Inspire | Love & Relationship

Menikah Bukan Perkara Romantis, Tapi Harus Realistis

Senin, 18 Mar 2024 18:00 WIB
Menikah Bukan Perkara Romantis, Tapi Harus Realistis
Foto: Unsplash
Jakarta -

Menikah, situasi yang selalu dibayangkan banyak orang akan memberikan happy ending. Banyak orang juga menganggap semua permasalahan masa muda selesai saat menikah   tapi, sepertinya kepercayaan itu sudah mulai memudar 6 tahun terakhir, lewat fakta yang mengejutkan beberapa waktu lalu.

Dikutip CNBC Indonesia, menurut Laporan Statistik Indonesia 2024, angka pernikahan Indonesia menyusut dengan penyusutan paling tinggi terjadi tahun 2021-2023, yakni sebanyak 2 juta. Penyusutan angka pernikahan ini hampir terjadi di seluruh daerah di Indonesia. Di Jakarta misalnya, mengalami penurunan angka nyaris 4 ribu. Sementara, di Jawa Barat hampir menyentuh angka 29 ribu.

Belum ada faktor yang benar-benar pasti mengapa pernikahan kini tidak lagi jadi prioritas dalam hidup masyarakat Indonesia. Sebelum Indonesia, tren penurunan angka pernikahan ini sudah terjadi lebih dulu di negara-negara lainnya di Asia seperti Korea Selatan, Jepang, dan China.

Statistics Korea merilis penelitian yang menemukan bahwa cuma ada 27,5 persen perempuan muda berusia 20-an tahun yang mau menikah. Jadi, hanya ada sekitar satu dari empat perempuan muda di Korea Selatan yang mau menikah. Fenomena ini pun juga terjadi di China, di mana tren gaya hidup lajang membuat negara itu mengalami krisis penurunan populasi.

Tidak pula berbeda dengan Jepang. Negeri Sakura itu pun mengalami krisis populasi yang memprihatinkan. Efeknya, beberapa daerah di Jepang akhirnya hanya diisi oleh para lansia karena anak-anak mudanya tidak mau menikah atau memiliki anak.

Situasi ini pun bisa dipahami lantaran kini anak-anak muda tidak menjadikan pernikahan menjadi prioritas utama lagi dalam hidup mereka. Sebab, narasi pernikahan berdasarkan cinta itu terkesan romantis tak lagi laku, karena anak muda menilai bahwa menjalani pernikahan harus realistis. Melihat fenomena ini, CXO Media pun tergelitik untuk mencari tahu apa yang menyebabkan anak-anak muda pada akhirnya memilih untuk menunda bahkan sampai malas untuk menikah.

Pernikahan Bukan Lagi Termasuk Skala Prioritas

Anak-anak muda khususnya Gen Z kini tidak melihat pernikahan sebagai hal paling utama dalam daftar skala prioritas. Saya pun bertanya kepada beberapa teman saya mengenai faktor apa yang membuat mereka akhirnya menunda, bahkan malas untuk menikah.

Gede (24) misalnya mengatakan menikah baginya adalah hal yang masih jauh dari pandangannya. Walaupun mengaku sudah kurang lebih tiga tahun belakangan menjalin hubungan dengan kekasihnya, tetapi ketika ditanya tentang rencananya menikah ia pun masih merasa takut.

"Penghasilanku sekarang itu belum seberapa untuk menikah. Yang kedua, aku perlu cukup ideal dulu dalam pernikahan, secara keuangan, emosi. Nah, kalau sudah stabil, baru aku akan siap untuk menikah," kata Gede kepada CXO Media saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.

Baginya yang asli Bali, ketika merantau ke Jakarta, anak-anak seumurannya justru masih dianggap terlalu muda dan masih senang bermain bersama teman. Sementara di Bali, di umurnya yang ke-24, dia dianggap cukup matang untuk berkeluarga. Selain itu, ia mengaku ada sedikit tekanan yang dibebankan kepadanya, sehingga Gede sering kali berpikir untuk mencoba mencari alasan lain agar lingkungannya   terutama keluarga   tidak lagi terlalu memaksakan target soal menikah padanya.

"Untuk target dari diriku sendiri sih enggak ada, tapi kalau dari orang tuaku ya mereka bilang kalau mau menikah paling lambat umur 27 gitu paling lama, ya. Aku sampai selalu mencari cara karena aku saking enggak siapnya-maksudnya aku takut aku enggak siap. Aku sekarang lagi mencari cara sampai bilang mau sekolah ke luar negeri. Makanya kalau dikasih target seperti itu, malah membuat aku takut," ungkap Gede.

Sama halnya dengan Gede, Audy (28) pun mengaku ada faktor finansial yang mempengaruhi keputusannya untuk menikah. Namun bukan itu yang menjadi alasannya untuk menunda menikah. Bagi Audy, kondisi mental dirinya dan pasangan adalah hal utama yang menjadi pertimbangan untuk menikah.

"Ada faktor ekonomi juga sih. Gimana ya, gue jujur saja belum bisa menabung secara teratur, saving gue berantakan. Tapi, biarpun gue punya saving yang ultimate ya sebenarnya ada yang enggak pernah gue sentuh dan belum bertambah, tapi gue tetep takut untuk menikah karena [faktor] ekonomi, gue takutnya pasangan gue juga masih belum siap. Jadi, ya banyak hal [yang menjadi faktornya]," kata Audy.

Dia pun tak memungkiri memiliki target setidaknya 5 tahun ke depan atau dalam umur ke-33 ia ingin menikahi kekasihnya yang sudah dipacarinya selama 8 tahun tersebut. Hal ini berbeda dengan Dini (28) yang hingga hari ini sama sekali belum memasukkan kata "pernikahan" dalam prioritas hidupnya. Apalagi setelah tak lagi menjalani hubungan dengan kekasihnya, ia pun mengaku ingin fokus terhadap diri sendiri dan kariernya.

"Sebenarnya macam-macam sih [faktor]. Pertama mungkin faktor dari diri sendiri yang gue masih ngerasa nyaman dengan hidup gue yang sekarang. Terus kedua juga dari mental gue. Gue ngerasa belum siap menikah dan dari keluarga sendiri pun kebetulan orang tua itu termasuk pasangan yang memutuskan menikah telat. Mereka bilang, kalau belum siap [menikah] ya jangan. Itu mungkin yang mempengaruhi pemikiran gue soal menikah bukan prioritas," papar Dini.

Ketika ditanya soal target, dia pun belum melihat target soal menikah saat ini bahkan cenderung tidak ada. Tetapi, dia pun tidak bisa meramal juga apakah dia akan menikah cepat atau tidak. Yang terpenting jalani dulu, apa adanya saja.

Mendengar perspektif teman-teman saya yang memutuskan menunda menikah, alasan dasar mereka mungkin terdengar klise, yakni karena ekonomi. Tetapi memang pada dasarnya sebelum sampai menjalani pernikahan, faktor ekonomi seringkali mempengaruhi keputusan anak-anak muda.

Ditambah kondisi keuangan anak muda masa kini yang cukup sulit untuk dikatakan stabil. Sebab, tak bisa dimungkiri gaya hidup yang berubah membuat kondisi keuangan mereka banyak yang belum mapan. Belum lagi, kondisi mental dengan banyaknya arus informasi terkait kegagalan pernikahan hingga kasus perselingkuhan membuat mereka harus memikirkan berulang-ulang apakah mereka siap atau tidak menjalani pernikahan.

Bisa dibilang bahwa menikah itu bukan cuma sekadar cinta dan romantisasi setiap kegiatan bersama pasangan, melainkan harus realistis menjalani kehidupan dengan pasangan seumur hidup. Modal cinta tidak cukup, ada banyak faktor lainnya yang harus dibarengi agar kehidupan pernikahan bukan hanya sekadar jadi pelarian, melainkan dijalani dengan serius dan bertanggung jawab.

[Gambas:Audio CXO]

(DIR/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS