Interest | Art & Culture

Apropriasi Budaya Masih Terjadi, Apa yang Harus Kita Pahami?

Rabu, 02 Mar 2022 18:00 WIB
Apropriasi Budaya Masih Terjadi, Apa yang Harus Kita Pahami?
Foto: Unsplash Clay Banks
Jakarta -

Kasus apropriasi budaya masih terjadi. Beberapa waktu lalu, selebgram Nia Ingrid dikritik oleh netizen setelah ia mengunggah swafotonya mengenakan pakaian adat Papua dalam rangka mempromosikan ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua. Dalam foto tersebut, Nia berpose lengkap menggunakan wig rambut keriting serta memegang busur dan panah sebagai atribut. Nia pun mendapat kritikan lantaran merepresentasikan budaya Papua dengan keliru. Salah satunya karena dalam adat Papua, perempuan tidak diperbolehkan untuk memegang busur dan panah. Di sisi lain, Nia dikatakan sedang melakukan cultural appropriation atau apropriasi budaya.

Ini bukan pertama kalinya ada tokoh masyarakat yang dituding melakukan apropriasi budaya. Pada ajang American Music Awards tahun 2013, misalnya, Katy Perry menerima kritik serupa. Ia menyuguhkan penampilan yang terinspirasi dari budaya Geisha, lengkap dengan pakaian kimono, riasan bedak putih, dan ornamen-ornamen Jepang. Penampilan Katy Perry ini dikritik karena dianggap menggambarkan budaya Jepang secara karikatural, kental dengan stereotip, dan menyuburkan fetish orang kulit putih terhadap perempuan Asia.

Meski telah banyak dibicarakan, nyatanya perdebatan mengenai apropriasi budaya masih belum terselesaikan. Lantas, tindakan seperti apa yang bisa dikategorikan sebagai apropriasi budaya dan apa konsekuensinya?

Di antara apropriasi dan apresiasi
Meminjam definisi dari Cambridge Dictionary, apropriasi budaya diartikan sebagai perbuatan mengambil atau menggunakan budaya orang lain tanpa memahami atau menghormati budaya tersebut. Namun, apropriasi budaya seringkali disalahartikan sebagai apresiasi budaya. Bagaimana menarik batas antara mana yang mengapresiasi dan mana yang mengapropriasi? Untuk menjawab ini, kita perlu tahu dulu konteks munculnya wacana apropriasi budaya.

Diskusi mengenai apropriasi budaya muncul di tahun 1970an ketika Edward Said menerbitkan bukunya yang berjudul "Orientalism". Orientalism sendiri menjelajahi bagaimana budaya Timur digambarkan atau direpresentasikan dalam produk-produk budaya masyarakat Barat. Misalnya, dalam film-film Indiana Jones yang mengambil latar negara-negara berkembang seperti Mesir, Peru, dan India. Dalam setiap lokasi ini, pasti ada warga lokal yang digambarkan sebagai masyarakat primitif. Dalam penggambaran tersebut seringkali ada ketimpangan; budaya Timur dipandang terbelakang, aneh (atau eksotis), dan irasional. Dengan kata lain, pandangan orientalisme adalah rasisme terselubung yang hadir dalam imajinasi orang Barat terhadap budaya Timur.

Apropriasi budaya berhubungan erat dengan kritik Edward Said, sebab ia seringkali melanggengkan stereotip terhadap identitas atau budaya kelompok tertentu. Menurut sejarawan George Lipsitz, apresiasi bisa berubah menjadi apropriasi ketika elemen dari budaya kelompok marjinal diambil dengan tujuan dieksploitasi demi keuntungan sosial atau ekonomi, tanpa adanya pemahaman atau rasa hormat terhadap makna dari budayanya itu sendiri. Ada dua kata kunci di sini, yaitu marjinal dan eksploitasi. Artinya, apropriasi terjadi dalam konteks di mana elemen budaya yang diambil atau digunakan berasal dari kelompok yang tertindas atau budaya kelompok minoritas. Kedua, penggunaan elemen budaya tersebut memiliki tujuan yang sifatnya untuk keuntungan pihak yang menggunakannya sehingga terjadi eksploitasi budaya.

Dalam kasus Nia Ingrid, misalnya, apa yang ia lakukan tergolong sebagai apropriasi karena pertama, dengan memegang busur Nia Ingrid menggambarkan budaya Papua secara keliru. Hal ini menandakan ketidaktahuannya mengenai budaya Papua yang tidak dilengkapi dengan riset terlebih dahulu. Kedua, Papua memiliki sejarah yang kompleks. Dengan tingginya kasus pelanggaran HAM di Papua, serta adanya eksploitasi sumber daya alam di Papua oleh korporasi, masyarakat Papua hidup dalam bayang-bayang penindasan. Pun sampai saat ini, rasisme terhadap masyarakat Papua masih banyak dijumpai. Ketiga, swafoto tersebut bertujuan untuk mempromosikan PON Papua, yang mana Nia Ingrid sebagai influencer dikontrak dan mendapatkan keuntungan ekonomi dari promosi tersebut. Pertanyaan banyak orang, mengapa tidak mengajak orang asli Papua saja untuk mempromosikan acara tersebut?

Menurut Joshua E. Kane, akademisi dari Arizona State University, budaya adalah hal yang kompleks dan tidak bisa disederhanakan. Oleh sebab itu, terkadang sulit untuk menarik batas antara apresiasi dan apropriasi. Ada juga beberapa akademisi yang beranggapan bahwa istilah "apropriasi" kurang tepat dan terkadang yang terjadi adalah asimilasi budaya. Dilansir dari The Finery Report, Goenawan Mohamad mengatakan bahwa tidak ada budaya yang bersifat "murni", serta tindakan meminjam dan "mencuri" budaya lain telah ada sejak lama.

Meski demikian, ketika peminjaman budaya tersebut dilakukan secara sembarangan tanpa sensitivitas terhadap konteks dan makna dari budaya yang dipinjam, akan mengakibatkan konsekuensi yang melukai kelompok tertentu. Sebab kalau tidak berhati-hati, bentuk apresiasi kita malah justru bisa melanggengkan stereotip yang bersifat rasis serta penindasan yang dialami oleh kelompok marjinal.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS