Interest | Art & Culture

Ritual Kematian di Indonesia

Selasa, 25 Jan 2022 07:00 WIB
Ritual Kematian di Indonesia
Foto: RUDYASHO COMMONS WIKIMEDIA
Jakarta -

Pernahkah terpikirkan apa yang terjadi setelah kita mati? Penganut Buddha percaya bahwa hidup adalah penderitaan dan kita akan selalu terlahir kembali sebelum mencapai nirwana. Sedangkan masyarakat Mesir Kuno percaya bahwa kematian adalah transisi dan mereka yang mati harus dibekali untuk menghadapi perjalanan ke alam lain. Di berbagai belahan dunia, kebudayaan dan kepercayaan tak hanya mengatur kehidupan, tapi kematian serta hidup setelah kematian.

Di Indonesia, keberagaman konsep afterlife atau kehidupan setelah kematian tercerminkan melalui berbagai ritual kematian. Perbedaan ritual kematian ini tidak hanya terbagi berdasarkan lima agama besar, tapi juga berdasarkan etnis dan suku. Sayangnya, beragam ritual kematian ini kerap dibingkai sebagai eksotisme, hal mistis, atau sebagai daya tarik pariwisata semata. Padahal, ritual kematian merupakan upacara sakral yang memiliki makna bagi mereka yang menjalankannya. Mari kita lihat beberapa ritual kematian dari berbagai wilayah di Indonesia, dan apa makna di balik ritual tersebut.

Rambu' Solo (Tana Toraja, Sulawesi Selatan)

Di Tana Toraja, upacara kematian bukanlah hal sepele, melainkan bentuk penghormatan sekaligus upaya mengantarkan mereka yang sudah meninggal ke alam berikutnya. Upacara ini disebut sebagai Rambu' Solo. Biasanya, Rambu Solo diadakan dengan menyembelih kerbau atau babi dan acaranya bisa berlangsung selama tiga sampai tujuh hari.

Menurut Roni Ismail (2019), dalam artikel jurnal yang berjudul Ritual Kematian dalam Agama Asli Toraja "Aluk To Dolo", masyarakat Toraja percaya bahwa ritual ini merupakan proses pelepasan seseorang menuju dunia alam baka yang mereka sebut Puya. Dunia Puya sama seperti dunia yang mereka tempati semasa hidup, hanya dunia ini bersifat abadi. Oleh karenanya, mereka yang meninggal harus 'dibekali' harta dan pakaian. Pada dasarnya, masyarakat Toraja percaya bahwa bila hewan yang dikorbankan dalam ritual tersebut jumlahnya sedikit, sedikit juga bekal dibawa oleh sang jenazah ke alam Puya. Namun, masing-masing kelompok masyarakat memiliki ketentuan sendiri untuk jenis upacara yang harus diadakan.

Ritual ini merupakan prasyarat agar seseorang sepenuhnya dianggap sudah memasuki kematian. Bagi orang Toraja, orang-orang mati yang tidak diupacarakan dipercaya tidak dapat masuk gerbang dunia Puya. Maka dari itu, selama upacara belum dilaksanakan, orang yang sudah meninggal belum akan dianggap mati walau sudah menjadi jenazah.

Ngutang Mayit (Trunyan, Bali)

Trunyan merupakan salah satu desa adat tertua di Bali. Apabila umat Hindu-Bali melakukan upacara pemakaman dengan mengkremasi jenazah, maka berbeda dengan masyarakat di desa ini yang melakukan upacara Ngutang Mayit. Masyarakat Desa Adat Trunyan memiliki kepercayaan yang sedikit berbeda, yaitu Hindu-Trunyan. Berbeda dari Hindu-Bali yang menganut sistem kasta, masyarakat di Trunyan membagi upacara pemakaman berdasarkan kondisi jenazah ketika meninggal. Upacara Ngutang Mayit sendiri terdiri dari beberapa jenis tradisi pemakaman yang tersebar di tiga lokasi, yaitu Sema Nguda, Sema Wayah, dan Sema Bantas.

Sema Wayah dikhususkan bagi orang-orang yang termasuk pada kategori kubur angin atau mepasah. Kubur angin sendiri merupakan teknik pemakaman dengan meletakkan jenazah di atas tanah, tepatnya di dekat area pohon Taru Menyan berada. Jenazah yang dikuburkan di sini hanyalah jenazah yang jasadnya utuh, tidak cacat, dan meninggal secara wajar (bukan karena bunuh diri atau kecelakaan).

Lokasi yang kedua adalah Sema Nguda. Sema Nguda sendiri tidak jauh berbeda dengan Sema Wayah, yaitu untuk teknik pemakaman kubur angin. Bedanya, Sema Nguda dikhususkan untuk mereka yang berstatus belum menikah dan anak kecil yang sudah tanggal gigi susunya.

Sementara itu, lokasi yang ketiga adalah Sema Bantas. Tempat penguburan ini dikhususkan untuk upacara kubur tanah, yaitu dengan mengubur jenazah di dalam tanah. Sema Bantas dikhususkan bagi mereka yang meninggal secara tidak wajar, seperti bunuh diri, dibunuh, atau jenazahnya rusak. Menurut keyakinan Hindu-Trunyan, mereka yang dikuburkan di tanah juga harus dilakukan upacara tambahan berupa Ngaben. Tapi, berbeda dengan upacara Ngaben ala Hindu-Bali yang mengkremasi jenazah, upacara Ngaben di Trunyan dilakukan menggunakan air untuk upacara penyucian jenazah.

Brobosan (Jawa)

Sesuai dengan adat masyarakat Jawa yang berbakti kepada orang tua dan leluhur, tradisi Brobosan adalah upacara kematian yang mewakili adat tersebut. Brobosan sendiri berarti menerobos, yaitu dengan berjalan bergantian sebanyak tiga kali di bawah keranda atau peti jenazah yang sedang diangkat tinggi-tinggi. Ritual ini dilaksanakan sebelum jenazah diberangkatkan ke tempat peristirahatan, dengan tujuan keluarga yang ditinggalkan dapat merelakan kepergiannya.

Ritual ini berangkat dari pepatah Jawa "mikul dhuwur mendhem jero" yang berarti "mengubur dalam, mengangkat tinggi." Maksudnya, untuk senantiasa menjunjung tinggi dan mengingat jasa orang yang telah tiada. Selain itu, ritual ini juga bertujuan agar segala kebaikan dari yang telah meninggal bisa diwariskan ke anak cucu mereka. Oleh karenanya, Brobosan hanya dilakukan pada jenazah orang tua yang diluhurkan. Brobosan tidak dapat dilakukan pada jenazah anak-anak atau remaja.

Marapu (Sumba)

Meski masyarakat Sumba telah banyak yang mengkonversi agama menjadi Katolik, mereka masih mempraktekkan tradisi yang berasal dari kepercayaan Marapu, termasuk dalam melakukan ritual kematian. Menurut Herman Punda Panda (2020), dalam artikelnya yang dimuat di Jurnal Teologi dan Filsafat, penganut Marapu percaya bahwa kematian adalah peristiwa lepasnya jiwa dari tubuh yang merupakan awal dari perjalanan menuju wano Marapu atau kampung leluhur.

Dalam ritual kematian adat Marapu, prosesi pemakaman dilakukan dalam dua tahap. Pertama jenazah dibungkus dengan kain hingga berlapis-lapis untuk diawetkan dan kemudian diletakkan dalam posisi duduk di dalam rumah keluarga. Kemudian, keluarga harus menyiapkan kubur batu untuk mendiang. Kubur batu yang dibangun adalah kubur batu berukuran besar yang memerlukan banyak biaya dan tenaga untuk membangunnya. Kubur batu ini merupakan peninggalan Megalitikum yang masih berakar kuat di Sumba. Selain itu, ritual ini juga melibatkan penyembelihan hewan. Sebab penganut Marapu percaya arwah leluhur hadir di saat prosesi dan hewan-hewan ini dikorbankan untuk mereka.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS