"Kadang cinta memang membutuhkan waktu, untuk dapat memperlihatkan siapa yang pantas diperjuangkan." Kalimat barusan terasa sangat pas untuk menggambarkan kisah dramatis yang termuat di dalam film Sore: Istri dari Masa Depan. Sebuah karya drama-romantis bernuansa fiksi ilmiah terbaru dari Yandy Laurens, yang kini tengah ramai dibicarakan di media sosial.
Sejak tayang di bioskop 10 Juli 2025 lalu, Sore: Istri dari Masa Depan tak henti-hentinya mendapat reaksi positif dari publik. Kesannya meliputi kekaguman audiens terhadap alur cerita yang kompleks dan tak menjemukan, sorotan gambar ke gambar yang menggugah, hingga keleluasaannya dalam membuka ruang kontemplasi personal.
Apakah Kita Akan Memilih Orang yang Sama?
Sore: Istri dari Masa Depan berkisah tentang seorang perempuan bernama Sore (Sheila Dara Aisha), yang datang dari masa depan untuk menemui pria bernama Jonathan (Dion Wiyoko). Sore datang kepada Jonathan bukan untuk sekedar menyapa. Namun, ia membawa pesan, cinta, juga peringatan: Jonathan harus mengubah gaya hidupnya yang cukup berantakan agar kelak terhindar dari nestapa.
Pada dasarnya, Sore: Istri dari Masa Depan bukan hanya soal romansa dua orang dengan dimensi waktu yang berbeda. Film ini juga menyuguhkan pertanyaan eksistensial, yang berkorelasi dengan cara kita merawat suatu hubungan. Misalnya: apabila kita bisa melihat masa depan suatu hubungan, dan dapat mengetahui akibat dari segala perbuatan kita hari ini, mungkinkah kita tetap bertahan dengan pasangan yang sama atau justru segera berjalan ke arah berbeda?
Pertanyaan tersebut terus menggema di benakku setelah menyaksikan Sore: Istri dari Masa Depan. Maksudnya, di samping takjub dengan unsur-unsur intrinsiknya yang memukau, film ini terasa benar-benar mampu menyentil sisi terdalam dari kehidupan personal.
Diskursus hubungan yang diproyeksikan Sore dan Jonathan seakan menyadarkan, bahwa dalam menjalin suatu hubungan asmara, kita tidak hanya jatuh cinta pada siapa yang ada di depan kita, tapi juga pada luka, harapan, dan ketakutan yang menyertainya.
Tanpa disadari, kita juga sering memaksa hubungan saat ini sebagai "obat" penyembuh untuk luka-luka dari hubungan yang lampau. Padahal, sejatinya hubungan bukan tentang menyembuhkan luka masa lalu, tetapi soal dengan siapa dan bagaimana kita hidup bersama di masa ini dan yang akan datang.
Di dalam Sore: Istri dari Masa Depan, Jonathan sendiri tidak tahu bahwa pilihannya hari ini akan menyakiti banyak orang-termasuk dirinya sendiri. Seperti banyak dari kita yang menjalani hubungan tanpa benar-benar memikirkan dampaknya dalam jangka panjang, kita sering mengambil keputusan berdasarkan emosi sesaat, atau takut kehilangan, yang justru menandakan bahwa kita tidak yakin pada pilihan itu sendiri.
Menggunakan fiksi sebagai cara merefleksikan realita, film ini benar-benar berhasil mengajak untuk kembali merenung; bahwa hubungan adalah investasi emosional yang kita tabung hari ini untuk masa depan kita sendiri bukan hanya pasangan. Waktu dalam film ini pun bukan tentang jam atau hari, tapi tentang kesadaran. Tentang bagaimana kesalahan bisa dihindari; tentang mengenali diri sendiri dan juga pasangan yang diajak untuk berproses bersama.
Luka-luka Masa Lalu
Salah satu kekuatan film Sore: Istri dari Masa Depan tampak dari bagaimana Yandy Laurens mengulas luka-luka batin—yang menjadi fondasi pada hubungan Jonathan dan Sore. Jonathan, dengan semua keraguannya, seperti merepresentasikan banyak orang di luar sana yang belum selesai dengan dirinya sendiri. Ia ingin dicintai, tapi belum benar-benar tahu bagaimana mencintai tanpa terluka lagi.
Dalam psikologi, konsep ini dikenal dengan attachment wound atau luka keterikatan. Luka ini bisa muncul karena pengalaman masa kecil yang penuh penolakan, ketidakpastian atau bahkan kekerasan emosional.
Hal ini membuat kita tumbuh dengan perasaan tidak cukup, lalu membawa perasaan itu ke dalam hubungan. Akhirnya, kita menjadi berharap lebih pada pasangan; bahwa mereka harus bisa "menyembuhkan" luka tersebut, padahal tanggung jawab penyembuhan luka batin merupakan kewajiban diri sendiri.
Di lain sisi, Sore juga tidak hadir sebagai penyelamat, tapi sebagai penanda waktu. Ia tidak datang untuk menggantikan masa lalu Jonathan, tapi mengajaknya melihat dengan jernih apa yang sedang dan akan terjadi jika dia tidak berubah.
Otak Kita Butuh Rasa Aman
Sering kali kita berpikir cinta adalah soal hati, padahal secara neurosains, cinta adalah hasil kinerja otak. Saat kita merasa aman dan dicintai, tubuh memproduksi hormon oksitosin yang membuat kita merasa nyaman, tenang dan terhubung.
Namun, pengalaman masa lalu bisa membuat sistem saraf kita hidup dalam kewaspadaan konstan. Kita terbiasa hidup dalam hubungan yang tidak stabil, penuh emosi ekstrem dan menafsirkan ketegangan sebagai "bukti cinta." Fenomena ini disebut dengan trauma bonding. Suatu ikatan yang terjalin langsung antara pelaku dengan korbannya. Ikatan ini biasanya terjadi ketika korban mulai mengembangkan rasa simpati atau kasih sayang terhadap pelaku kekerasan.
Sosok Jonathan sendiri menunjukkan ciri orang yang belum merasa aman dengan dirinya sendiri. Sedangkan Sore, bukan sekadar pasangan yang melengkapi, tetapi menjadi katalis yang menyadarkan pasangannya: bahwa menjadi tenang bukanlah sesuatu yang membosankan, tetapi menandakan bahwa kita telah berada di tempat yang tepat.
Hal lain yang membuat film ini kian menyentuh adalah kenyataan bahwa tidak semua orang diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. Jonathan termasuk beruntung, karena Sore datang dari masa depan untuk memperingatkannya. Namun dalam dunia nyata, kita tidak bisa mendapatkan hal semacam itu, kecuali momen nyata di saat ini. Itulah mengapa kesadaran sangat penting dalam suatu hubungan.
Sore yang menghampiri Jonathan di masa lalu, tidak mencoba untuk mengoreksi masa depan secara instan. Perjalanan Sore justru berwujud upaya-upaya reflektif, yakni mencoba memantik kesadaran kepada pasangannya, dengan harapan: mereka berdua dapat mengalami masa depan dengan lebih menyenangkan.
Bagiku, menyaksikan Sore: Istri dari Masa Depan adalah sebuah pengalaman campur aduk. Bukan karena ceritanya kompleks dan sulit dipahami, tetapi karena maknanya benar-benar bisa ditarik ke kehidupan nyata. Sungguh dekat dan amat terasa.
Film ini seperti mengajakku duduk dan berhadapan dengan diri sendiri lalu bertanya: "Kalau kamu bisa melihat masa depan, apa kamu akan bahagia dengan keputusan yang diambil hari ini dan menjalin hubungan dengan orang yang saat ini menemani kamu?"
Penulis: Ayyu Puspitta*
*Isi tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan dari redaksi CXO Media.
(ktr/RIA)