Jakarta, seperti kota metropolitan pada umumnya, dari pagi hingga malam akan selalu diisi oleh suara-suara yang tak pernah diam, jalanan kota selalu dipenuhi deru kendaraan, langkah terburu-buru manusia urban dari segala arah. Jakarta hidup dalam kecepatan yang melebihi kota lainnya, memaksa siapapun untuk terus bergerak, dan terus terhubung.
Hidup di Jakarta, terasa seperti berada di dalam mesin yang tak pernah mati. Ritme cepat adalah sebuah norma. Berjalan lebih cepat, berbicara cepat, berpikir cepat, bahkan waktu untuk istirahat sering kali dibajak oleh "tuntutan" sosial media, komunikasi kerja, atau hiburan instan yang justru menguras tenaga dan pikiran.
Rata-rata pekerja di kota metropolitan ini harus menghabiskan waktu sekitar 1-2 jam untuk menuju kantor. Itu belum termasuk waktu lembur, konsumsi konten digital, dan beban hidup lainnya. Akumulasi tekanan ini tak hanya berdampak pada fisik saja, tetapi menyentuh lapisan mental yang menimbulkan rasa cepat lelah, mudah marah, sulit fokus dan daya ingat yang menurun.
Di tengah ritme kota yang tak memberi jeda, bagaimana kita bisa tetap fokus waras, dan hadir sepenuhnya sebagai manusia. Apakah mungkin untuk bertahan di tengah dunia yang menuntut segalanya serba cepat, termasuk cara kita mengonsumsi informasi.
Krisis Konsentrasi Akibat Brain Rot
Di tengah derasnya konten digital, muncul istilah baru yaitu brain rot. Secara harfiah, brain rot berarti pembusukan otak, namun dalam konteks digital istilah ini merujuk pada menurunnya kemampuan kognitif akibat paparan konten yang cepat, dan singkat secara terus-menerus. Konten seperti video pendek, hiburan instan yang terasa ringan, namun justru bisa menjadi racun saat dikonsumsi berlebihan.
Sebuah laporan menyebutkan bahwa 81,9 persen pakar menyepakati bahwa brain rot adalah istilah populer yang mencerminkan fenomena serius seperti penurunan fungsi kognitif akibat adiksi terhadap konten digital yang receh. Konten semacam ini memicu sekresi dopamin, zat pemantik rasa senang di otak secara berlebihan, hal ini mirip seperti "kecanduan" karena otak akan terus mencari stimulus serupa.
Akibatnya, kemampuan fokus, ingatan jangka panjang, pengendalian emosi, hingga daya nalar bisa terganggu. Kita menjadi generasi yang terus terhibur, tapi mudah lelah dan gelisah. Saya sebagai salah satu pengguna media sosial pun mengalami gejala yang sama, setiap harinya mengkonsumsi hiburan yang ringan namun repetitif, mulai dari video lucu hingga potongan konflik kehidupan orang lain.
Dalam dunia yang penuh distraksi ini, membaca bisa menjadi solusi namun juga bentuk perlawanan agar tidak terkena brain rot. Membaca adalah latihan mental, proses menyusun narasi panjang, menyerap gagasan, merenungkan makna dan yang paling penting, memberi ruang bagi imajinasi untuk bernapas.
Buku mengajak kita untuk lambat, menyelami, bertahan di satu hal dalam waktu yang cukup lama. Dalam istilah psikologi, membaca melatih konsentrasi mendalam (deep focus) yang kini mulai langka di lakukan oleh manusia modern termasuk saya sendiri jarang sekali melakukan kegiatan ini.
Mengutip dari artikel health.com, membaca dapat meningkatkan fokus, pemahaman dan kemampuan untuk memahami ide-ide kompleks, memperkuat area otak yang terkait dengan bahasa dan imajinasi. Selain itu penelitian menunjukkan bahwa orang yang membaca selama 30 menit sehari lebih kecil kemungkinannya mengalami penurunan kognitif.
Perpustakaan Jakarta/ Foto: Ayu Puspita Lestari - Kontributor CXO Media |
Perpustakaan menjadi tempat terbaik untuk melakukannya, tidak hanya karena buku-bukunya lengkap, tetapi juga karena atmosfer yang mendukung. Salah satu perpustakaan Jakarta yang terletak di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jalan Cikini No.73, Jakarta Pusat yaitu perpustakaan Taman Ismail Marzuki (TIM). Perpustakaan ini dirancang sesuai kebutuhan warga kota yang ingin merasakan tempat nyaman, terbuka namun tenang di tengah ramainya kota.
Pada tahun 2022 tempat ini pun menjadi bagian dari revitalisasi besar-besaran kawasan TIM dan sejak saat itu menjadi magnet baru bagi pecinta literasi bahkan pegiat kesenian. Begitu masuk ke dalamnya, suasana langsung berubah, interior yang minimalis namun hangat, dinding kaca yang besar membuat cahaya matahari masuk menghidupkan ruang baca dengan aura ketenangan, tak ada suara bising kecuali langkah pelan pengunjung.
Tersedia area baca anak, ruang khusus literasi digital, pojok koleksi budaya Betawi, hingga ruang kerja bersama. Koleksinya lebih dari 100.000 buku, mulai dari fiksi, non fiksi, sejarah, seni, sastra dan masih banyak lagi. Selain itu, Perpustakaan TIM pun ramah bagi para penyandang disabilitas dengan adanya lift khusus dan penunjuk ruangan yang jelas sehingga mereka pun bisa merasakan atmosfer tempat tenang, nan nyaman.
Berdasarkan pengumuman resmi dari akun instagram @perpusjkt jam operasional perpustakaan TIM saat ini, mulai dari hari Senin-Minggu jam 09.00-22.00 WIB. Bagi saya kunjungan ke Perpustakaan TIM terasa seperti detoksifikasi mental. Saya bisa membaca buku apapun, mencatat ide, bahkan menulis jurnal pribadi, sesuatu yang sudah jarang saya lakukan karena otak terlalu sibuk mengikuti dunia digital dan kesibukan lainnya sebagai manusia modern.
Hal yang perlu disadari juga, kita sebenarnya tidak kekurangan hiburan, namun kita butuh ruang refleksi untuk menata kembali pikiran. Membaca bukan hanya tentang buku, tetapi tentang keberanian untuk hening di tengah kebisingan kota metropolitan, jadwal yang padat dan lalu lintas yang selalu ramai.
Perpustakaan bisa menjadi ruang penghentian, seperti oase kecil yang memungkinkan kita untuk meredakan emosi dan menyadari bahwa kita butuh waktu untuk menjadi manusia yang utuh, bukan hanya individu yang harus online terus-menerus.
Jakarta tak pernah diam, dan mungkin memang tidak akan pernah diam, tapi kita selalu bisa memilih untuk berhenti sejenak. Diam, dalam konteks ini bukanlah kemunduran, ini tentang kekuatan. Kekuatan pikiran, kesadaran untuk berjalan perlahan, bukan untuk berhenti atau menyerah tetapi menyadari bahwa kita sebagai manusia tidak harus mengikuti kecepatan dunia.
Duduk tenang di pojok perpustakaan dan membuka buku, kita tidak hanya memberi ruang bagi ilmu pengetahuan, tapi juga memberi jeda bagi mental serta bentuk menghargai diri sendiri. Perpustakaan Jakarta di TIM menjadi pengingat bahwa ruang refleksi masih mungkin ditemukan. Ia bukan tempat pelarian, melainkan tempat penataan ulang kembali pikiran agar tidak cepat terganggu yang justru menghilangkan daya ingat.
Yuk mulai jadwalkan berkunjung ke perpustakaan di tengah kesibukan dan ramainya kota ini.
Penulis: Ayu Puspita Lestari
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)
Perpustakaan Jakarta/ Foto: Ayu Puspita Lestari - Kontributor CXO Media