*Review ini mengandung spoiler. Baca dengan risiko kamu sendiri.
Netflix tidak pernah mengkhianati janjinya. Kabar tentang film terbaru mereka bersama Timo Tjahjanto akhirnya berhasil direalisasikan menjadi kenyataan ketika The Shadows Strays dirilis secara global mulai 17 Oktober 2024. Saat melihat nama Timo duduk di kursi sutradara dari proyek ini, sudah jelas harapannya kurang lebih sama; kebrutalan dari aksi perkelahian dengan kritik sosial yang tidak kalah kuatnya. Dan apa yang saya saksikan dari The Shadow Strays ternyata sesuai dengan bayangan awal.
Review The Shadow Strays
Mari membicarakan sedikit sinopsis The Shadow Strays. Kita akan dibawa masuk ke kehidupan luar-dalam assassin alias pembunuh bayaran bernama 13 (Aurora Ribero) yang sedang menjalankan misi saat musim dingin melanda Jepang. Misi yang awalnya berakhir baik itu perlahan-lahan berubah 180 derajat. Ia harus menerima takdirnya sambil mendapatkan kritikan dari sang master, Umbra (Hana Malasan), yang sama-sama tergabung dalam organisasi The Shadows.
Kepulangannya ke Jakarta membawa 13 kembali ke rusun yang sepertinya terletak di wilayah beraroma bronx sangat kuat sambil melihat derita Monji (Ali Fikry) yang harus menerima pahitnya kehidupan. Ibunya telah dibunuh oleh sindikat kejahatan nan sadistik hingga membuatnya menjadi anak yatim piatu sepenuhnya. Usaha 13 untuk mendekatinya pun membuat hidup Monji sedikit membaik-walau hanya sebentar saja.
Di sinilah titik jalur film ini terus naik-turun layaknya rollercoaster. 13 yang harusnya mengikuti setiap arahan dari Umbra dan The Shadows malah menciptakan misinya sendiri. Beragam musuh menunggunya di depan sana; sambil harus memperhatikan kiri dan kanannya karena bisa saja kawan menjadi lawan.
The Shadow Strays langsung mengingatkan saya kepada beberapa film action Hollywood yang sempat ditonton sebelumnya. Sebut saja Wanted (2018), lalu franchise John Wick dan Jason Bourne, serta The Raid 2: Berandal (2014). Hal-hal yang muncul di layar membuat saya flashback dari apa yang pernah disaksikan. Bukan berarti The Shadow Strays itu menjiplak, tapi memang plot cerita sampai aksi-aksinya berada dalam koridor action yang sama.
Kembali lagi membahas kebrutalan yang seharusnya disajikan secara matang oleh Timo, ternyata memang benar adanya. Cipratan darah dan keberanian menunjukkan adegan gore muncul dari menit ke menit. Terasa berat jika memang kamu tidak terbiasa menyaksikan film action. Namun bagi pecinta karya Timo dan filmografi action secara menyeluruh, The Shadow Strays adalah surga yang telah dirindukan.
BACKGROUND SETIAP KARAKTER THE SHADOW STRAYS SAMA KUATNYA
Kekuatan The Shadow Strays tidak hanya persoalan jalan cerita atau teknik-teknik pengambilan gambar yang apik. Masih ada barisan karakter yang wajib untuk dibahas satu per satu; baik dari sang superhero hingga tokoh antagonis yang lumayan banyak.
13 menjadi satu sosok pembunuh yang kaku, bahkan dari segi dialog sendiri. Ia menyimpan dendam dengan sindikat yang membuat hidup Monji semakin sengsara, sekaligus membawa luka dari kejadian masa lalu yang terus dimunculkan melalui format flashback sepanjang film ini berjalan.
Begitu juga dengan Umbra yang menjadi mentor dari 13. Ia selalu tampak keras terhadap sang murid dengan menuntut kesempurnaan. Padahal kalau nanti kamu mulai masuk semakin dalam, ternyata Umbra memiliki arti berbeda bagi 13.
Timo kembali lagi membawakan pasukan penjahat yang punya karakteristik kuat. Bahkan saya harus akui, masing-masing dari mereka punya coolness yang berbeda-bisa disebut juga lebih keren dari tokoh utamanya.
Mari dimulai dari Prasetyo (Adipati Dolken) yang merupakan pemuda berseragam aparat yang ternyata bermain kotor dengan sindikat penjahat utama The Shadow Strays. Raganya terlihat ringkih, mentalnya pun masih belum jadi, cuma jangan ngomong soal kesadisannya; sama saja dengan tokoh-tokoh lainnya yang akan diceritakan di bawah ini.
Ada Haga (Agra Piliang) dan Soriah (Taskya Namya) yang ternyata saudara kembar dengan kelakuan yang tidak ada bedanya. Persis dari segi sadis dan kejamnya, serta niat membuncah untuk berbuat kejahatan tanpa memedulikan hati nurani. Benar-benar duo yang mampu diceritakan lebih rinci kalau mau dibentuk lewat format The Penguin.
Dari semua daftar penjahat yang bisa kita buatkan list most wanted, maka Ariel (Andri Mashadi) menjelma sebagai nama yang paling tepat. Ia merupakan anak seorang pesohor negara yang sedang menjalankan operasi sebagai calon gubernur yang bermanis-manis di depan publik, tapi bandit di balik layar-terasa dekat dengan kita kan? Ariel selalu berada di bawah ketiak papinya namun terus berusaha menjadi kebanggaan walau kenyataannya selalu tidak pernah memuaskan. Bahkan harus menunjukkan kerapuhannya lewat topeng BDSM demi menunjukkan sisi sadistis di dalam dirinya.
Semua tokoh antagonis di atas bekerja dalam satu payung sama; sekaligus saling merangkul dengan rasa persaudaraan yang kuat. Jadi, walaupun melakukan aksi kejahatan, setidaknya masih ada sisi positif yang bisa diambil dari mereka. Tergantung dari mana kamu mau melihatnya.
Bisa dikatakan kalau The Shadow Strays dikreasikan tanpa harus menyorot 13 dengan terlalu terang. Masih ada spotlight yang bisa diberikan kepada tokoh-tokoh lainnya demi membuat cerita ini berimbang seperti peran media, atau mungkin juga menjadi bentuk kenyataan pahit kehidupan rakyat Indonesia. Bahwa pada kenyataannya, ketika kita ingin membuat orang baik menjadi pahlawan, belum tentu bisa diamini semua orang karena yang jahat masih akan tetap disukai juga.
Apakah The Shadow Strays wajib untuk ditonton saat tayang perdana pada 17 Oktober nanti? Tentu saja hendaklah kamu menikmati secepat mungkin. Mungkin durasi hampir dua setengah jam akan membuat berpikir dua kali untuk menontonnya. Namun percayalah, semua adegan fighting dan dialog-dialog bekerja sebaik mungkin untuk membuatnya terasa cepat, karena itu artinya film ini bisa dinikmati semua kalangan.
(tim/DIR)