Inspire | Love & Relationship

Memilih untuk Child-free, Aneh?

Jumat, 14 Jan 2022 14:29 WIB
Memilih untuk Child-free, Aneh?
Foto: Unsplash Carly Rae Hobbins
Jakarta -

Ada yang bilang hidup belum sempurna kalau belum menikah dan punya anak. Ayah, ibu, dan anak telah menjadi standar keluarga ideal dalam standar masyarakat. Bahkan, membangun keluarga ideal juga telah dianggap sebagai sebuah pencapaian dalam hidup. Layaknya norma sosial lain, hal ini telah dianggap sebagai kewajaran yang aneh untuk dilanggar. Mereka yang memutuskan untuk tidak memiliki anak pun kerap dianggap "aneh", dan tak jarang menjadi target dari kritikan pedas orang-orang sekitar.

Namun, sudah ada banyak orang yang membuat keputusan untuk child-free. Child-free berbeda dengan childless. Child-free merupakan keputusan secara sadar untuk tidak memiliki anak, sedangkan childless adalah kondisi biologis di mana seseorang tidak bisa memiliki anak. Child-free memang bukan fenomena baru, tapi istilah ini semakin banyak dibicarakan seiring dengan naiknya jumlah anak muda yang memutuskan untuk tidak memiliki anak. Selebriti dunia seperti Renee Zellweger dan Oprah Winfrey hingga selebriti lokal seperti Gita Savitri dan Chef Juna pun tak takut untuk mengungkapkan pandangan mereka soal child-free.

Keputusan untuk tidak memiliki anak dilatarbelakangi oleh berbagai hal, mulai dari alasan personal seperti trauma masa lalu, hingga alasan sosial seperti mengatasi krisis iklim. Apapun alasannya, sejatinya keputusan untuk child-free adalah hak semua orang yang seharusnya bebas dari intervensi pihak luar. Namun, keputusan child-free masih diliputi mitos dan stigma. Perempuan pun masih menjadi pihak yang paling dirugikan dari stigma yang mengitari child-free ini.

Mitos Pernikahan Child-Free
Ketika menikah dan menjalani rumah tangga, ada banyak sekali kewajiban yang harus dipenuhi. Mulai dari bayar cicilan rumah, bayar cicilan kendaraan, membayar tagihan listrik, dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Sebaliknya, keputusan untuk membesarkan anak adalah pilihan untuk merawat kehidupan sepanjang hayat. Ia memerlukan komitmen seumur hidup, dan tentunya kesiapan mental dan material.

Di Indonesia, child-free masih diselimuti berbagai stigma. Jangankan child-free, childless saja masih dianggap sebagai aib. Bagaimana caranya memberitahu orang tua kita bila tidak ingin memiliki anak? Belum lagi menghadapi pertanyaan dan kritik tajam dari tante, om, dan sanak saudara lainnya.

Amy Blackstone, profesor sosiologi dari University of Maine, mencoba membongkar mitos-mitos yang mengelilingi child-free marriage. Dalam bukunya, ia menjelaskan beberapa kenyataan yang menggambarkan realita dari pernikahan child-free. Beberapa di antaranya adalah:

  1. Orang-orang yang memilih child-free ingin fokus membina relasi dengan pasangan. Mereka takut ketika mereka memiliki anak, mereka tidak akan menjadi partner yang baik bagi pasangan mereka.
  2. Pilihan untuk child-free tidak egois. Layaknya pilihan hidup yang lain, keputusan untuk memiliki anak atau tidak adalah sepenuhnya hak masing-masing individu.
  3. Memilih child-free bukan berarti tidak menyukai anak-anak. Banyak pasangan child-free menyukai anak-anak, hanya saja mereka merasa tidak cocok menjadi orang tua.
  4. Orang-orang yang memutuskan untuk child-free bisa merasa puas dan bahagia. Banyak orang menganggap membangun keluarga dan memiliki anak adalah kunci kebahagiaan. Nyatanya, pasangan yang tidak memiliki anak pun bisa merasa bahagia dengan hidup mereka.
  5. Keluarga tanpa anak tetaplah keluarga. Seringkali, memiliki anak dianggap sebagai tujuan utama dari menikah, bahkan tujuan utama dari hidup. Pasangan yang memilih untuk tidak punya anak pun dianggap bukan keluarga yang "normal". Padahal, absennya anak dalam keluarga tidak mengurangi makna dari keluarga itu sendiri.

Stigma yang Menghantui Perempuan
Meski child-free tidak hanya populer di kalangan perempuan, tapi keputusan ini dan juga konsekuensinya, secara otomatis akan lebih berat di perempuan. Sebab, masyarakat kita memandang bahwa menjadi ibu adalah bagian dari kodrat perempuan. Memiliki anak pun dianggap sebagai kewajiban, dan perempuan yang menolak untuk memiliki anak dianggap "aneh" atau bahkan "menyimpang". Banyak perempuan yang memilih child-free, karena mereka merasa peran menjadi ibu bukanlah jalan hidup mereka.

Memiliki anak atau tidak, perempuan menanggung beban yang lebih berat. Ketika memiliki anak, perempuan diharuskan untuk menjadi ibu yang sempurna, dan menanggung semua beban rumah tangga. Tak ada yang pernah menyebut soal fatherhood. Ketika memutuskan untuk tidak memiliki anak, perempuan pun rentan untuk mendapat stigma karena dianggap tidak memenuhi kodrat perempuan untuk menjadi ibu. Padahal, motherhood is not for everyone.

Perempuan tetaplah perempuan tanpa harus menjadi ibu-punya atau tidak punya anak tidak seharusnya dijadikan acuan untuk menilai value dari seseorang. Dan dengan pertimbangan di atas tadi, mulai dari besarnya tanggung jawab dan biaya yang besar, pasangan mana pun berhak memutuskan (secara bersama-sama, tentunya) apakah mereka mau dan sanggup untuk membesarkan anak.

Dengan demikian, keputusan untuk memiliki anak seharusnya menjadi kesepakatan antara dua pihak dalam sebuah hubungan yang setara. Mengingat beratnya stigma yang masih menghantui perempuan, keputusan mereka berhak untuk didengar. Sebagai pasangan, penting untuk mendukung satu sama lain. Sebab mempunyai anak tidak seharusnya menjadi keputusan sepihak, apalagi karena tuntutan masyarakat.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS