Insight | Science

Nada Minor yang Menguras Emosi

Kamis, 17 Mar 2022 14:00 WIB
Nada Minor yang Menguras Emosi
Ilustrasi nada minor Foto: Yan Krukov - Pexel
Jakarta -

Rasanya ada ketenangan tersendiri ketika saya mendengar lagu-lagu sedih yang dipenuhi oleh nada minor. Mendengar lagu-lagu bernada minor membuat saya mudah menuliskan kata-kata dalam setiap artikel yang saya tulis, apalagi menulis topik yang menyentuh hati pembaca. Sebab saya percaya nada-nada minor dari lagu yang saya dengarkan dapat membuat emosi terkuras dan tertuang dalam tulisan.

Namun bukan hanya saya yang memiliki pemikiran untuk mengonsumsi lagu dengan nada-nada minor untuk menguras emosi. Para musisi dari berbagai genre, hingga sineas film pun menggunakan latar belakang musik bernada minor untuk merepresentasikan karyanya dalam sebuah bentuk emosi yang diinginkan. Entah itu emosi sedih, tegang, menunjukkan kengerian, dan masih banyak lagi.

Lantas, mengapa pemakaian nada minor ini selalu menjadi senjata ampuh untuk menaikturunkan emosi penikmatnya?

.Ilustrasi lagu bernada minor/ Foto: Mathias - Pexels

Penggunaan latar musik bernada minor diyakini berasal dari tradisi musik barat. Contohnya saja musik minor yang digunakan dalam lagu "Back To Black" oleh Amy Winehouse atau "Funeral March" oleh Chopin. Hampir sebagian besar masyarakat dunia, pasti mendengarkan lagu-lagu barat dengan lirik yang sedih bernada minor. Sehingga tak pelak, kita pun meyakini bahwa lagu yang tersaji seperti itu adalah lagu sedih, apalagi ditambah dengan lirik-liriknya yang menyayat hati.

Semakin kita terpapar lagu-lagu sedih yang menggunakan nada minor, otak kita pun akhirnya meyakini bahwa nada tersebut membuat emosi kita berkecamuk. Psikolog musik, Glen Schellenberg telah menunjukkan bahwa selama beberapa dekade terakhir orang cenderung memilih musik dalam kunci minor dan meyakininya sebagai lagu sedih, meskipun tidak ada bukti bahwa mendengarnya akan membuat hati kita pilu.

Sebagian besar makna emosional yang kita temukan dalam musik sebenarnya berasal dari pengalaman hidup kita sendiri. Saat masih dalam buaian, misalnya, kita belajar mengaitkan musik yang kita dengar dengan lingkungan emosional tempat kita mendengarnya. Sehingga mungkin saja, lagu yang dilantunkan oleh ibu kita membawa kita kepada kenangan yang tenang bila itu bernada mayor; sementara nada minor mengingatkan kita pada perpisahan dengan orang yang kita cintai.

.Ilustrasi mengenang sesuatu lewat lagu/ Foto: Ketut Subiyanto - Pexels

Penerimaan kita terhadap nada minor menguras emosi juga disebabkan oleh kinerja otak kita. Musik sebenarnya mengaktifkan populasi sel otak yang disebut neuron cermin. Sel-sel ini secara mental menstimulasi perilaku yang kita alami di sekitar dan membantu kita dengan pemahaman sosial juga empati. Sel-sel tersebut memungkinkan kita untuk lebih berempati dengan emosi musik, memicu emosi yang sama dalam diri kita dengan mengaktifkan sistem limbik   pusat emosi otak.

Tak hanya itu, ketukan ritme, dan frekuensi gelombang suara juga dapat mendorong osilasi intrinsik neuron di otak. Kelompok neuron yang berbeda bisa menstimulasi otak pada tingkat tertentu sehingga membuat suasana hati kita berbeda-beda, tergantung ketukan ritme itu sendiri. Namun pada dasarnya musik datang dari ekspektasi, ketegangan, lalu resolusi. Jadi setiap kita mendengar musik bernada minor atau mayor, otak kita akan terus-menerus mencoba menebak apa yang akan terjadi, berdasarkan apa pengalaman musik selama hidup kita.

Selain fungsi otak, emosional musik sedikit banyak dipengaruhi oleh cara kita berbicara, menurut Aristoteles. Misalnya ketika kita memekik karena kegirangan atau menangis karena marah. Meski begitu, hingga saat ini belum ada penelitian yang benar-benar dapat menjawab alasan pembagian nada dengan emosi. Jacob Jolij yang bekerja sebagai asisten profesor dalam ilmu psikologi kognitif dan ilmu syaraf Universitas Groningen mengatakan masih menjadi misteri kenapa kita menempatkan akord mayor menjadi emosi positif dan kord minor negatif.

.Ilustrasi mendengar nada minor/ Foto: Ivan Samkov - Pexels

"Tentunya terdapat sebuah elemen dari asosiasi yang dipelajari, meskipun terdapat beberapa orang yang mengklaim ini lebih dari hal-hal biologis. Ini masih menjadi salah satu pertanyaan besar dalam musikologi," ujarnya.

Terlepas dari musik yang selalu kita nikmati setiap harinya, sebenarnya musik lebih dari itu. Musik merupakan komunikasi tentang dunia emosional kita. Musik bisa menjadi sama pentingnya untuk kohesi sosial seperti halnya komunikasi lewat bahasa yang kita ucapkan sehari-hari. Bahasa musik sendiri terbagi dan terspesialisasi menjadi dua bentuk berbeda, yakni ide dan emosi. Jadi minor atau mayor, kedua nada ini sama-sama dapat mempengaruhi emosi kita.

[Gambas:Audio CXO]

(DIR/MEL)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS