*Review ini mengandung spoiler. Baca dengan risiko kamu sendiri.
Tak banyak orang sadari kalau emosi negatif yang dipupuk tanda divalidasi keberadaannya akan menyuburkan bibit-bibit trauma dalam diri, bahkan hingga tua nanti. Maka dari itu, keluarga dan lingkungannya berperan penting dalam tumbuh-kembang berbagai emosi dalam diri seseorang.
Namun ketika fungsi keluarga tidak lagi ideal dan bukan lagi tujuan seseorang untuk 'pulang', 'gurun' trauma dalam keluarga pun muncul dan mempengaruhi esensi dari kehidupan. Inilah yang sedikit banyak digambarkan oleh film drama persembahan Sinemaku Pictures, Boleh Sekali Saja Kumenangis.
Salah satu adegan Tari yang mencoba untuk menahan emosinya./ Foto: Sinemaku Pictures |
Review Bolehkah Sekali Saja Kumenangis
Bagi saya, Bolehkah Sekali Saja Kumenangis bukanlah film sembarangan, ini diperuntukkan bagi orang-orang yang menjadi korban kekerasan dan juga punya penyakit mental terutama yang disebabkan oleh lingkungan keluarga yang toxic.
Saat menontonnya, ada perasaan cukup personal dan 'mengena' di hati saya. Setiap dialog dan adegan yang diterjemahkan sedikit banyak menggambarkan seperti apa keluarga yang toxic, otoriter, dan kuat nuansa patriarkinya. Sebagai informasi, film butuh perjalanan panjang dengan riset yang mendalam.
Apalagi isu yang diangkat cukup dekat dengan masyarakat dan menjadi permasalahan yang sampai saat ini sulit terselesaikan. Dalam penulisan script-nya, tim penulis Bolehkah Sekali Saja Kumenangis bersama dengan sutradara, Reka Wijaya, menyertakan riset dengan Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan komunitas advokat yang kerap mengatasi kasus-kasus kekerasan berbasis gender.
Selain isu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), isu kesehatan mental pun sangat kental dibawa dalam Bolehkah Sekali Saja Kumenangis. Di film ini, kita diperkenalkan oleh sebuah support group yang berisi orang-orang yang punya latar belakang kisah penyakit mental yang berbeda-beda, namun mereka ingin punya kesempatan untuk sembuh.
Bolehkah Sekali Saja Kumenangis menceritakan kisah tentang perempuan bernama Tari (Prilly Latuconsina) yang kesulitan mengungkapkan emosi negatif karena pengaruh lingkungan keluarga yang keras dan lebih ke arah otoriter dari sang ayah, Pras (Surya Saputra).
Tak mengherankan, pada adegan-adegan awal, Reka sudah membawa penonton melihat penggambaran seperti apa keluarga dengan kondisi yang penuh dengan kekerasan mental dan situasi yang tidak ideal bagi seorang anak. Meskipun adegan kekerasan tidak ditampilkan secara gamblang, namun suara-suara bantingan barang, suara bernada keras dari sang ayah dan ibu Tari, Devi (Dominique Sanda), membuat kita, sebagai penonton dibawa ke dalam emosi yang intens.
Dalam adegan awal saja, saya dibawa ke dalam nostalgia masa kecil yang tidak mengenakan. Jujur saja, air mata pun tanpa permisi menetes sedikit demi sedikit, rasa sesak yang menyeruak di dada mulai bangkit. Konflik pun tidak henti sampai di situ saja.
Dari diri Tari yang sudah penuh dengan rasa amarah, kejadian traumatis, dan kesedihan mendalam, harus menekan perasaannya sendiri untuk menjadi seorang pekerja media yang profesional. Di tengah kemelut kondisi 'rumah' yang bagai neraka itu, Tari harus berjuang untuk mempertahankan 'topeng'-nya untuk tetap kuat menghadapi tuntutan pekerjaan dan menjadi seorang people pleasure yang selalu ingin diakui.
Pertemuannya dengan Baskara (Dikta Wicaksono) karyawan baru di kantor yang seorang mantan atlet basket yang bermasalah mengontrol emosinya cukup banyak membantunya untuk menemukan sedikit kebahagiaan di tengah kesedihannya. Meskipun dalam perjalanannya ada percikan cinta yang disajikan dalam beberapa adegan, namun sayangnya, karakter keras dan mudah emosi Baskara membuat Tari masih takut keluar dari rasa traumanya untuk mempercayai orang lain.
Namun karena support group Tari yang terdiri dari konselor Nina (Widi Mulia), Ica (Ummy Quary), Sarah (Shania Gracia), dan Agoy (Kristo Immanuel), sedikit banyak terlihat mampu membuat Tari belajar untuk memberanikan diri untuk keluar dari lingkaran keluarga yang toxic dan menjadi sehat secara mental.
Adegan Tari dan Pras di tengah keramaian./ Foto: Sinemaku Pictures |
Penuh Emosi yang Intens antara Ayah dan Anak
Saya tahu kalau film ini akan banyak membawa perasaan trauma yang dialami oleh sedikit banyak orang. Terutama kamu yang punya daddy's issues atau pernah mengalami KDRT. Namun film ini bukanlah karya yang ingin menyakiti atau mengingatkan kembali kesedihan-kesedihan yang lalu, tapi justru menjadi 'oasis' di tengah 'gurun' trauma dirimu.
Konflik antara Tari dan ayahnya, Pras cukup intens ditampilkan di setiap adegan dalam film ini. Ada ketegangan di antara ayah dan ibu, ketegangan antara Tari dan Pras, bahkan ketegangan Pras dengan Baskara. Kedekatan cerita dengan realitas yang ada, membuat film ini harus ditonton sebagai contoh dan keberanian seseorang seperti saya dalam melangkah dari kondisi traumatis keluarga.
Karakter Pras yang digambarkan sebagai bapak yang keras sangat cukup membuat penonton gregetan saking kesalnya. Sebab, hal-hal mendetail yang ditampilkan seperti menggerutu tanpa sebab; emosi yang tidak pernah lepas dari tiap perkataan yang disampaikannya; sampai tindak kekerasan yang dilakukannya, membuat saya cukup hanyut ke dalam emosi.
Belum lagi klimaks film ini yang membuat siapapun yang menonton film ini terlepas mengalami atau tidak akan sukses membuat air mata mengalir deras. Hal ini dibuktikan dengan terdengar isakkan tangis yang saya dengar memenuhi studio. Ada salah satu adegan yang sukses membuat para penonton semakin terhanyut dan menjadi satu adegan favorit saya sampai kapan pun.
Adegan itu ketika Pras yang sudah ditinggal istri dan kedua anaknya akhirnya sadar tentang apa yang sudah dilakukannya selama ini salah. Dia pun mencoba datang ke support group dan menceritakan apa yang menyebabkan dirinya menjadi pribadi yang keras dan otoriter. Adegan ini menampilkan dialog, jika ia punya kesempatan untuk mengatakan sesuatu kepada anak dan istrinya, apa yang akan dia katakan.
Sontak kata-kata yang disampaikan Pras seakan menggambarkan keinginan banyak anak yang memiliki ayah yang keras dan sulit menurunkan ego, bisa membayangkan melihat ayahnya meminta maaf secara tulus. Belum henti sampai di situ, Reka seakan belum puas mengaduk-aduk emosi penonton di adegan menuju ending film. Dia pun menambahkan percakapan terakhir antara Tari dan Pras di tengah keramaian. Di mana Pras akhirnya memberikan hadiah kecil untuk Tari dan menyampaikan permintaan maaf dan menyampaikan pesan menyentuh satu sama lain.
Bagi saya, adegan terakhir adalah ending yang sukses menutup Bolehkah Sekali Saja Kumenangis sebagai film yang patut untuk ditonton bagi siapapun yang masih terjebak dalam trauma masa lalu dan membutuhkan penyegaran dari kalutnya perasaan hati serta pikiran. Film ini seakan menjadi penyembuh 'sementara' para korban KDRT dan kekerasan, sekaligus menyadarkan orang-orang yang masih memberi makan egonya terlalu banyak.
Mungkin akan sedikit terasa kalau karya ini akan membawamu kembali ke trauma yang dulu, namun bukanlah sesuatu yang harus kamu takuti. Justru film drama keluarga ini akan memberikanmu perspektif yang berbeda, kenyamanan yang berbeda, dan menenangkan seperti 'rumah'.
(DIR/tim)