Interest | Art & Culture

Merayakan Film Indonesia Melalui Karya Sutradara Perempuan

Rabu, 09 Mar 2022 08:00 WIB
Merayakan Film Indonesia Melalui Karya Sutradara Perempuan
Yuni/Foto: Fourcolour Films
Jakarta -

Dalam konteks perfilman, representasi tidak melulu soal siapa yang muncul di depan layar. Melainkan, soal siapa yang bekerja di balik layar. Terlepas dari meningkatnya kesadaran mengenai kesetaraan gender, industri perfilman Indonesia masih sangat didominasi oleh laki-laki. Salah satunya terlihat dari perbandingan jumlah sutradara perempuan yang tak sebanding dengan sutradara laki-laki. Meski demikian, Indonesia memiliki beberapa sutradara perempuan yang mampu menghasilkan karya-karya berkualitas yang patut diakui dan diapresiasi.

Sayangnya, kemampuan sutradara perempuan kerap kali dipandang sebelah mata. Padahal, kehadiran sutradara perempuan sangat penting untuk memperkaya perspektif dalam perfilman Indonesia. Untuk itu, kami mencoba merangkum karya sutradara perempuan selama dua dekade terakhir. Film-film ini tak hanya bagus dari segi teknis, tapi juga membawa gebrakan dengan mengangkat tema-tema yang jarang dibicarakan. Berikut adalah film-film Indonesia karya sutradara perempuan yang harus kamu tonton!

Berbagi Suami (Nia Dinata, 2006)
Di tengah kultur poligami yang menjamur di Indonesia, Nia Dinata bersuara dengan lantang melalui filmnya yang berjudul Berbagi Suami. Film ini mengupas fenomena poligami yang diceritakan melalui sudut pandang tiga perempuan. Dalam film ini, kita diajak untuk merasakan pengalaman Salma (Jajang C. Noer), Siti (Shanty), dan Ming (Dominique). Salma adalah seorang dokter dari keluarga mapan. Siti adalah perempuan muda yang merantau ke Jakarta bersama Pak Liknya. Sedangkan Ming adalah seorang remaja berusia 19 tahun yang bekerja sebagai pelayan di restoran bebek milik Koh Abun.

Meski latar belakang mereka berbeda, usia mereka berbeda, dan pengalaman mereka berbeda, tapi ketiga perempuan ini sama-sama harus menanggung akibat dari poligami. Salma harus mengalah ketika suaminya menikah kembali tanpa sepengetahuannya. Siti harus mengubur cita-citanya demi merawat anak-anak suaminya. Sementara Ming harus menghadapi kemarahan istri pertama Koh Abun dan dicap sebagai perusak rumah tangga. Film ini menunjukkan bahwa dalam kasus poligami, perempuan lebih sering mengalami duka dan kerugian.

.Berbagi Suami/ Foto: Kalyana Shira Films

Fiksi. (Mouly Surya, 2008)
Fiksi. merupakan film pertama dari sutradara Mouly Surya yang berkisah tentang seorang perempuan bernama Alisha yang dibintangi Ladya Cheryl. Alisha menderita penyakit mental setelah melalui masa kecil yang traumatis. Setelah hidup dalam kesendirian di rumah mewah milik ayahnya, Alisha memutuskan untuk menyewa unit di sebuah rumah susun.

Di situ, ia bertemu dengan Bari, yang diperankan oleh Donny Alamsyah, seorang penulis fiksi. Alisha dan Bari pun menjadi semakin dekat, namun kejadian-kejadian aneh satu per satu mulai bermunculan di rusun. Dari bermacam-macam genre, drama psikologi thriller mungkin adalah yang paling jarang ditemui dalam film-film Indonesia. Namun Fiksi adalah salah satu dari film thriller lokal yang menyediakan pengalaman menonton tak terlupakan. Sepanjang film, seperti Alisha, kita juga akan ikut mempertanyakan mana yang fiksi dan mana yang realita.

.Fiksi./ Foto: Cinesurya

Perempuan Punya Cerita (Lasja Fauzia Susatyo; Nia Dinata; Upi Avianto; Fatimah Tobing Rony, 2008)
Perempuan Punya Cerita adalah film omnibus dari empat sutradara perempuan; Lasja Fauzia Susatyo, Nia Dinata, Upi Avianto, dan Fatimah Tobing Rony. Masing-masing dari mereka menyutradarai satu fragmen cerita yaitu fragmen Cerita Pulau, Cerita Yogyakarta, Cerita Cibinong, dan Cerita Jakarta. Cerita Pulau mengisahkan relasi antara seorang bidan bernama Sumantri dengan seorang perempuan penyandang disabilitas mental bernama Wulan yang mengalami perkosaan. Cerita Yogyakarta mengisahkan Safina dan teman-temannya, sekelompok pelajar di Yogyakarta, yang terjebak dalam kasus pelecehan, kehamilan tidak direncanakan, dan aborsi.

Sementara itu, Cerita Cibinong mengangkat kisah Esi yang bekerja sebagai pembersih WC di sebuah klub malam untuk menghidupi anaknya, Maesaroh. Dalam cerita ini, Maesaroh menjadi korban pelecehan dan perdagangan perempuan. Terakhir, Cerita Jakarta mengisahkan tentang Laksmi yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya yang mengalami overdosis. Laksmi pun diketahui menderita HIV/AIDS, dan ia dituduh menyebarkan penyakit itu ke suaminya. Keluarga besar suaminya pun mencoba memisahkan Laksmi dari anaknya.

Perempuan Punya Cerita adalah serentetan kisah yang bisa membuatmu merasa pilu, marah, dan kecewa. Film ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat patriarkis, perempuan-apapun latar belakangnya, akan selalu berada di posisi yang lebih rentan.

.Perempuan Punya Cerita/ Foto: Kalyana Shira Films

Dua Garis Biru (Gina S. Noer, 2019)
Dua Garis Biru adalah film emosional yang wajib ditonton oleh remaja dan keluarga. Bima yang diperankan Angga Yunanda, dan Dara dibintangi, Adhisty Zara, adalah dua pelajar yang sedang menjalin hubungan. Sayangnya, Dara mengalami kehamilan tidak direncanakan. Bima dan Dara, secara tiba-tiba harus mempersiapkan diri menjadi orang tua di usia mereka yang masih muda. Dara pun siap tidak siap harus menghadapi perubahan yang terjadi pada tubuhnya.

Dua Garis Biru adalah film yang berani dan ditulis dengan sangat apik. Ia mengangkat tema yang masih menjadi tabu dalam masyarakat Indonesia, yaitu mengenai kehamilan yang tidak direncanakan. Alih-alih meromantisasi teen mom, Gina S. Noer justru mencoba menampilkan realita pahit tentang pendidikan seksual di Indonesia yang belum bisa secara terbuka membicarakan tentang seksualitas. Pendidikan seksual yang setengah-setengah memiliki konsekuensi langsung terhadap kesehatan reproduksi generasi muda. Dan lagi-lagi perempuanlah yang menanggung resiko paling berat.

.Dua Garis Biru/ Foto: imdb

Yuni (Kamila Andini, 2021)
Tahun kemarin, kita dibuat bangga oleh kemenangan film Yuni yang mendapat penghargaan Platform Prize di Toronto International Film Festival. Yuni, barangkali adalah film Indonesia terbaik di 2021, sekalipun ia hanya membawa pulang satu piala dari Festival Film Indonesia. Yuni, yang diperankan oleh Arawinda Kirana, adalah seorang pelajar berprestasi yang memiliki impian untuk bersekolah setinggi-tingginya. Tapi, ada satu hal yang menghalangi Yuni dari mimpinya: tuntutan orang-orang sekitarnya untuk menerima lamaran dan menikah.

Yuni dilamar dua kali, dan dua kali juga ia menolak. Namun, Yuni dihantui oleh mitos yang mengatakan apabila perempuan menolak lamaran untuk ketiga kalinya, ia tidak akan bisa menikah selamanya. Yuni adalah sebuah karya yang jujur, ia mampu menunjukkan realita yang harus dihadapi oleh banyak remaja perempuan di Indonesia. Mungkin Kamila Andini tak mendapat penghargaan sebagai sutradara terbaik, tapi Yuni adalah sebuah karya yang bersejarah bagi perfilman Indonesia.

.Yuni/ Foto: Fourcolour Films

Sebuah film tidak akan bisa dilepaskan dari peran sutradaranya. Sebab dunia yang dilihat oleh audiens dalam film adalah dunia dari perspektif seorang sutradara. Oleh karenanya, sutradara perempuan harus diberi ruang yang lebih luas untuk bisa berkarya dengan sebaik-baiknya, sebebas-bebasnya. Selain film-film di atas, masih ada banyak lagi karya-karya sutradara perempuan yang patut untuk diapresiasi oleh khalayak luas. Kalau kamu, adakah film yang menjadi favoritmu dan digarap oleh sutradara perempuan Indonesia?

(ANL/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS