Interest | Art & Culture

Kontroversi Serial Jeffrey Dahmer: Ketika Trauma Dieksploitasi

Rabu, 28 Sep 2022 13:00 WIB
Kontroversi Serial Jeffrey Dahmer: Ketika Trauma Dieksploitasi
Foto: Netflix
Jakarta -

Netflix baru saja mengeluarkan serial true crime terbaru yang berjudul Monster: The Jeffrey Dahmer Story. Dalam waktu singkat, serial ini langsung masuk ke dalam daftar 10 teratas tayangan Netflix yang paling populer ditonton. Nama-nama besar seperti Ryan Murphy selaku creator dan Evan Peters selaku pemeran Jeffrey Dahmer juga turut menambah popularitas serial ini. Sayangnya, serial ini juga menerima banyak kritik karena dianggap meromantisasi pembunuh berantai dan menambah trauma keluarga dari para korban Jeffrey Dahmer.

Monster: The Jeffrey Dahmer Story sendiri berangkat dari kisah nyata mengenai pembunuh berantai bernama Jeffrey Dahmer yang dikenal sebagai Milwaukee Cannibal atau Milwaukee Monster. Dalam kurun 13 tahun (1978-1991), Dahmer membunuh 17 orang laki-laki baik dewasa maupun remaja yang sebagian besar merupakan people of color. Tak hanya membunuh, ia juga melakukan mutilasi, nekrofilia, dan kanibalisme terhadap korban-korbannya.

Serial ini mengemas kasus Jeffrey Dahmer secara cukup mendetail ke dalam 10 episode    mulai dari masa kecil Dahmer, modus operandi dan metode yang digunakan Dahmer untuk membunuh korbannya, hingga momen ketika Dahmer ditangkap dan akhirnya disidang. Selain itu, serial ini juga menunjukkan kelalaian aparat hukum dalam mencegah kejahatan yang dilakukan Dahmer.

Di episode kedua, misalnya, serial ini mengilustrasikan salah seorang korban berumur 14 tahun bernama Konerak Sinthasomphone yang hampir lolos dari Dahmer. Namun polisi justru lebih mempercayai keterangan Dahmer yang mengatakan bahwa Konerak adalah kekasihnya. Berkali-kali juga tetangga Dahmer-seorang perempuan kulit hitam    meminta polisi untuk mengecek Dahmer karena ia merasa ada sesuatu yang mencurigakan. Namun lagi-lagi polisi tak menaruh perhatian dan Dahmer akhirnya bebas melancarkan aksinya.

.Cuplikan Serial Netflix Jeffrey Dahmer/ Foto: Netflix

Yang Bermasalah dari Serial Dahmer

Kritik muncul setelah Eric Perry, sepupu dari Errol Lindsey yang menjadi korban Dahmer, mengungkapkan kemarahan keluarganya terhadap serial Netflix ini. "Saya tidak ingin mendikte orang lain dalam memilih tontonan, sebab saya tahu media true crime sedang populer. Tapi kalau kamu ingin tahu kondisi para korban, keluarga saya kesal dengan serial ini. (Serial ini) membangkitkan kembali trauma kami, dan untuk apa? Berapa banyak film/serial/dokumenter yang kita butuhkan?" ujarnya di Twitter. 

Rita Isbell, saudari dari Errol Lindsey, juga mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap serial ini. Dalam persidangan tahun 1992, Rita memberikan pernyataan yang mewakili korban. Pernyataannya yang emosional tersebut ikut direka ulang dalam serial ini. Namun Rita mengatakan bahwa adegan ini "retraumatizing". Ia merasa sangat terganggu, karena adegan dalam serial tersebut mengingatkannya akan apa yang ia rasakan pada saat itu. Apalagi, Netflix tidak pernah menghubungi dirinya ataupun keluarganya mengenai pembuatan serial ini. Ia merasa bahwa Netflix hanya ingin meraup keuntungan dari tragedi yang dialami oleh keluarganya.

Tak dapat dimungkiri, true crime adalah salah satu genre yang digemari karena sangat seru untuk ditonton. Apalagi, film dan serial yang berangkat dari kisah nyata selalu mampu menarik perhatian audiens. Masalahnya, true crime kerap dikritik karena tak sensitif terhadap korban dan keluarga korban. Berbeda dengan dokumenter, true crime memberikan ilustrasi secara teatrikal mengenai apa yang terjadi. Bagi keluarga korban, tayangan seperti ini hanya akan menggandakan trauma mereka. Apalagi, ketika mereka sendiri tidak dilibatkan dalam pembuatannya.

Masalah lainnya adalah serial ini dianggap meromantisasi Jeffrey Dahmer. Monster: The Jeffrey Dahmer Story tak hanya memberikan ilustrasi mengenai kejahatan yang dilakukan Dahmer, tapi juga memberi konteks mengenai Dahmer sebagai individu yang akhirnya menjadi pelaku kejahatan. Hal ini lazim ada di serial bergenre true crime. Sebab serial true crime biasanya juga mencoba membedah apa yang akhirnya membuat pelaku menjadi seorang penjahat keji    misalnya dengan menceritakan masa kecil pelaku, lingkungan di mana pelaku tumbuh besar, dan juga ideologi atau cara berpikir pelaku.

[Gambas:Youtube]

Di satu sisi, pendekatan di atas bisa membingkai fenomena pembunuh berantai sebagai permasalahan yang kompleks. Mereka bukan sekedar orang jahat yang tak memiliki kompas moral, melainkan individu yang-melalui serangkaian peristiwa dalam hidupnya   akhirnya memutuskan untuk melakukan kejahatan. Namun di sisi lain, pendekatan ini juga bisa menghumanisasi sosok pelaku sehingga penonton justru bersimpati kepadanya.

Pada akhirnya, sah-sah saja apabila ingin membuat serial true crime yang diangkat dari kisah nyata. Tetapi, produk media ini harus dibuat dengan sensitivitas yang tinggi terhadap para korban. Setidak-tidaknya, pembuat serial harus menunjukkan itikad baik dengan meminta persetujuan dari keluarga korban. Sebab kalau tidak, yang terjadi adalah pembuat serial atau film mengeksploitasi trauma orang lain menjadi hiburan belaka. Bagi audiens, true crime mungkin adalah tontonan yang seru. Tapi di luar sana, para korban justru harus merasa trauma untuk yang kedua kalinya ketika apa yang mereka alami menjadi produk hiburan yang dikonsumsi publik.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS