Insight | Science

Benarkah MSG Buruk Untuk Kesehatan?

Kamis, 03 Feb 2022 16:00 WIB
Benarkah MSG Buruk Untuk Kesehatan?
Foto: Detik iStock
Jakarta -

MSG atau micin telah lama menjadi bumbu wajib dalam masakan Asia Timur, bahkan telah menjadi budaya. Di Indonesia, micin hampir bisa ditemukan di setiap makanan yang kita beli. Namun, kita berkali-kali diperingatkan bahwa makanan yang sehat adalah makanan yang tidak mengandung MSG. Menyebabkan rasa pusing, jantung berdebar, mati rasa, hingga nausea. Tak hanya itu, mengkonsumsi MSG bahkan disebut-sebut bisa memicu kanker otak. Sejak saat itu, penggunaan MSG atau tidak menggunakan MSG telah menjadi acuan bagi orang-orang untuk memilih makanan yang mereka konsumsi. Namun, ternyata ada banyak sekali informasi simpang siur yang menyelimuti MSG. Dan meski banyak penelitian sudah dilakukan, nyatanya hingga kini belum ada penelitian yang mengkonfirmasi dampak buruk MSG terhadap kesehatan manusia.

Ditemukannya MSG
MSG atau Monosodium Glutamat pertama kali ditemukan pada tahun 1908 oleh Dr. Kikunae Ikeda, seorang ahli kimia dari Tokyo Imperial University. Ikeda merupakan penemu rasa gurih atau dalam bahasa Jepang disebut "umami". Rasa kelima ini melengkapi empat rasa dasar yang telah ada sebelumnya yaitu asin, manis, asam, dan pahit. Ketika sedang melakukan studi di Jerman, Ikeda mencoba tomat, asparagus, daging, dan keju. Pada makanan-makanan ini, ia mendeteksi karakteristik rasa di luar empat rasa dasar yang telah ada.

Namun perjalanannya menemukan umami baru dimulai tahun 1907 ketika istrinya membuat kelp dashi--kaldu yang terbuat dari rumput laut yang telah dikeringkan. Ikeda menyadari rasa yang ia temukan di tomat, asparagus, dan keju ketika di Jerman, juga ada dalam kuah kaldu tersebut. Maka ia pun berusaha untuk membuat "umami"-nya sendiri. Ikeda kemudian mengidentifikasi asam glutamat sebagai elemen penting dari rasa kuah kaldu tersebut. Ikeda kemudian mencoba menetralisir asam glutamat dengan menggunakan sodium dan voila, terciptalah produk penyedap yang hingga kini banyak digunakan dalam industri makanan. Ikeda mungkin adalah penemu bumbu "umami", tapi dalam rangka komersialisasi MSG ia didukung oleh Saburosuke Suzuki II, pendiri Ajinomoto Co., Inc. Menurut Ajinomoto sendiri, proses pembuatan MSG dilakukan dengan melakukan fermentasi terhadap sari tetes tebu atau tepung tapioka. Sehingga, MSG tidak memiliki efek samping dan aman untuk dikonsumsi.

Hoaks Bernada Rasis dan Mitos MSG
Lalu, apabila proses pembuatannya menggunakan bahan alami, dari mana munculnya informasi yang mengatakan bahwa MSG berdampak buruk bagi kesehatan? Faktanya cukup mengejutkan. Stigma buruk terhadap MSG bermula dari sebuah hoaks. Pada tahun 1968, seorang dokter anak bernama Dr. Robert Ho Man Kwok mengirim surat kepada The New England Journal of Medicine. Dalam tulisannya itu, ia menceritakan gejala-gejala yang ia alami setelah makan di restoran Cina di Amerika, termasuk mati rasa di bagian belakang leher. Sebenarnya, Kwok tidak menyimpulkan secara pasti kalau penyebabnya adalah MSG, ia menyebutkan MSG sebagai salah satu dari beberapa dugaan yang ia miliki. Tulisan Kwok memicu kepanikan massal yang diperparah oleh media dan serangkaian penelitian oleh ilmuwan yang bersikeras membuktikan bahaya MSG. Bahkan, pada waktu itu muncul istilah yang bernada rasis, yaitu "Chinese Restaurant Syndrome", yang menyudutkan restoran-restoran Cina di Amerika dan menuntut mereka untuk membuka ke publik mengenai penggunaan MSG dalam masakan mereka.

Namun, ternyata surat tersebut adalah hoaks yang ditulis oleh seseorang bernama Dr. Howard Steel. Ia mengaku menulis surat itu sebagai bentuk prank yang dijadikan bahan taruhan bersama temannya. Semua yang ditulis dalam surat itu palsu, termasuk nama dan institutinya. Jadi, pada dasarnya, mitos mengenai dampak buruk MSG dimulai dari hoaks yang ditulis oleh seorang dokter kulit putih.

Fakta bahwa mitos ini berawal dari hoaks baru diketahui belakangan, tepatnya pada tahun 2018 ketika professor Jennifer LeMesurier menerima telepon dari Howard Steel yang mengaku kepadanya sebagai dalang dibalik pembuatan surat tersebut. Stigma buruk terhadap MSG sudah terlanjur melekat kuat, dan ilmuwan-ilmuwan sudah bersusah payah mencari tahu efek samping MSG. Apakah ada sedikit kebenaran dalam hoaks yang ditulis Steel?

Fakta Ilmiah
Hingga saat ini, belum ada penelitian yang benar-benar bisa membuktikan bahwa MSG berdampak signifikan terhadap kesehatan manusia. Salah satu penelitian untuk menelusuri ini dilakukan terhadap tikus. Hasilnya, monosodium glutamat menyebabkan tumbuhnya jaringan mati di otak sehingga ketika tikus itu dewasa akan mengalami kegemukan dan mandul di beberapa kasus. Namun, MSG tidak terbukti memiliki dampak yang signifikan pada manusia.

Pada tahun 1990an, Federation of American Societies for Experimental Biology melakukan eksperimen untuk menelusuri seberapa amannya MSG untuk dikonsumsi. Konklusi dari eksperimen mereka adalah MSG aman untuk dikonsumsi. Efek samping seperti pusing, mati rasa, jantung berdebar, dan rasa kantuk hanya muncul ketika individu yang terbiasa makan sehat mengkonsumsi 3 gram atau lebih MSG tanpa makanan (hanya dilarutkan dalam air). Sedangkan, normalnya MSG yang terkandung dalam makanan tidak lebih dari 0.5 gram. Dengan demikian, dampak buruk MSG hanya muncul ketika dikonsumsi dalam dosis tinggi, yang sebenarnya sangat kecil kemungkinannya untuk terkandung dalam makanan sehari-hari.

Jadi, apakah MSG buruk untuk kesehatan? Kata kuncinya terletak pada "konsumsi berlebih". Dalam porsi sehari-hari, kecil kemungkinannya MSG akan memicu reaksi terhadap tubuh kita. Jadi, apabila kita mengkonsumsinya secara wajar, tidak perlu khawatir.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/MEL)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS