Di dunia yang padat oleh gambar dan kilau, letak kebahagiaan tak lagi bersemayam dalam keseharian, tetapi dalam unggahan. Kita hidup di tengah peradaban yang menjadikan potongan unggahan visual di media sosial sebagai tolok ukur dalam menilai diri. Apa yang tidak dibagikan seolah tidak pernah terjadi, dan apa yang tidak terlihat menarik dianggap tidak penting. Perlahan, kita belajar untuk mengemas dan memoles hidup, bukan menjalani sebagaimana nyatanya.
Media sosial, yang mulanya diciptakan untuk mendekatkan yang dirasa jauh, kini menciptakan jarak paling sunyi. Tidak hanya kepada orang lain, tetapi juga kepada diri kita sendiri; meredefinisikan siapa kita sebenarnya melalui apa yang kita pilih untuk tampilkan.
Kemapanan sebagai Norma Baru
Berdasarkan data We Are Social, terdapat 143 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia. Jumlah tersebut terus meningkat setiap tahun, dengan rentang usia pengguna paling banyak: 10-14 tahun.
Keaktifan masyarakat Indonesia bermedia sosial ini tergambar jelas di platform-platform maya yang terunduh di dalam layar kecil ponsel pintar. Di mana semua orang terlihat bahagia, mapan, dan dicintai.
Meski demikian, di balik itu semua, banyak orang yang tengah berjuang menyembunyikan kesusahan yang tak ingin diketahui siapa pun. Kebutuhan masyarakat dalam mencukupi kehidupan di media sosial kiwari berkelindan dengan kecenderungan untuk selalu tampil prima. Seakan-akan menjadi glamor adalah tuntutan utama yang harus dipenuhi.
Kecenderungan ini juga memaksa kita untuk terus tampil bersinar di depan layar. Bukan karena sedang berbahagia, tetapi karena takut dianggap kalah dalam perlombaan hidup imajiner di ranah media sosial. Sebuah perilaku yang tak benar-benar diperlukan. Entah siapa pula yang pertama memulainya.
Di hari ini, tampil dengan citra yang serba baik, positif, dan kalau bisa mapan di media sosial, seolah-olah menjadi hal yang naluriah. Meresap hingga mengubah tingkah laku sehari-hari, hingga kita lupa bagaimana rasanya menjalani hari tanpa tekanan untuk membuatnya terlihat lebih menarik. Hal yang paling menyedihkan dari fenomena ini adalah: kita tidak melakukan itu semua untuk diri sendiri, tetapi agar dipandang hebat oleh orang lain. Membuat kita terus berusaha tampil sempurna, karena khawatir dipandang miring oleh audiens.
Diam-diam Menghanyutkan
Pada titik tertentu, kekhawatiran—yang tak diperlukan ini—justru mulai memicu penyakit mental di antara orang Indonesia. Menurut Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2022, anxiety disebut sebagai salah satu penyakit mental paling umum yang mendera masyarakat Indonesia-dengan rentang usia penderita paling banyak: 10-17 tahun. Meski tidak secara langsung berkorelasi dengan keaktifan bermedia sosial, yang mayoritas berada di rentang usia 10-14 tahun, faktor ini disebut dapat meningkatkan rasa cemas pada remaja.
Ironisnya, banyak dari kita mungkin menyadari, bahwa perangai penuh rekaan yang ditampilkan di media sosial ini adalah kebohongan yang kita rawat bersama. Seperti rahasia umum; kita melakukannya karena semua orang juga mempraktikkan hal yang sama. Kita tahu orang lain sedang menyaring kenyataan, menata sudut, menulis cerita penuh rekaan sebagai caption. Namun, meski tahu itu palsu, kita tetap merasa kerdil ketika melihatnya. Kita merasa tetap harus mengejar ketertinggalan semu. Seakan yang palsu lebih layak dipercaya ketimbang kejujuran yang sederhana.
Estetika telah menjelma menjadi ukuran etika baru. Tidak cukup menjadi baik, kita harus terlihat baik. Tidak cukup merasa damai, kita harus terlihat bahagia. Kita mengukur makna dari reaksi orang lain. Validasi eksternal menjadi candu yang pelan-pelan menggerus kemampuan kita untuk peka terhadap kondisi batin sendiri. Kita menjadi penonton setia terhadap hidup orang lain, sekaligus pemeran bayangan dalam hidup sendiri. Lantas, apa yang tersisa dari diri kita ketika semua harus terlihat sempurna?
Biasa-biasa Saja itu Tidak Apa
Media sosial yang serba cepat dan mapan perlahan-lahan membuat kita takut untuk berdiam diri. Kita panik ketika tak ada yang bisa dibagikan. Kita merasa tak nyata waktu absen dari dunia maya.
Padahal, sebaliknya, dalam diam sering kali kita bisa mendapati diri yang lebih murni. Kita akan belajar melihat tanpa tergesa-gesa, merasakan tanpa tekanan, walaupun dunia yang kita ciptakan bersama tidak lagi ramah pada keheningan.
Dalam dunia seperti ini, kesederhanaan boleh jadi merupakan perlawanan. Tidak mengunggah jadi pilihan radikal. Tidak membandingkan diri menyerupai keberanian. Dan, mungkin itulah bentuk revolusi kecil yang bisa kita mulai: Memilih untuk kembali berjujur diri, bukan dalam format estetis, tapi tidak membutuhkan rasa pembuktian terhadap siapa pun. Kita butuh keberanian untuk menjadi manusia biasa yang seada-adanya.
Krisis identitas yang kita alami hari ini bukan karena kita tidak mengenal siapa diri sendiri, tetapi karena terlalu sering diminta menjadi orang lain hanya agar dapat diterima. Kita terlalu sibuk menciptakan versi terbaik dari diri, sampai lupa bahwa yang paling layak dipeluk adalah versi yang nyata dengan lelah, dengan gagal, dan dengan biasa-biasa saja.
Karena mungkin yang paling manusiawi adalah yang tidak selalu ingin tampil. Yang tidak tergesa membungkus setiap peristiwa dengan bingkai indah. Yang berani adalah yang dapat membiarkan hidup berjalan tanpa panggung dan tanpa sorotan. Bukankah kejadian yang tak terekam itu justru menyimpan kebenaran yang paling utuh?
Penulis: Muhammad Fauzan Mubarak*
*Isi tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan dari redaksi CXO Media.
(ktr/RIA)