Interest | Art & Culture

Representasi Kekerasan Seksual dalam Sinema

Senin, 07 Feb 2022 11:00 WIB
Representasi Kekerasan Seksual dalam Sinema
Foto: Unsplash Jeremy Yap
Jakarta -

Beberapa hari sebelum Penyalin Cahaya dirilis di Netflix, publik dikejutkan oleh fakta mengejutkan bahwa salah satu penulis naskah film ini merupakan seorang terduga pelaku kekerasan seksual. Ironis, mengingat Penyalin Cahaya--yang memborong 12 Piala Citra di Festival Film Indonesia--mengangkat isu mengenai kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi. Namun di luar kontroversi ini, Penyalin Cahaya dianggap berhasil sebagai sebuah film yang menggambarkan ketidakadilan sistematis yang dialami korban kekerasan seksual. Suryani, karakter utama yang mengalami pelecehan seksual, harus berusaha sendirian untuk mengungkap kejadian yang ia alami sekaligus menghadapi keluarga, teman-teman, dan pejabat kampus yang berkali-kali meng-invalidasi traumanya.

Meski begitu, Penyalin Cahaya juga mendapat kritikan. Salah satunya, datang dari penulis Theodore Sarah Abigail. Ia menulis bahwa meski Penyalin Cahaya adalah film yang indah, film ini telah mengeksploitasi kekerasan seksual menjadi sebuah hiburan. Sebab menurutnya, film ini tidak memberikan porsi yang banyak untuk mengeksplorasi trauma yang dialami korban. Porsi paling besar dalam film ini justru diberikan untuk perjalanan Suryani mengungkap kronologi peristiwa yang dialaminya serta siapa pelakunya. Dengan alur yang seru dan menegangkan, kasus kekerasan seksual dalam film ini menjelma menjadi kisah misteri yang harus dipecahkan. Penulis feminis Kalis Mardiasih juga berpendapat bahwa di satu sisi Penyalin Cahaya berhasil mendobrak mitos-mitos kekerasan seksual. Tapi di satu sisi, karakter Suryani tidak lolos dari jebakan "male-gaze". Sebab film ini luput untuk menggambarkan ketakutan dan kerentanan perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual.

Kekerasan seksual bukanlah isu yang asing dalam sinema. Sebelum Penyalin Cahaya, sudah ada banyak film baik lokal maupun mancanegara yang mengangkat kekerasan seksual. Di Hollywood, kekerasan seksual yang dieksploitasi menjadi hiburan banyak terjadi. Misalnya, dalam serial Game of Thrones, karakter Daenerys mengalami marital rape oleh suaminya, Khal Drogo. Namun, penonton tidak diajak untuk melihat Khal Drogo sebagai pelaku kejahatan serius, sosoknya cenderung diidolakan sampai akhir cerita. Pun pengalaman Daenerys yang menikah karena terpaksa dan pada akhirnya mengalami pemerkosaan, hanya digambarkan secara singkat. Beberapa episode setelahnya, Daenerys akhirnya jatuh cinta kepada Khal Drogo.

Contoh lainnya adalah film Red Sparrow yang dibintangi oleh Jennifer Lawrence. Dalam film ini, karakter Dominika yang diperankan oleh jennifer Lawrence mengalami pelecehan seksual. Lalu setelahnya, ia digambarkan mengalami transformasi menjadi agen mata-mata yang kuat dan badass. Mengapa dalam kedua produk sinema ini, perempuan digambarkan harus melalui pelecehan seksual dahulu hingga akhirnya menjadi sosok pahlawan dalam cerita? Dalam konteks ini, kekerasan seksual telah diromantisasi dan dieksploitasi demi menciptakan alur cerita yang menarik. Kekerasan seksual hanya menjadi latar, korban pun seakan-akan tidak memiliki trauma sehingga penonton akan kesulitan untuk memahami konsekuensi sesungguhnya dari pelecehan seksual.

Lantas bagaimana seharusnya kekerasan seksual direpresentasikan dalam sinema? Dalam wawancara dengan refinery29, profesor Carol Gilligan mengatakan bahwa kekerasan seksual yang hanya digunakan sebagai pelengkap jalan cerita dan untuk menambah faktor seru dari cerita adalah hal yang sangat problematis. Ia menekankan bahwa yang bermasalah bukan ada atau tidaknya adegan eksplisit yang menggambarkan kekerasan seksual, tapi bagaimana kekerasan seksual diperlakukan dalam film. Pasalnya, terkadang untuk bisa memberikan gambaran betapa mengerikannya pelecehan seksual dan dampaknya terhadap korban, peristiwa itu hanya bisa diceritakan secara jujur melalui adegan yang detail dan deskriptif. Dengan demikian, kekerasan seksual tidak akan diromantisasi. Akan tetapi, yang menjadi penting adalah bagaimana film tersebut bisa memberi ruang sebesar-besarnya untuk mengangkat pengalaman korban. Mulai dari bagaimana ia memproses traumanya, bagaimana ia berusaha pulih dari traumanya, hingga bagaimana ia mencari keadilan.

Salah satu film yang berhasil dalam menggambarkan kekerasan seksual adalah 27 Steps of May. 27 Steps of May mengangkat tentang luka dan trauma seorang korban pelecehan seksual bernama May. May mengalami pelecehan seksual ketika masih bersekolah di usia 14 tahun. Belasan tahun sesudahnya, May masih hidup dalam ketakutan dan trauma berkepanjangan yang mempengaruhi seluruh hidupnya dan keluarganya. Sepanjang durasi, penonton diajak untuk memahami--secara perlahan--betapa dalamnya luka yang dirasakan oleh May. Film ini membantu penonton memahami bahwa untuk pulih dari trauma pelecehan seksual, korban harus menjalani proses yang sangat panjang dan mungkin saja, ada perempuan di luar sana yang sampai kapan pun tidak bisa sembuh dari traumanya. Film ini berhasil menunjukkan kekerasan seksual sebagai kejahatan serius; ia tak hanya merenggut otoritas perempuan terhadap tubuhnya sendiri, tapi juga menghancurkan kehidupan dan menciptakan luka yang akan membekas selamanya.

Film adalah medium yang bisa menjadi cermin untuk mengungkap realita. Di satu sisi, ia bisa menggambarkan kompleksitas isu kekerasan seksual yang selama ini mungkin sulit untuk dipahami atau terlalu disederhanakan melalui berita-berita clickbait. Tapi di satu sisi, ia juga rentan dieksploitasi oleh industri yang mencari keuntungan melalui hiburan, salah satunya sinema. Maka dari itu, film-film yang mengangkat kekerasan seksual harus memiliki sensitivitas untuk memberikan ruang sebesar-besarnya bagi korban. Kekerasan seksual tidak seharusnya diromantisasi, apalagi direduksi menjadi pelengkap alur cerita atau hiburan semata.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/MEL)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS