Interest | Art & Culture

Mitos Medusa dan Imajinasi Monster Perempuan

Rabu, 02 Mar 2022 12:00 WIB
Mitos Medusa dan Imajinasi Monster Perempuan
Ilustrasi medusa Foto: Deepigoyal/Unsplash
Jakarta -

Bukan tanpa maksud dan tujuan, film Penyalin Cahaya menggunakan mitologi Medusa sebagai inspirasi untuk penampilan teater Matahari. Monolog yang disampaikan secara teatrikal oleh karakter Rama di penghujung film begitu membekas, mengejek kekalahan Suryani dan membanggakan "kemenangannya". Terlepas dari pro kontra terhadap film ini, penggunaan mitologi Medusa adalah pengingat bagi kita akan beban ganda yang dihadapi penyintas kekerasan seksual   sudah gagal mendapatkan keadilan, mereka juga masih diperlakukan bak pembohong dan penjahat.

Dalam mitologi Yunani, Medusa adalah salah satu dari tiga Gorgon. Ia memiliki dua saudara perempuan yaitu Stheno dan Euryale. Di antara ketiganya, Medusa adalah satu-satunya Gorgon mortal yang bisa mati. Para Gorgon digambarkan sebagai sosok monster berambut ular yang bisa membuat siapapun berubah menjadi batu apabila melihat matanya.

Dalam cerita-cerita populer, Medusa dikisahkan sebagai manusia yang dikutuk oleh Athena karena menjalin hubungan seksual dengan Poseidon di kuilnya. Setelah dikutuk menjadi Gorgon, Medusa kerap digambarkan sebagai penebar teror   ia menggoda laki-laki dengan kecantikannya lalu mengubah mereka menjadi batu. Medusa akhirnya mati di tangan Perseus, setelah Perseus memenggal kepalanya ketika ia sedang tertidur. Kepala Medusa pun kemudian beberapa kali digunakan Perseus sebagai senjata untuk menghadapi musuhnya.

Perseus dikenal sebagai pahlawan, dan Medusa dikenal sebagai monster yang berhasil ditumbangkan. Inilah cerita populer yang diketahui banyak orang. Tapi, ada versi lain dari cerita ini yang kalah populer. Versi di mana Medusa adalah korban pemerkosaan dari Poseidon, dan karenanya ia dihukum untuk selamanya menjadi monster.

.Ilustrasi monster perempuan/ Foto: Freepik

Medusa, Perempuan yang Dihukum karena Menjadi Korban

Melalui berbagai produk budaya populer, Medusa kerap diperkenalkan sebagai villain. Ia digambarkan sebagai karakter yang mematikan, penuh tipu daya, dan manipulatif. Karakteristik ini direpresentasikan melalui ular-ular yang bersemayam di kepala Medusa. Ular, dalam berbagai literatur agama dan cerita rakyat, seringkali mewakili entitas jahat yang menggoda manusia untuk berbuat dosa.

Tapi, Medusa juga digambarkan memiliki kecantikan yang bisa membuat siapapun jatuh hati kepadanya. Kecantikan Medusa adalah senjata yang ia gunakan untuk meneror laki-laki, semua yang tergoda untuk melihat wajahnya akan menjadi batu. Penggambaran ini bisa ditemukan dalam berbagai film Hollywood, seperti Clash of the Titans (2010) dan Percy Jackson and The Lightning Thief (2010).

Tapi, Medusa tidak melulu digambarkan sebagai perempuan. Menurut Metropolitan Museum of Art, penggambaran Medusa dalam berbagai karya seni kuno telah mengalami evolusi. Pada arsitektur dan karya seni periode Archaic (700-480 B.C), Medusa tidak digambarkan secara spesifik sebagai perempuan. Giginya tajam, lidahnya menjuntai, matanya terbelalak, dan bentuk wajahnya menyeramkan-ia adalah monster dengan gender yang ambigu.

Sementara itu, penggambaran Medusa yang lebih feminin dan spesifik merujuk ke perempuan baru muncul di periode Classical dan Hellenistic (323-31 B.C.). Karakteristik monster dari Medusa tetap ada, namun wajahnya digambarkan sebagai perempuan yang cantik. Meski wujud Medusa mengalami perubahan, tapi ada satu aspek yang tidak berubah   yaitu posisinya sebagai subjek "liyan" yang asing, eksotis, dan berbahaya.

Pergeseran wujud Medusa ini sebenarnya menunjukkan bahwa tokoh Medusa dalam mitologi Yunani sendiri diselubungi mitos, yang akhirnya memunculkan berbagai interpretasi. Namun, posisi Medusa sebagai monster yang ditakuti oleh tokoh-tokoh dalam mitologi Yunani membuat masa lalu Medusa sebelum ia menjadi Gorgon tenggelam dalam kisah-kisah yang lain.

Dalam Metamorphoses, penyair Romawi Ovid menulis bahwa Medusa dulunya adalah seorang perempuan yang menjadi pendeta di kuil Athena. Athena sendiri merupakan dewi perang dan kebijaksanaan, anak dari dewa petir Zeus. Banyak laki-laki yang mengejar Medusa karena kecantikannya. Namun, suatu hari Medusa diperkosa oleh Poseidon, dewa laut sekaligus saudara laki-laki dari Zeus, di kuil Athena. Ovid menulis:

"But, so they say, the lord of the sea robbed her of her virginity in the temple of Minerva (Athena). Jove's (Zeus) daughter turned her back, hiding her modest face behind her aegis: and to punish the Gorgon for her deed, she changed her hair into revolting snakes."

Medusa dianggap telah mencemari kuil Athena, dan dikutuk untuk menjadi monster yang menakutkan. Cerita berikutnya kita sudah tahu, Medusa hidup dalam pengasingan hingga akhirnya ditumpaskan oleh Perseus, anak dari Zeus. Namun pertanyaannya, mengapa Athena tidak menghukum Poseidon? Mengapa Medusa, yang menjadi korban dari pelecehan Poseidon, justru yang menerima hukuman?

Tak bisa dipungkiri, ada interpretasi lain yang mengatakan bahwa yang terjadi antara Poseidon dan Medusa adalah hubungan konsensual. Namun dalam skenario ini, lagi-lagi kesalahan hanya dilimpahkan kepada satu pihak, yaitu Medusa yang pada saat itu adalah seorang manusia. Sementara itu, Poseidon yang memegang kekuasaan tinggi sebagai dewa, dibebaskan dari konsekuensi perbuatannya. Apa yang menimpa Medusa terdengar begitu familiar, bahkan sekarang di masa modern.

.Ilustrasi medusa/ Foto: Victoria Borodinova/Pexels

Monster itu Bernama Perempuan

Medusa hanyalah salah satu dari banyaknya sosok monster perempuan yang diciptakan oleh masyarakat. Di Indonesia, sosok seperti Medusa banyak ditemui dalam legenda lokal mengenai sosok hantu perempuan, misalnya Sundel Bolong. Apa persamaan antara Medusa dan Sundel Bolong? Keduanya adalah sosok menakutkan yang hadir dalam mitos sehari-hari masyarakat; Medusa dengan rambut ularnya dan Sundel Bolong dengan tubuhnya yang bersimbah darah. Seperti Medusa, Sundel Bolong juga seringkali diceritakan sebagai makhluk yang kerap meneror laki-laki. Aspek 'seram' ini mungkin mengecoh kita dari persamaan lainnya yang jauh lebih fundamental   keduanya adalah perempuan, dan keduanya mengalami kekerasan seksual.

Dalam mitos lokal, Sundel Bolong dikisahkan sebagai arwah penasaran dari perempuan yang mati karena diperkosa. Ia pun akhirnya melahirkan anak di dalam kuburnya. Kata "sundel" sendiri berasal dari kata "sundal" yang berarti jalang. Sehingga Sundel Bolong secara harafiah bisa diartikan menjadi "perempuan jalang yang memiliki luka (bolong) di punggungnya". Sundel Bolong suka menjelma menjadi perempuan cantik yang berjalan di jalan-jalan sepi, dan "mencari mangsa" dengan menggoda laki-laki. Sosok hantu perempuan ini menjadi semakin terkenal setelah muncul film Sundel Bolong tahun 1981 yang diperankan oleh Suzanna.

Sama seperti Medusa, dalam banyak produk budaya populer cerita mengenai Sundel Bolong kerap difokuskan pada apa yang terjadi setelah ia menjadi hantu  bagaimana wujudnya dan teror-teror apa saja yang dilakukannya kepada manusia yang masih hidup. Sedangkan, aspek identitas Sundel Bolong sebagai korban kekerasan seksual hanya menjadi pelengkap cerita yang disampaikan secara subtil.

.Ilustrasi hantu perempuan/ Foto: Aljoscha Laschgari/Pexels

Penelitian Agustiningsih dan Rostiyati (2019) mengatakan bahwa penggambaran Sundel Bolong dalam film horor Indonesia mengafirmasi posisi perempuan sebagai objek seksual. Penggunaan nama "sundel" pun menunjukkan hal ini, bahwa seakan-akan seksualitas perempuan lah yang membuat mereka mengalami nasib buruk. Padahal, mereka adalah korban dari kekerasan. Sundel Bolong yang belum mendapatkan keadilan akhirnya dibingkai sebagai femme fatale atau perempuan mematikan yang meneror laki-laki.

Jess Zimmerman dalam buku yang berjudul Women and Other Monsters: Building a New Mythology, menulis bahwa figur monster perempuan adalah bagian dari dongeng pengantar tidur yang diciptakan oleh masyarakat patriarkis untuk masyarakat patriarkis. Melalui kisah yang diceritakan terus-menerus ini, imajinasi terhadap perempuan terus-menerus direproduksi dan akhirnya menjadi suatu norma yang diterima.

Imajinasi bahwa perempuan adalah monster dan monster adalah perempuan. Di satu sisi perempuan diobjektifikasi untuk memuaskan hasrat seksual laki-laki. Di satu sisi, ketika perempuan menjadi korban kekerasan, ia lah yang dicap sebagai pelaku. Perempuan selalu menjadi pihak yang disalahkan, bahkan atas perbuatan laki-laki.

Medusa dan Sundel Bolong memperlihatkan bahwa monster perempuan sebenarnya adalah manifestasi dari ketakutan laki-laki akan dosanya sendiri. Keduanya digambarkan sebagai monster menyeramkan yang kerap meneror laki-laki. Padahal, Medusa hanya berusaha bertahan hidup di pengasingan dan Sundel Bolong hanya mencoba mencari keadilan untuk dirinya.

.Ilustrasi monster perempuan/ Foto: Lucas Pezeta/pexels

Saya membayangkan pasti sepi dan melelahkan sekali hidup yang harus mereka jalani. Tak ada yang berdiri di samping mereka ketika mereka dihukum atau dibuang, mereka pun cenderung dipandang sebagai musuh. Apa yang dialami oleh Medusa dan Sundel Bolong sangat mungkin dialami oleh korban-korban pelecehan seksual di dunia nyata. Meski hanya mitos, kehadiran mereka sekali lagi menjadi pengingat akan masalah yang masih menjadi momok di masyarakat kita.

Setiap kali perempuan menjadi korban kekerasan seksual, label "bodoh", "pembohong", "pelacur", "penggoda", dan bentuk-bentuk victim-blaming lainnya selalu mengikuti. Melimpahkan semua beban pertanggungjawaban kepada korban sama saja dengan memalingkan muka dari pelaku sesungguhnya yang seharusnya diadili. Semuanya kembali ke satu fakta sederhana: tidak ada korban pelecehan seksual yang bersalah atas kejadian yang menimpa dirinya. Selama hal ini masih belum bisa dipahami, selama itu juga kita akan terus melahirkan sosok Medusa lainnya. 

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS