Interest | Art & Culture

Balada Sound Horeg: Negara Mengapresiasi, Warga Anggap Polusi

Selasa, 22 Jul 2025 12:00 WIB
Balada Sound Horeg: Negara Mengapresiasi, Warga Anggap Polusi
Sound Horeg. Foto: Detikcom
Jakarta -

Sound system dengan tinggi puluhan meter, berat yang nyaris satu ton, suara menggelegar ratusan meter, alunan DJ jedag-jedug dengan low frequency yang khas, berjalan menggunakan truk besar melintasi desa ke desa menghibur penggemar, inilah gambaran singkat dari Sound Horeg yang termasyur dari Jawa Timur. Namun di tengah kebahagiaan para penggemarnya, ada rumah-rumah masyarakat hingga fasilitas umum yang rusak akibat dendangannya.

Sound horeg merupakan sebuah fenomena bunyian yang terlahir dari kreativitas masyarakat 'akar rumput' di Jawa Timur. Bukan sekadar musik kampung, ini menjelma menjadi sebuah genre musik tersendiri, praktik budaya, bentuk ekspresi, bahkan sebuah wacana politik.

Bisingnya suara yang dihasilkan, tak jarang membuat masyarakat di wilayah yang dilewati orkes sound horeg ini merasa terganggu dan ogah memberikan panggung. Tapi di sinilah di mulai sebuah perdebatan antara masyarakat dan pemerintah tentang sound horeg.

Dibanggakan Negara, Dibenci Masyarakatnya

Tahun lalu, ada begitu banyak pemberitaan tentang sound horeg yang menyusahkan masyarakat. Mulai dari merusak rumah-rumah karena frekuensi gema yang tak masuk akal, sampai merusak fasilitas umum demi 'si raksasa' ini bisa melewati jalanan yang kecil. Tak heran aparat kerap membubarkan orkes musik ini.

Namun siapa sangka, sekarang sound horeg dipertimbangkan menjadi aset budaya yang patut dilestarikan karena lahir dari kreativitas asli masyarakat akar rumput sampai viral di dunia. Dikutip The Converstation, pada tanggal 9 Mei 2025, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Timur pun mengusulkan sound horeg dilindungi sebagai kekayaan intelektual.

Muhammad Rayhan Sudrajat, pengajar sekaligus etnomusikolog mengatakan pengakuan yang tiba-tiba dari pemerintah bisa jadi punya tujuan di baliknya. Di satu sisi negara mulai mengakui nilai budaya, tapi di sisi lain ini bisa jadi bentuk kontrol simbolik: suara rakyat yang diatur, dibatasi, dan direcoki.

Meski begitu, sound horeg memang tidak rapi, dan tidak berlandaskan pada norma suara 'enak didengar', seperti yang kita pahami selama ini. Namun justru di situlah esensinya. Bagi sebagian komunitas, dentuman bass yang membabi buta bukan soal hiburan, tapi simbol kemajuan teknologi dan eksistensi kelas pekerja di ruang publik.

Banyak warga yang mengeluhkan gangguan yang ditimbulkan akibat sound horeg, mulai dari kebisingan dan kerusakan pada rumah mereka. Bahkan warga yang mau dilewati sound horeg harus membuat perjanjian dengan si orkes agar kalau sampai rusak, mereka harus menggantinya.

Bukan cuma soal fisik, tetapi dari sisi kesehatan dan lingkungan, sound horeg punya andil. Selain membuat pendengaran terganggu, ekosistem alam laut misalnya, bisa membuat makhluk hidup di situ menjadi rusak. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), paparan suara dengan intensitas lebih dari 100-120 desibel dalam waktu singkat, bisa menyebabkan kerusakan pendengaran permanen.

Rayhan pun pernah mencatat bahwa sound horeg bisa mencapai 125 desibel, itu pun sudah dalam radius beberapa meter. Bagaimana dengan orang yang berada di dekatnya? Sudah pasti pendengarannya akan terganggu untuk sesaat.

Pembatasan Sound Horeg

Melihat dampak yang ditimbulkan lebih banyak negatifnya daripada positifnya, beberapa pemerintah daerah telah mengeluarkan peringatan untuk melarang penggunaan sound horeg dalam acara keramaian contohnya Kabupaten Pati. Walaupun belum lama ini larangan tersebut dicabut usai Pemerintah Kabupaten Pati, Kapolresta Pati dan perwakilan pengusaha sound horeg di Pati bermediasi.

Bukan hanya hukum, di ranah agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI0 telah menyurati aparat kepolisian terkait keresahan moral akibat sound horeg. Dalam responsnya, polres menyatakan akan mengevaluasi praktik ini secara serius dan mengindikasikan bahwa kontrol terhadap suara ini sudah meluas ke etika dan keagamaan.

Bahkan di Bondowoso, Jawa Timur, Pemkab dan Polres sudah mulai merancang regulasi bersama untuk mempertimbangkan kebutuhan masyarakat setempat, bukan hanya larangan saja.

Sound horeg mungkin sebuah medium rakyat untuk menyuarakan hal yang tak pernah didengar oleh negara. Kini negara menerimanya dengan tangan terbuka untuk menjadikan bunyi-bunyian ini bagian dari kekayaan intelektual yang diakui. Namun pertanyaannya, tulus atau tidak?

Bila memang ingin sound horeg dilestarikan, negara dan komunitas mesti berkolaborasi menciptakan ruang ekspresi yang aman, terstruktur, dan tidak merugikan warga sekitar maupun alam. Salah satunya adalah menciptakan regulasi yang jelas, mengatur intensitas bunyi, durasi, dan zonasi penggunaan sound system seperti yang dilakukan di sejumlah negara-negara maju di dunia.

Bagaimana menurutmu, haruskah sound horeg dihapuskan atau diatur oleh negara lewat regulasi yang jelas demi kepentingan bersama?

(DIR/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS