Insight | Science

Kalau Semua Orang Berpikir Sama, Siapa yang Bakal Bikin Hal Gila Tapi Brilian?

Senin, 11 Aug 2025 17:32 WIB
Kalau Semua Orang Berpikir Sama, Siapa yang Bakal Bikin Hal Gila Tapi Brilian?
Ilustrasi seseorang yang memiliki otak neurodivergent. Foto: Istock
Jakarta -

Pernahkah kamu merasa otakmu "kebanyakan tab", penuh ide yang datang sekaligus tapi sulit diatur? Atau mungkin kamu tumbuh dengan label "enggak fokus", "terlalu sensitif", atau "terlalu intens"? Di dunia yang gemar merayakan keseragaman, pola pikir seperti ini sering dianggap gangguan. Padahal, mungkin justru dari situ lahir karya, inovasi, atau gagasan yang paling orisinal.

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah neurodivergent mulai ramai diperbincangkan, terutama di kalangan Gen-Z yang makin vokal soal kesehatan mental dan keragaman cara berpikir. Tapi lebih dari sekedar identitas, neurodivergent bisa jadi bagian penting dari lanskap kreatif masa depan.

Neurodivergent: Otak yang Bekerja dengan Cara Lain

Secara sederhana, neurodivergent merujuk pada orang-orang yang memiliki cara berpikir, belajar, dan memproses informasi yang berbeda dari mayoritas (neurotypical). Ini termasuk individu dengan ADHD, autism, disleksia, dispraksia, dan kondisi neurologis lainnya.

Gen-Z, yang tumbuh dengan akses informasi dan diskursus inklusi yang jauh lebih luas, mulai merangkul identitas ini. Bukan sebagai beban, tapi sebagai bagian dari spektrum keberagaman manusia. Di balik "ketidakteraturan" otak neurodivergent, seringkali tersembunyi kemampuan menghubungkan hal-hal yang tak terduga, berpikir secara visual, atau menemukan solusi out-of-the-box.

Sejarah membuktikan, banyak gagasan brilian justru muncul dari mereka yang berpikir berbeda. Albert Einstein diyakini memiliki disleksia dan ADHD; Leonardo da Vinci dikenal impulsif, gelisah, dan terus berpindah dari satu proyek ke proyek lain. Bahkan tokoh masa kini seperti Billie Eilish (yang terbuka tentang autismenya) atau Simone Biles (dengan ADHD-nya) menunjukkan bagaimana neurodivergent bukan penghalang tapi bahan bakar eksplorasi diri dan ekspresi kreatif.

.Ilustrasi otak neurodivergent/ Foto: Natasha Connel/Unsplash

Yang menarik, banyak Gen-Z neurodivergent tidak sekedar "survive" di dunia kreatif tapi membentuk ulang aturan mainnya. Lewat media sosial, platform konten, dan ruang-ruang digital, mereka menunjukkan bahwa kreativitas tidak harus rapi, linier, atau sesuai template. Bahkan, kegilaan ide sering kali lebih jujur dan mengena daripada kreativitas yang terlalu "dijaga".

Sayangnya industri kreatif masih belum sepenuhnya inklusif. Banyak ruang kerja mengandalkan briefing meeting pagi, deadline ketat, dan ekspektasi multitasking konstan semua ini bisa sangat melelahkan (dan tidak ramah) bagi otak neurodivergent. Banyak kreator muda harus menyembunyikan bagian dari dirinya takut dianggap tidak profesional atau "terlalu ribet".

Padahal, menurut laporan dari Deloitte dan Harvard Business Review, tim yang beragam secara neurologis justru menunjukkan peningkatan inovasi, solusi yang lebih unik, dan kemampuan adaptasi lebih baik. Artinya, neurodivergent bukan kelemahan dalam industri kreatif tapi justru kekuatan yang belum cukup dihargai.

Merayakan Perbedaan, Bukan Menyesuaikannya

Yang dibutuhkan bukan terapi agar otak neurodivergent "kembali normal", melainkan ruang dan sistem kerja yang memungkinkan setiap individu bekerja dengan ritmenya sendiri. Inklusivitas bukan hanya tentang memberi kesempatan, tapi juga menyusun ulang sistem agar semua cara berpikir punya tempat. Hal ini bisa dimulai dari:

  • Fleksibilitas kerja: biarkan orang memilih waktu, ruang, dan cara berkarya yang sesuai dengan cara otaknya bekerja.
  • Komunikasi yang adaptif: tidak semua orang nyaman bicara langsung beberapa lebih ekspresif lewat tulisan atau visual.
  • Pengakuan terhadap proses non-linear: karya brilian tidak selalu datang dari sistem kerja yang teratur.

Bagi para Gen-Z hal ini bukan sekedar idealisme. Ini adalah realitas kita bekerja, berkarya, dan bertumbuh dengan cara yang makin kompleks dan personal. Kita melihat dunia lewat sudut pandang berbeda dan perbedaan itu bukan untuk "diperbaiki".

Bayangkan kalau semua orang berpikir sama, mungkin tidak ada meme absurd yang viral karena terlalu jujur, tidak ada lagu-lagu eksperimental yang bikin galau sekaligus tenang, atau visual art yang tampak kacau tapi menyentuh secara emosional.

Kreativitas tidak tumbuh dari keseragaman. Ia muncul dari tabrakan ide, dari logika yang lompat-lompat, dari emosi yang tak bisa dijelaskan. Dan dalam hal ini orang-orang neurodivergent punya peran besar.

Jadi kalau kamu pernah merasa terlalu cepat, terlalu lambat terlalu banyak ide, atau terlalu sensitif itu bukan kesalahan. Mungkin, kamu Cuma pakai "sistem operasi otak" yang beda dari mayoritas dan itu bukan kelemahan. Itu kekuatan.

Sehingga pada akhirnya, kalau semua orang berpikir sama, siapa yang bakal bikin hal gila tapi brilian?


Penulis: Deandra Nurul Fadilah

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS