+8 tuntutan kepada pemerintah.
Meski sedikit melipir dari aksi di titik strategis, Odin dan ribuan orang lain tak sangsi memilih bersujud di atas aspal panas Kemayoran. "Biar nggak bisa ikut turun langsung tapi ini lumayan mengobati kegelisahan sih. Berjuang 'jalur langit' gitu," tuturnya.
Di sela-sela riuhnya hari pertama Pestapora, CXO Media sempat berpapasan dengan Ucup, yang tengah senyum-senyum tipis mengamati panggung NTRL x Morfem dari kejauhan. Kami pikir ia memang pantas sedikit berbangga. Festivalnya tetap berjalan lancar meski diterpa dinamika yang tidak biasa.
Waktu dikonfirmasi mengenai agenda Jumatan, Ucup bilang, sebenarnya Jumatan di Pestapora bukanlah sesuatu yang tidak pernah dipikirkan. "Mungkin-mungkin aja sebenarnya, cuma memang sebelum ini kesempatannya belum ada," jawabnya singkat.
Khutbah Bang Haji
'Bang Haji' Rhoma Irama bertugas sebagai khotib sekaligus imam Jumatan di Pestapora. Dengan kefasihan seorang musisi sekaligus dai, ceramah singkatnya mengingatkan jamaah agar tidak terbuai pesta dunia, dan menegaskan momen ini sebagai waktu yang tepat untuk meniru tauladan Nabi Muhammad SAW. Manusia teragung di hadapan Allah SWT, sekaligus pemimpin umat akhir zaman yang dibekali Al-Qurannul Karim.
"Hari ini, 5 September 2025, bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW (tanggal 12 Rabbiul Awal, dalam kalender Hijiriah)," tuturnya dari atas mimbar. "Maka mari kita tiru perilakunya, ketaqwaannya, akhlak baiknya sebagai pemimpin seluruh umat manusia di dunia."
Walaupun tidak secara langsung mewakili harapan Odin, apa yang disampaikan Bang Haji, selaku musisi, tokoh masyarakat, dan figur yang berpengaruh, tetap hadir bak aliran rohaniah. Mengunjukkan pembeda dari habit festival yang biasanya hanya fokus pada keriangan semata.
Sekadar Komodifikasi?
Pestapora, yang digelar di masa-masa krusial, pada satu titik terbilang mampu digelar dengan cukup lancar. Cukup menyerupai wahana berbeda untuk rakyat banyak, dalam menyuarakan perlawanan terhadap kelaliman.
Namun demikian, fenomena ini nyatanya tak luput dari nada-nada kritis. Memunculkan tudingan seperti: Apakah ini sekadar gimmick? Suatu komodifikasi? Tentu, akan sangat disayangkan jika hal ini dijadikan sorotan lebih demi memperoleh simpati atau keuntungan lebih. Sebab, sifatnya sendiri adalah ibadah wajib yang memang tak bisa diberi kompromi.
Lagipula, jika mau menganggap Jumatan ini teramat spesial, sebenarnya giat serupa bukannya tidak pernah sama sekali terjadi. Di venue yang nyaris sama pula, gelaran panggung musik Pekan Raya Jakarta, dalam beberapa edisi terdahulu telah lebih dulu konsisten menyelingkan ibadah berjamaah di hadapan panggung hiburan. Lebih-lebih, yang mereka gelar adalah solat Isya berjamaan plus solat sunnah tarawih—mengingat penyelenggaraannya dalam beberapa edisi lalu bertepatan bulan Ramadan.
Terlepas dari bagaimana kemurnian penyelenggaraan Jumatan tersebut, pada dasarnya kehadirannya sudah lebih dari cukup. Di ruang yang biasanya hanya menyajikan kesenangan, sejenak lahir ruang rohani yang organik. Di mana wajah-wajah yang rela berpeluh di bawah terik matahari tetap khusyuk menunaikan ibadah sebagaimana mestinya.
Pesta Pasti Berakhir
Musik, dalam tafsir yang luas memang bisa disebut sebagai laku dakwah. Melalui nada-nada hingga narasi di bagian lirik yang dimainkan para musisi, musik merupakan satu medium dakwah (non-formal) yang terbilang efektif untuk menyuarakan kebaikan. Mulai urusan norma bermasyarakat dan beragama, hingga aktiviisme yang berpihak kepada rakyat.
Bang Haji sendiri, walaupun tidak eksplisit membicarakan kondisi saat ini pada ceramahnya, telah berulangkali menyampaikan banyak wejangan lewat karya. Sebut saja dua nomor populer: "Judi" dan "Mira Santika", yang mewujudkan himbauan telak kepada manusia agar tidak terlena dengan nikmat dunia.
Tak hanya itu, Bang Haji juga sempat berpesan melalui lagu berjudul "Pesta Pasti Berakhir (1991)", yang terasa relevan dengan situasi sosial-politik saat ini. Seolah-olah menjadi sindiran penuh pembacaan dan visi, terutama untuk para wakil rakyat yang justru berpesta di halaman DPR pada 3 September lalu, alih-alih menemui demonstran.
Faktanya, gelombang aksi massa sejak 28 Agustus lalu telah menelan korban: 10 orang meninggal, yang sebagian besar diduga akibat tindakan represif aparat. Kontras dengan pesta mewah para elite, doa Rhoma di penghujung khutbah menyiratkan kritik yang tak tersampaikan secara gamblang:
"Allahumma Ya Allah, berikanlah hidayah-Mu kepada para pemimpin kami agar mereka menjalankan tugasnya dengan amanah, sesuai Pancasila dan UUD 1945. Jadikanlah Indonesia Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur...," yang kemudian disambut dengan amin super serius dari para jamaah.
Di samping itu, lirik "Pesta Pasti Berakhir", juga tampil menyokong doa tersebut, ibarat sindiran telak kepada mereka yang mengaku wakil-wakil rakyat, tetapi kerap berlaku merugikan rakyat. "Makan-minumlah, senang-senanglah, dalam pesta kehidupan dunia. Tapi ingatlah, gunakan pikir: bahwa pesta pasti 'kan berakhir".
Dari dua hal yang disampaikan Bang Haji, dalam dua kesempatan berbeda, sudah sepatutnya Jumatan di Pestapora bergema lebih dari sekadar ritual, atau sekadar bensin untuk konten viral. Momentum ini, harus menjadi saat yang paling tepat bagi rakyat untuk menentukan sendiri jenis pesta yang pantas untuk dirayakan.
Satu hal yang juga menjadi otokritik bagi Pestapora, yang menerima support dari Freeport Indonesia. Perusahaan tambang besar, yang punya rekam jejak kontroversial: menjadi ancaman ekosistem, dan dicurigai terlibat erat dengan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua Barat, hingga sejumlah insiden berdarah. Untungnya, Ucup dan Pestapora segera menganulir kemitraan mereka di awal hari pertama.
Dan, mungkin memang sudah waktunya kita mengakui: pesta yang tak berpihak pada rakyat, pesta yang hanya melayani kepentingan komersial, pada akhirnya akan berakhir atau diakhiri secara paksa. Jumatan di Pestapora adalah satu pengingat yang bijak. Bahwa, pesta musik bisa berhenti sejenak, tapi suara rakyat tak boleh diabaikan.
(RIA/RIA)