Interest | Art & Culture

Pameran Daya Gaya Decenta: Secuplik Sejarah Seni dan Desain Indonesia

Rabu, 17 May 2023 18:00 WIB
Pameran Daya Gaya Decenta: Secuplik Sejarah Seni dan Desain Indonesia
Sunaryo dan T. Sutanto, dua dari lima pendiri Decenta/Foto: Salihara Arts Center: Witjak Widhi Cahya
Jakarta -

Perkembangan budaya kreatif suatu tempat tidak berjalan dalam sebuah vakum—terdapat banyak faktor seperti dinamika ekonomi-politik, keadaan sosiokultural, serta konteks lokal mengenai apa yang dibutuhkan tempat tersebut, yang memengaruhi bagaimana budaya terbentuk. Adalah Decenta—singkatan dari "Design Center Association"—kumpulan seniman berbasis Bandung yang terdiri dari A.D. Pirous, Gregorius Sidharta, Adrian Palar, T. Sutanto, Sunaryo, dan Priyanto Sunarto yang sedikit banyak berperan pada perkembangan interseksi seni dan desain pada masa pivotal bagi Indonesia. Didirikan pada 1973, Decenta uniknya beroperasi bukan sebagai kolektif seniman semata, melainkan sebagai perusahaan formal.

Pameran Daya Gaya Decenta yang diselenggarakan di Salihara Arts Center menelusuri bagaimana sejarah terbentuknya Decenta dan pergerakannya sebagai perusahaan di masa saat peranan perupa dibutuhkan dalam perkembangan Indonesia yang masih muda. "Daya" dalam judul mengacu kepada bagaimana Decenta mengelola perkembangan kolektif mereka, sedangkan "Gaya" terkait dengan pendekatan artistik yang dibangun oleh masing-masing dari mereka serta secara berkelompok.

Eksplorasi artistik Decenta tidak lepas dari konteks masa Orde Baru, di mana bangsa Indonesia yang terhitung masih sangat muda masih bergulat dalam menemukan identitas budaya artistiknya. Decenta sendiri terbentuk pasca keenam anggotanya bekerja sama dalam perancangan elemen estetik proyek gedung Convention Hall (kini Jakarta Convention Center). Masing-masing dari mereka merancang lima pintu utama gedung tersebut yang merepresentasikan lima identitas budaya Indonesia, dari barat hingga timur. Kaitan antara eksplorasi artistik dan operasi Decenta sebagai perusahaan merupakan dua elemen berkaitan yang saling mendukung satu sama lain.

Decenta juga memiliki galeri di Bandung, di mana mereka rutin menyelenggarakan pameran, diskusi, dan workshop seni rupa. Upaya ini merupakan bentuk pembangunan jejaring yang krusial bagi ekosistem kreatif—salah satu yang pertama dilakukan di Indonesia.

Sejumlah karya dalam pameran Daya Gaya DecentaSejumlah karya dalam pameran Daya Gaya Decenta/ Foto: Salihara Arts Center: Witjak Widhi Cahya

Pameran yang dikuratori oleh Chabib Duta Hapsoro dan Asikin Hasan ini menampilkan berbagai karya seniman yang tergabung dalam Decenta serta arsip-arsip yang memperlihatkan konteks kebudayaan masa tersebut. Mayoritas dari karya yang ditampilkan memiliki medium cetak saring, metode yang dipelopori oleh Decenta. Karya-karya tersebut berbentuk sampul buku hingga beragam poster—baik yang merupakan eksplorasi seni hingga poster berbagai gelaran.

Salah satu karya lain yang ditampilkan berbentuk teks bergerak pada layar, dengan tulisan yang diambil dari manifestoDecenta pada katalog Pameran Gambar Cetak Saring 1975. Jika manifesto lebih umumnya berisikan pernyataan yang tegas, di siniDecenta malah melayangkan sejumlah pertanyaan mengenai identitas budaya dalam seni. Selain mempertanyakan tentanglanggengnyaeurosentrisme dalam ranah seni rupa internasional,Decenta bahkan mempertanyakan tentang signifikansi seni rupa bagi bangsa yang masih muda. "Atau barangkali Seni Indonesia itu tidak perlu ada? Karena umur Indonesia itu masih terlalu muda? Umur Indonesia baru 30 tahun..." tutup manifesto tersebut.

Arsip sejumlah aktivitas galeri Decenta dari tahun ke tahunArsip sejumlah aktivitas galeri Decenta dari tahun ke tahun/ Foto: Salihara Arts Center: Witjak Widhi Cahya

Ragam karya yang dihadirkan Decenta memperlihatkan eksplorasi masing-masing individu di dalamnya, namun juga bagaimana mereka memberikan influence terhadap kekaryaan satu sama lain. Di tengah universalisme seni dan desain dari barat, Decenta justru mengeksplorasi ragam budaya visual Indonesia dari berbagai penjuru. Namun, hal ini tidak berarti bahwa Decenta hanya berkutat pada tradisi peninggalan masa lalu semata. Dalam tulisan Dan Suwaryono yang ditampilkan pada pameran ini, ia menyatakan bahwa inspirasi masa lalu bukanlah jalan satu-satunya bagi seniman Indonesia untuk menggapai identitas. Pada akhirnya, Priyanto Sunarto juga menyatakan bahwa proses "penemuan" Indonesia ini adalah upaya yang mungkin tidak akan menemui akhir, karena "Indonesia terlalu banyak untuk dijadikan satu."

Praktik artistik dan komersial Decenta memperlihatkan cara kerja yang sistematis sekaligus fluid. Terdapat elemen pendefinisian profesionalisasi perihal seni rupa dan desain di masa saat hal-hal tersebut masih jauh dari kata matang—namun juga ada keterbukaan terhadap kemungkinan-kemungkinan baru dan kemauan untuk terus "bertanya" tanpa jawaban sebagai tujuan akhir. Daya Gaya Decenta memberikan pengunjungnya kesempatan untuk melihat cuplikan sejarah seni dan desain Indonesia yang terus berpengaruh hingga sekarang walau belum banyak terekspos.

Pameran Daya Gaya Decenta berlangsung mulai 14 Mei hingga 25 Juni 2023 di Salihara Arts Center. Kunjungi laman mereka untuk membeli tiket dan informasi lebih lanjut mengenai pameran.

(alm/tim)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS