Pengidap gangguan mental apa pun itu masih kerap mendapatkan stigma yang negatif dari masyarakat, bahkan dari para ahli yang menanganinya. Tak heran, jika para pengidap tidak pernah diobati dengan benar, hingga akhirnya penyakit mereka semakin parah sampai menyentuh percobaan bunuh dini.
World Health Organization (WHO) mencatat satu kasus bunuh diri terjadi setiap 40 detik di dunia, dan Indonesia adalah negara yang angka bunuh dirinya cukup tinggi terutama kelompok remaja dan usia produktif. Berdasarkan survei dari Kementerian Kesehatan, 6 persen karyawan mengalami gejala depresi terkait tekanan kerja. Untuk itu, dibutuhkan solusi untuk menangani para pengidap agar mereka bisa cepat tertangani dan tidak takut lagi untuk berobat.
Poliklinik Psikiatri yang Bebas Stigma dan Inklusif
Banyak pengidap yang merasa kesulitan untuk mencari tempat dan ahli yang tepat untuk menangani keluhan mereka terkait kesehatan mental. Ketidakcocokan dengan dokter atau fasilitas kesehatan menjadi alasan lainnya setelah biaya yang membuat mereka enggan untuk pergi berobat. Sebab, tidak jarang para ahli juga memberikan stigma dan membuat pasien tidak nyaman ketika bercerita.
Melihat hal ini, Rumah Sakit Metropolitan Medical Center (RS MMC) meluncurkan sebuah poliklinik baru yakni Poli deCent (Depression Prevention Center) yang memperluas akses layanan kesehatan mental yang inklusif dan bebas stigma. Poli deCent tidak hanya berfokus pada penanganan depresi dan pencegahan bunuh diri, tetapi juga berperan dalam edukasi dan deteksi dini, khususnya bagi remaja dan kelompok usia produktif.
Layanan ini turut didukung oleh Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa dan perawat yang kompeten, untuk memastikan penanganan yang profesional, empatik, dan berbasis kebutuhan pasien. Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Subspesialis Adiksi RS Metropolitan Medical Centre. dr. Adhi Nurhidayat, SpKJ, Subsp.Ad (K), MPH, mengatakan depresi adalah penyakit kronis yang memerlukan penanganan tepat, dengan gejala seperti hilang minat, kelelahan fisik dan mental, suasana hati sedih, putus asa, dan berlangsung lebih dari dua minggu, sehingga memerlukan pengobatan 3-6 bulan.
"Bunuh diri sendiri memiliki banyak bentuk, mulai dari ide hingga tindakan yang telah dipersiapkan. Mayoritas kasus bunuh diri terjadi di negara berpenghasilan menengah ke bawah. Berbeda dengan self-harm yang sering bertujuan untuk merasakan sakit sebagai bukti eksistensi diri. Upaya pencegahan bunuh diri bisa dilakukan melalui pembatasan akses, penanganan gangguan jiwa, pengelolaan interaksi media, pendidikan sosial-emosional, dan intervensi dini," kata dr. Adhi dalam acara Mental Health at Work: Innovative Approaches in Treating Depression and Suicide Ideas, Kamis (10/7).
Dia mengatakan, salah satu penanganan yang dilakukan oleh RS MMC dalam menangani pasien seperti ini adalah dengan Terapi Eksketamin. Sebuah pengobatan untuk depresi berat yang tidak kunjung membaik dengan pengobatan biasa. Di Indonesia, terapi ini baru hanya dapat dilakukan di beberapa rumah sakit karena memerlukan standar khusus, seperti ruangan yang nyaman, adanya sofa dengan kemiringan 45 derajat, adanya alat pemantau tanda vital.
Hadirnya Poli deCent di RS MMC dan Terapi Esketamine sebagai terapi utamanya diharapkan dapat menekan angka peningkatan kasus gangguan kesehatan mental, termasuk depresi dan kecenderungan bunuh diri. Isu ini menjadi penting karena sebagai fasilitator kesehatan, rumah sakit harus menciptakan lingkungan yang mendukung pemulihan psikologis. Sehingga, pasien lebih cepat tertangani tanpa takut dengan stigma tentang gangguan mental.
(DIR/DIR)