Interest | Art & Culture

Henry Kazinski dan Emoji yang Menggantikan Kata-kata

Jumat, 04 Feb 2022 14:00 WIB
Henry Kazinski dan Emoji yang Menggantikan Kata-kata
Foto: Pexels Kindel Media
Jakarta -

Ribuan tahun setelah kata-kata digunakan sebagai cara komunikasi utama, seorang bernama Henry Kazinski mewacanakan pergantian peran kata-kata dengan emoji. Menurut Kazinski, kata-kata tidak lagi relevan digunakan sebagai suatu standar literasi karena sarat belenggu makna. Oleh karena itu, sang aktivis emoji ini mengusulkan perubahan gaya literasi, dari sepenuhnya menggunakan rangkaian kata menjadi simbol-simbol emoji.

Wacana yang disampaikan tokoh Henry Kazinski dalam video humor produksi thenewyorker.com tersebut, memang tidak sepenuhnya bisa disalahkan atau ditolak. Kita tentunya tahu, komunikasi bukan cuma soal rangkaian kata-kata. Unsur non-verbal dalam komunikasi seperti intonasi, mimik wajah, hingga gestur badan, merupakan pelengkap sekaligus unsur paling kuat dalam percakapan secara langsung. Di ranah virtual, emoji adalah wujud non-verbal tersebut.

Selain itu, karakter Henri Kazinski dalam video berjudul "Free Yourself From Literacy, with Emojis" juga mengusulkan sebuah keyboard yang berisi sejumlah emoji dan bukan bertipe qwerty. Karya audiovisual buatan Dan Rosen dan Sam Bronowski tersebut bahkan turut menampilkan aksi Kazinski saat menerjemahkan produk literasi seperti buku "War and Peace" karya Tolstoy. Melalui rumusan emojinya, Kazinski mengubah judul Buku "War and Peace" menjadi emoji "bomb and dove", yang mana bomb merepresentasikan perang sedangkan dove berarti kedamaian.

Menurut tokoh dalam video tersebut, hal ini akan memudahkan orang dalam menikmati suatu karya dalam waktu singkat, terlebih bagi masyarakat yang rendah literasi. Jika kita melihat realita yang ada di masyarakat, manusia di zaman ini ternyata memang lebih gemar menggunakan emoji daripada kata-kata. Buktinya, platform-platform media sosial seperti Instagram, Tiktok, atau WhatsApp, terang-terangan memfasilitasi pengguna untuk memanfaatkan emoji pada fitur-fitur mereka.

Sedikit menilik ke belakang, emoji pertama kali dikenali dunia berkat seorang berkebangsaan Jepang, Shigetaka Kurita, pada akhir tahun 90an lalu. Tujuan Kurita saat itu adalah merancang interface yang menarik untuk menyampaikan informasi dengan sederhana dan ringkas. Contohnya simbol "red heart" sebagai pengganti ungkapan cinta, atau "broken heart" untuk mewakili sakit hati atau kecewa. Dua emoji tersebut, merupakan contoh keberhasilan emoji menggantikan kata-kata, pasalnya dengan emoji tersebut orang yang kesulitan mengungkap cinta dan putus asa karena cinta, dapat mengatakannya tanpa memilah kata-kata--yang seringkali hiperbola.

Meski begitu, menggantikan kata-kata dengan emoji tidak selamanya bijak. Ya, memang benar jika berkata-kata tidak selamanya mudah dan rawan salah tafsir. Tetapi sebenarnya, emoji yang digadang bakal menjadi pengganti kata-kata, juga memiliki problema yang serupa. Contoh sederhananya adalah penggunaan simbol dua telapak tangan yang menempel di tengah. Banyak orang mengartikan emoji tersebut sebagai ungkapan berdoa; meminta maaf; bahkan mewakili kesopanan; padahal sebenarnya, emoji tersebut berarti high five atau tos. Aneh dan nyata. Emoji memang memudahkan di satu sisi, tetapi di sisi yang lain, suatu emoji memiliki interpretasi yang melar seperti halnya kata-kata.

Kembali ke video Henry Kazinski, wacana penggantian kata-kata dengan emoji di dalamnya, sebenarnya lebih dapat dicerna sebagai sebagai sindiran atau satire terhadap gaya komunikasi manusia. Kebiasaan dan keinginan orang-orang dalam melakukan sesuatu secara instan, adalah hal yang kurang bijak dilakukan, apalagi dalam komunikasi. Oleh karena itu, sejatinya solusi bagi gaya komunikasi manusia era ini, bukanlah mengganti kata-kata dengan emoji, melainkan meningkatkan kemampuan literasi secara menyeluruh.

[Gambas:Audio CXO]

(RIA/MEL)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS