Interest | Art & Culture

Review Lagu ke Lagu Album Culture Shock Bersama Ariel Nayaka

Jumat, 03 Nov 2023 16:22 WIB
Review Lagu ke Lagu Album Culture Shock Bersama Ariel Nayaka
Foto: Def Jam
Jakarta -

"Gue nggak hafal lirik gue sendiri. Bahkan OTW manggung juga masih ngeliat Genius. Even kalau rekaman juga gue freestyle saja. Semuanya freestyle, sampai sekarang," ucap Nayaka saat mendapat pertanyaan tentang proses kreatif pembuatan lirik barisan lagunya selama ini. Ucapan itu muncul sesaat ia dengan tangan terbuka mengizinkan untuk mendengarkan album Culture Shock, jauh sebelum tanggal rilisnya.

Kesempatan ini tentu saja tidak boleh terlewatkan. Empat album, barisan single, dengan konsistensi yang tidak perlu diragukan membuat Culture Shock jadi salah satu most anticipated album dari ranah hip-hop Tanah Air.

"Culture Shock bukan soal bahasa doang, tapi sound-nya juga dengan UK Garage, dancehall, sampai hip-hop yang juga di-highlight. Album ini jadi melting pot dari semuanya," jelas pria yang sempat tinggal di Houston, Texas, ini. Penyebutan melting pot untuk album ini memang menjadi kosakata yang tepat. Lahir sebagai sosok yang mau-tidak-mau harus menerima beragam culture dari orang-orang di sekitarnya selama bertumbuh membuat Nayaka melihat Culture Shock jadi satu karya penuh yang amat personal.

Lirik dwibahasa, cerita tentang keluarganya, dan wanita yang sempat menjadi pemanis dalam salah satu halaman hidupnya menjadi sebagian kecil dari apa arti culture shock di matanya. "Bagi gue, Culture Shock itu yang 'it's so me'. Gue nggak mau jadi orang lain di album ini-walaupun sometimes pengen jadi Drake juga-tapi pada dasarnya inilah gue. Influence dari musisi lain nggak bakalan terasa banget di sini. Semuanya campur."

Seiring waktu berjalan, pertanyaan tentang cover album ini pun muncul. Ternyata ini merupakan foto saat perayaan ulang tahun Nayaka ke-10 di Chuck E. Cheese bareng teman-teman sekolahnya di Houston. Melihat ada konsep flashback yang kembali dibawa-seperti era single "School" dengan rapot-Nayaka memang ingin Culture Shock menjadi medium untuk orang lain semakin mengenal dirinya. "Dari apa yang mereka lihat saat ini dan apa yang membentuk gue pada masa lalu," tambahnya.

Review Culture Shock Bersama Ariel Nayaka

Obrolan malam itu semakin larut saat 13 lagu Culture Shock diputar satu per satu. Suasana ramai di salah satu cafe hype daerah Jakarta Selatan sama sekali tidak mengganggu proses mendengarkan album ini. Layaknya mendengarkan khotbah yang menenangkan hati, tapi kali ini membuat kepala ini mengangguk selama setiap lagu diputar, Nayaka memberikan komentarnya tentang lagu per lagu di album ini. Setelahnya, rangkuman tiga kata untuk Culture Shock menjadi gambaran tepat dari pertemuan selama tiga jam itu: "No fucking barriers!"

"Top"

"Ini SonaOne yang buat beat drum-nya. Awalnya nggak gini sebenarnya. Dari lirik, semuanya cerita tentang gue sebagai 'culture shock kid' yang berhubungan sama karakteristik sama keluarga gue. Sebenarnya ini merupakan hasil dari apa yang udah gue alamin selama ini. Dan lo nggak bakal nebak sound apa yang bakalan muncul dari lagu-lagu selanjutnya"

Sebagai intro, "Top" bisa memberikan invitation buat lanjut ke lagu selanjutnya. Terasa kudus dengan Nayaka yang spitting tentang journey hidupnya selama ini sebagai culture shock kid. Intro yang jauh lebih menarik untuk memulai album ini jika mau dibandingin sama album-album sebelumnya.

"Marila Berdansa"

"Shoutout to SonaOne!"

Tidak ada yang perlu dikomentari lebih jauh. Chopped samples dengan beat yang merepresentasikan judul lagu ini menjadi karpet merah untuk Nayaka. All in!

"Sweet Time"

"Awalnya 'Sweet Time' ini dari dua lagu berbeda. Ternyata temponya sama, terus kami coba gabungin aja. Let's see apa yang bisa kami buat. Makanya ada beat switch, kan. Liriknya terdengar kayak ngomong ke cewek, tapi sebenarnya ke musik dan karier gue. Gue berharap lebih banyak orang yang bisa lebih nurunin pace hidupnya. Kita terlalu banyak ngomongin ekspektasi. Take your time saja."

Ada beat switch yang bikin semuanya jadi lebih menarik. Harus diakui kalau teknik beat switch dalam hip-hop emang selalu bisa ngasih euforia yang berbeda. Nayaka juga lebih berani pakai lirik bilingual di sini, apalagi dari tiga lagu pertama. Berkaca kepada K-hip-hop yang juga berani menggabungkan bahasa Korea dan Inggris, Nayaka memang punya misi buat kenalin bahasa Indonesia ke seluruh dunia lewat album ini.

"Tenang"

"Secara beat emang lebih ke dancehall tapi dengan whole vibe yang jauh lebih berbeda. Jadi lebih nyampur saja. Terus, Ini lagu favorit gue dari album ini! It's not me, tapi jadi paling real dengan kondisi waktu gue bikin album ini. Kalau gue nggak ke Bali [buat bikin Culture Shock], maka gue nggak bakal bisa buat lagu ini. Greybox sangat membantu ngarahin semuanya di sini. Walaupun gue selalu freestyle setiap take, tapi karena dia, semuanya jadi lebih terarah."

Lirik bahasa Indonesia di "Tenang" membawa masuk ke dalam perspektif gaya berbahasa yang berbeda dari Nayaka. Ia tidak terdengar kayak orang Indonesia, tapi malah seperti orang Malaysia. Di luar itu, Nayaka juga lebih "bernyanyi" di sini. Melodi yang memang selalu jadi poin penting dari karya hip-hop ala Nayaka benar-benar ditunjukkan dalam "Tenang".

"Too Long"

"Iya, lagu ini memang terasa banget sama Honestly, Nevermind. Gue memang suka banget sama album itu. Dengerinnya nggak harus pakai effort. Dan FYI, gue bikin versi AI buat lagu ini dengan masukin Drake hahaha."

Mengingatkan dengan album Honestly, Nevermind dari Drake. Pastinya masih ada bahasa Indonesia di sini yang sepertinya memang menjadi trademark terbaru dari Nayaka di Culture Shock. Overall, lagu ini sangat cocok untuk vibing dengan lirik tentang relationship yang sudah seharusnya ada di titik "selesai".

"Drunk Calling"

"Ini lagu tentang my ex yang sempat ngehubungin gue dalam keadaan drunk. Tapi ya gue nggak peduli. Dari musiknya sendiri ada saxophone yang dimainin Greybox di sini. Dia BM pingin pakai saxophone, jadi ya gue setuju-setuju saja. Gitarnya juga diisi anak Blue Room Boys, Indy. Semuanya di sini hasil kolaborasi yang memang komplit sih selama workshop di Bali."

Seperti mendengar Drake era Views saat memutar "Drunk Calling". Ada twist saxophone di bagian outro yang elevate lagu ini menjadi lebih rich-bukan cuma soal sound tapi juga vibe keseluruhan. Tone gitar yang dimasukin di sini bikin "Drunk Calling" jadi lagu komplit tanpa kekurangan ingredients apapun.

"Manusia"

"Judulnya ini memang gue ambil dari lirik bagian awalnya, sih. Kebetulan bahasa Indonesia juga. Terus di belakangnya gue pake suara salah satu feature yang sudah di-chop beberapa kali buat harmonisasi saja. Dan kenapa akhirnya ada nama rapper ini sebagai feature, waktu itu lagu ini sudah jadi, tapi ada bagian kosong di belakang. Akhirnya dia nyobain take dua sampai tiga kali, dan ternyata memang pas."

"Manusia" menghadirkan dua feature dari dua negara, yaitu Malaysia oleh Nisya dan Indonesia oleh Basboi. Pastinya, Nayaka balik lagi dengan lirik bahasa Indonesia yang dilengkapi suara dari satu solois dan satu rapper yang hadir di sini. Pembagian part yang tepat dengan harmonisasi suara di bagian outro menjadi titik paling seru.

"Company"

"Jadi Indy yang mainin gitarnya dulu. Karena melodinya keren, akhirnya beneran di-take dan kami loop terus. Tinggal gue yang masukin suara saja. 'Company' ini the fastest song yang kami bikin di Culture Shock. Dan kenapa ada di urutan nomor 8? Karena lagu sisanya jauh lebih kompleks."

Melodi yang dimainkan di "Company" paling menarik perhatian. Itulah kenapa pertanyaan, "Dari mana awal lagu ini dibuat?" langsung keluar buat ditanyakan ke Nayaka. Terasa sangat simple dibandingkan lagu-lagu sebelumnya. Dan ternyata Nayaka memang sengaja menaruh lagu ini di nomor delapan, karena lagu selanjutnya hingga selesai akan menjadi roller coaster yang siap membawa kita ke petualangan terbaru.

"Stronger"

"Jadi 'Company', 'Stronger', dan 'Breather' sebenarnya trilogi dari segi cerita. Semuanya tentang romantic relationship. Dari yang awalnya temenan, terus gue punya mindset 'I can fix her...', terus akhirnya lepas dari semua yang sudah pernah gue jalanin sama dia. Makanya dari segi rilis pake bahasa Inggris semua biar jadi trilogi."

Sempat mengira kalau "Stronger" jadi representasi dari salah satu lagu paling fenomenal milik Kanye West dengan judul yang sama, tapi ternyata dugaan itu salah. Tapi tidak bisa disangkal lagi kalau Nayaka mencoba style berbeda yang menjadikan "Stronger" kembali mengingatkan kepada momen saat Kanye West menyanyikan "Runaway" dalam konsernya bareng Drake pada tahun 2021. Mendalam sekaligus menakjubkan ekspektasi sesaat detik pertama lagu ini diputar.

"Breath"

"Lagu ini memang terasa lebih pop 80s yang lewat snare drum-nya yang basah juga kan kayak Genesis. Makanya dari trilogi yang gue buat, ini memang jadi lagu yang paling berwarna juga."

Lagu ini paling berwarna di antara trilogi ini yang sengaja dikreasikan Nayaka. Terasa seperti The Weeknd dengan twist tersendiri sehingga memberikan cara membuat musik seperti ini dengan DNA Nayaka. Drumnya sangat menonjol untuk membawa kita flashback ke era '80-an yang mungkin masih belum banyak disadari oleh generasi masa kini kalau banyak unsur-unsur musik dari era tersebut yang sangat menarik buat dikulik.

"No Complaints"

"Gue memang sengaja bikin 'No Complaints' jadi different set dengan vibe berbeda dengan tiga lagu sebelumnya. Dan gue punya rekaman lagu ini waktu verse terakhir dibawain sama Fariz Jabba. Lewat lagu ini, kami bicara soal kondisi masing-masing dari kami dengan masalah yang ada pada saat itu. Soalnya semuanya berhubungan hehehe."

Seperti masuk ke dimensi baru setelah trilogi sebelumnya. Ada feature dari Ben Utomo yang selalu pakai bahasa Inggris selama ini, tapi Culture Shock membuatnya memilih bahasa Indonesia. Feature dari Fariz Jabba paling mengambil spotlight di bagian titik akhir "No Complaints" yang sangat gila karena ada dukungan dirty beat switch untuk support the whole vibe yang dibawa dalam flow-nya. Pada dasarnya, beat switch akan terdengar keren ketika rapper yang mengisi bagian itu juga sama kerennya. "No Complaints" menjadi salah satu bukti valid dari pernyataan tersebut.

"PAY'D"

"Lagu ini dibikin di Discord waktu pandemi karena kami ada di berbeda tempat. Ada yang dari Melbourne, Singapore, Malaysia, dan gue di Jakarta. Ini jadi fun music dari kami yang memang semuanya sudah punya sejarah panjang bareng gue di dunia musik."

Ada sound ala Opium alias label milik Playboi Carti di sini. Sound yang lebih dirty tapi tetap memiliki harmonisasi dari nama-nama yang mengisi lagu ini-khususnya nama terakhir yang tampil sebagai penutup. Nayaka tahu bagaimana cara menutup lagu dengan tepat untuk mencegah kita mencoba skip ke lagu selanjutnya. Semuanya kembali terbukti di sini.

"POP"

"Gue memang sengaja memilih sound dancey biar ngasih perspektif berbeda saja dari apa yang orang bayangin ketika bahas lagu outro."

Sebagai outro, tidak pernah terbayang sebelumnya kalau "POP" malah punya beat yang dancey. Nayaka juga memberikan konsistensi satu quote yang ia buat sendiri untuk disambungkan ke lagu pertama lagi-sama persis kayak treatment-nya di Cadence Blue. Tapi seperti pengalaman sebelumnya, sepertinya musisi memang sering menjadikan lagu paling out of the box untuk dijadikan outro. Culture Shock jadi sampel terbaru yang tepat dari analisa yang sudah bertahan selama ini.

(tim/alm)

Author

Timotius P

NEW RELEASE
CXO SPECIALS